beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda AKADEMIA berita


Kamis, 12 Oktober 2023, 11:18 WIB

Nasionalisme dan Egalitarianisme: Membaca Mochtar Pabottingi

AKADEMIA

Buku karya Mochtar Pabottingi

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Dalam pendahuluan buku yang merupakan terjemahan (yang dilakukannya sendiri) dari tesis doktornya, Mochtar Pabottingi (MP) menulis sebagai berikut: "Saya meyakini bahwa sebagian besar permasalahan politik di Indonesia masih terus berkisar di dalam pelbagai ketegangan maupun tarik menarik antara tuntutan-tuntutan nasion dan tuntutan-tuntutan demokrasi yang akar-akarnya menghujam ke masa kolonial dan prakolonial" (hal. 5).

Sementara di akhir kata pengantarnya (hal. xiii) MP seperti memberikan tanggapan dari apa yang dikatakannya sendiri di pendahuluan itu. MP menulis sebagai berikut: "Determinan terbesar dari sejarah adalah kapitalisme. Proto-kapitalisme-lah yang menciptakan kolonialisme. Dan ia pulalah yang kini tampil atas nama oligarki, juga derivat kapitalisme. Bangsa kita kembali terancam untuk kembali tersungkup ke dalam penjajahan".  MP dengan kata lain ingin mengatakan bahwa bangsa Indonesia hari ini sesungguhnya belum benar-benar merdeka.

Kalimat di atas bisa dibilang tipikal MP, hasil analisisnya sebagai ilmuwan politik yang menjadi "conviction" atau bahkan "article of faith". Baginya, pengetahuan yang diperoleh dari riset, harus diyakini sebagai kebenaran yang menghasilkan sebuah sikap. Buku setebal 600 halaman yang dibaginya menjadi 12 bab  ini ditulisnya berdasarkan eksplorasi yang menurut hemat saya telah dilakukan secara habis-habisan terhadap khazanah literatur yang pernah ditulis oleh, sebagian besar, ahli-ahli asing tentang Indonesia. Buku yang semula merupakan disertasi doktornya di Universitas Hawaii, Amerika Serikat ini telah selesai ditulisnya pada tahun 1990.

Periode penelitiannya tentang sejarah perubahan politik dimulai tahun 1908, saat berdirinya Boedi Oetomo, sampai tahun 1980, saat Orde Baru sudah mapan sebagai rezim politik. MP mengatakan bahwa studinya menggunakan analisa wacana (discourse analysis). Ada tiga arus pemikiran dari tiga tokoh besar yang dia jadikan landasan teoretisnya: Marx, Weber dan Foucault. Tiga arus besar pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial ini merupakan kuali besar dimana kemudian narasi sejarah perubahan politik Indonesia dari 1908 hingga 1980 digodoknya.

Temuannya menunjukan dua hal pokok, pertama nasionalisme yang bertumpu pada otosentrisitas (dan seharusnya) berujung pada terbentuknya nasion, dan kedua egalitarianisme yang bertumpu pada rasionalitas (dan semestinya) berujung pada demokrasi.  Kedua proses itu, yang tumbuh pada awal abad 20, setelah berhasil keluar dari kolonialisme yang menanamkan paham non-egaliter, sayangnya mengalami diskontinuitas pada pertengahan tahun 1960an. Sejak itu menurutnya yang terjadi adalah hambatan kalau tidak dikatakan kegagalan karena berkembangnya apa yang dia sebut sebagai praktek-praktek non-egaliter dan distorsi dari nasionalisme untuk mewujudkan nasion. Disertasi yang selesai dipertahankan tahun 1990 dalam ujian yang menghasilkan predikat "magna cumlaude" itu melewati masa yang cukup panjang sebelum terjemahannya diterbitkan pada Agustus 2023. MP dalam pengantarnya mengatakan bahwa secara substansial tidak ada perubahan dari isi disertasi yang kemudian dia terjemahkan dan diterbitkan sebagai buku dengan layout yang bagus oleh Penerbit Obor.

Namun  sesungguhnya menarik bagaimana rentang waktu yang cukup panjang,  antara periode yang diteliti (1908 -1980), saat dipertahankan (1990) dan waktu diterbitkan versi terjemahannya (2023) telah berpengaruh terhadap versi terjemahan ini. Politik Indonesia tentulah tidak bergerak dalam diam, namun terus bergulir sepanjang waktu. Pada tahun 1998 Suharto turun dari tahta Orde Baru dan Indonesia bisa dikatakan memasuki babak baru politiknya. Tentang waktu antara 1990 hingga 2023 MP berkiprah sebagai peneliti senior di lembaganya (LIPI), menggantikan seniornya Dr. Alfian, ahli ilmu politik generasi awal Leknas-LIPI sezaman dengan Taufik Abdullah, Thee Kian Wie, Luhulima, Abdulrahman Surjomihardjo, AB Lapian dan Melly G. Tan.  Sejak kembali dari menyelesaikan studi doktoralnya MP terus berkarya, esainya secara rutin bisa dibaca di Kompas dan Tempo, selain artikel-artikelnya di majalah Prisma. Pada tahun 2013 MP menerbitkan buku memoarnya yang diberi judul “Burung-Burung Cakrawala” sebuah kisah perjalanan pribadinya yang penuh warna dan ditulisnya dengan indah.

