Oleh: Manuel Kaisiepo*
Mungkin hanya kebetulan belaka!
Ketika ditanya wartawan apa ramalannya tentang pertandingan Brazil vs Skotlandia pada Piala Dunia 1998, Gus Dur menjawab: 2 - 1 untuk Brazil. Dan ternyata benar !
Tapi Gus Dur bukan peramal. Dia seorang analis sepakbola yang piawai, analisisnya tajam, yang dituangkan dalam gaya penulisan memikat. Sejak medio 1970-an dia menulis ulasan sepakbola. Putra K.H. Wahid Hasyim ini baru berhenti mengulas sepakbola setelah gangguan penglihatan di matanya.
Publik pecinta sepakbola di Indonesia tentu akrab dengan ulasan-ulasannya di Harian Kompas sejak Piala Dunia 1990, dan terutama lagi serial tulisannya yang mengulas pertandingan-pertandingan pada Piala Dunia 1994.
Misalnya, dalam "Mengendalikan, Tetapi Kalah" (Kompas, 19 Juli 1994), Gus Dur mengulas secara apik pertandingan final Brazil vs Italia. Jalannya pertandingan dikuasai Italia, tapi akhirnya Brazil menang 3 - 2 melalui tendangan pinalti (setelah imbang 0 - 0). Sekalipun Brazil menang, namun menurut Gus Dur, strategi bertahan ala pelatih Carlos Alberto Parreira membuat partai final ini kurang menarik.
"Pertandingan final Piala Dunia 1994 ternyata merupakan kebalikan dari perkiraan orang. Bukannya permainan menyerang yang tuntas dipertontonkan, melainkan serangan setengah hati yang dibiarkan pudar begitu tampak ada risiko serangan balik dari pihak lawan.....", tulis Gus Dur.
Dia melanjutkan:
".....yang ditakutinya (maksudnya Parreira) sudah tentu kemungkinan serangan balik tiba-tiba dan efektif dari Italia. Apalagi di ujung tombak ada Roberto Baggio dan Daniel Massaro.
"....reaksi sangat ber-hati-hati dari Parreira ini adalah contoh klasik dari psikologi ketakutan (psychology of fear) yang menghinggapi pengambil keputusan di bidang apapun, di saat-saat menghadapi situasi kritis....", tulis Gus Dur.
***
Gus Dur memang gemar bahkan "gila" bola sejak kecil, sejak masih mondok di Pesantren. Kegemarannya ini semakin meningkat ketika dia kuliah di Mesir, salah satu negara di Afrika yang rakyatnya juga "gila" bola.
Saat ini Mesir adalah peserta Piala Dunia 2018, walaupun akhirnya tersisih. Bintangnya Mohamed Salah, pemain Liverpol FC dengan nilai transfer £ 39 juta !
Gus Dur senang bola, sama seperti dia menyenangi musik klasik: Mozart, Bach, Chopin, Schubert, dan terutama Beethoven. Dari semua itu, dia amat menyukai Symphoni 9 in D minor dari Beethoven. Tentu, karena 5 tahun tinggal di Mesir, Gus Dur juga menyukai lagu-lagu Ummi Kaltsum !
Bukan Gus Dur namanya kalau melihat sepakbola sebagai olahraga belaka. Dia mampu melihat eksistensi olahraga ini dalam spektrum yang lebih luas, menyangkut dimensi-dimensi lain seperti ekonomi, politik, kultur, dan lainnya.
Perhatikan ulasannya tentang Piala Dunia 1990 berjudul "Piala Dunia, Eskapisme Berskala Raksasa" (Kompas, 11 Juli 1990).
Seperti kritiknya kemudian terhadap kualitas Piala Dunia 1994, dia juga menilai permainan sepakbola pada Piala Dunia 1990 tidak sebaik dibandingkan pertandingan-pertandingan Piala Dunia sebelumnya.
"Secara keseluruhan Piala Dunia 1990 menunjukkan kualitas lebih rendah bila dibandingkan dengan dua Piala Dunia sebelumnya...."
"Keterampilan individual tinggi ternyata tidak diimbangi dengan seni olah bola dan strategi brilian. Penurunan kualitas dua bidang itu juga diperburuk oleh penampilan emosional banyak pemain", tulis Gus Dur.
Bagi Gus Dur, ukuran kemenangan dan kekalahan adalah relatif dalam pertandingan yang membawa nama negara, seperti diungkap dalam tulisannya, "Antara Kebanggaan dan Kekecewaan" (Kompas, 18 Juli 1994).
Dia mencontohkan Mesir yang dalam Piala Dunia 1990 mampu menahan imbang Belanda 0 - 0, padahal saat itu Belanda diperkuat trio van Basten, Ruud Guliit, dan Frank Rijkaard.
Walaupun Mesir tidak lolos ke babak selanjutnya, tapi prestasi ini sungguh membanggakan bagi rakyat Mesir. Tak heran Presidrn Hosni Mubarak langsung mengumumkan hari esoknya sebagai hari libur nasional!
Sebaliknya Gus Dur juga menyoroti kekecewaan yang dialami rakyat dari dua negara raksasa bola, Jerman dan Argentina yang kalah justru dari negara-negara yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Jerman dikalahkan Bulgaria 1 - 2, sedangkan Argentina dikalahkan Rumania 2 - 3.
Gus Dur menulis:
"Sungguh tipis batas antara kekecewaan dan kebanggaan dalam hal ini. Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut tim".
"Dari hal-hal seperti ini, bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia, oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepakbola? Sepakbola merupakan bagian kehidupan.....", tulis Gus Dur.
***
Itulah Gus Dur.
Sosok pemikir, intelektual, budayawan, kyai, ulama dan negarawan, sosok manusia multidimensi dan multitalenta.
Dia menyukai sepakbola, seperti halnya dia penggemar berat musik-musik klasik Beethoven, hingga alunan merdu suara Ummi Kaltsum!
Sungguh, pada saat setiap helatan Piala Dunia, saya rindu membaca ulasan-ulasan bernas Gus Dur!
*Dalam masa kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Manuel Kasiepo diangkat menjadi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Karya tulisnya terbit dalam bentuk jurnal ilmiah, buku dan tulisan populer. Di facebook pribadi, penulis kerap menulis tentang dinamika politik nasional maupun ulasan sosok intelektual publik secara singkat, padat, kritis dan reflektif.
Editor. KJ-JP