Saat pergantian kekuasaan dari Suharto ke Habibie MP menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI dan terlibat langsung dalam gejolak politik yang terjadi. Namun MP memiliki sikap politiknya sendiri yang tidak selalu sejalan dengan semangat dari koleganya yang lebih muda  Ketika para peneliti muda di Pusat Penelitian Politik LIPI secara berani membuat pernyataan menuntut Presiden Soeharto mengundurkan diri, MP termasuk peneliti senior di samping Dr. Dewi Fortuna Anwar dan Dr. Indria Samego yang tidak bersedia ikut menandatangani surat protes yang dikawal oleh kolega mudanya seperti Haris Syamsuddin Haris, Ikrar Nusa Bhakti, Hermawan Sulistyo, Rifkie Muna, Muridan Widjojo dan Irine Gayatri.

MP tentu memiliki pertimbangan sendiri mengapa tidak ikut menandatangani surat protes yang digagas rekan-rekan peniti yuniornya. Seperti juga MP memiliki pertimbangan sendiri ketika pada akhirnya memutuskan untuk ikut mendatangani surat protes karena Pramoedya Ananta Tour menerima Hadiah Magsaysay pada tahun 1995. Saat itu kaum intelektual top Indonesia terbelah dalam polemik pro dan kontra hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer. Di satu pihak, para penentang pemberian hadiah, antara lain Mochtar Lubis dan Taufik Ismail, dan di pihak yang mendukung pemberian hadiah itu, antara lain Goenawan Mohamad dan Arief Budiman. Momen memutuskan untuk memilih salah satu pihak bagi MP seperti kemudian ditulisnya di sebuah esai-nya, adalah momen yang sangat pelik, ibarat meniti sebuah benang yang sangat tipis. Tapi saya kira itulah MP seorang intelektual yang menyadari pilihan sikapnya yang harus dipertimbangkan secara hati-hati dan apapun pilihannya hampir selalu bersifat politikal.

Sebagai akademisi MP memiliki latar belakang yang menarik. Menyelesaikan S1-nya dari Jurusan Inggris, Fakultas Sastra UGM, kemudian mendapat gelar master dari Jurusan Sosiologi di Amherst University dan doktor dari Jurusan Ilmu Politik dari Universitas Hawaii, keduanya dari Amerika Serikat. Pilihannya untuk melakukan studi pustaka dengan analisis wacana, dan bukan berdasarkan penelitian lapangan (empirical field work) sebagian ditentukan oleh latar belakangnya yang kuat dengan dunia sastra dan pemikiran. Dalam sebuah obrolan, seniornya di LIPI, sejarawan Taufik Abdullah pernah nyeletuk, "Mochtar ini nggak suka penelitian empiris".

Buku yang berjudul lengkap "Nasionalisme dan Egalitarianisme di Indonesia, 1908-1980: Menelaah Masalah-Masalah Diskontinuitas dalam Diskursus dan Praktik Politik" adalah magnum opus MP dan menjadi sumbangannya yang penting dalam ikut mencerdaskan bangsanya, terutama kaum muda yang kritis yang di zaman sosmed ini masih mau meluangkan waktu untuk membaca buku.

MP di dua bab terakhir bukunya menunjukkan bahwa di samping terjadi diskontinuitas dari nasionalisme dan egalitarianisme ada gejala yang memperlihatkan bahwa egalitarianisme tetap tumbuh sebagai bukti dari resilensi sebuah nasion. Di bab 11 MP menguraikan secara panjang lebar bagaimana bahasa Indonesia tumbuh sebagai bahasa yang mencerminkan kesadaran egaliter dari nasion Indonesia. Di bab 12 melalui dua tokoh yang sangat dikaguminya Nurcholish Madjid dan Soedjatmoko, MP menunjukkan apa yang disebutnya sebagai berkembangnya teologi egaliter dan bayangan jalan-jalan egaliter yang memberikan optimisme akan masa depan negerinya.

Membaca buku MP ini saya melihat MP telah berusaha untuk secara jernih dan tajam menyusun argumentasinya secara seimbang, meskipun tidak bisa disembunyikan keyakinan dan "conviction"-nya yang kuat terhadap Islam yang menurutnya merupakan sumber kekuatan politik egaliter yang utama di Indonesia. Pembelaannya terhadap Islam membawanya pada kritik kerasnya terhadap pandangan Ben Anderson yang dinilainya keliru dalam menilai Islam. Ketika mengupas tentang bahasa Indonesia sebagai cermin egalitarianisme MP juga mengkritik keras pandangan Ben Anderson yang dinilainya keliru karena menganggap telah terjadi kramanisasi bahasa. Terhadap Soedjatmoko yang dikaguminya MP juga secara halus menunjukkan perbedaan pandangannya mengenai Orde Baru.

Di catatan kaki 110 (hal. 563), MP menulis sebagai berikut: Di sini penulis berbeda pendapat dengan Soedjatmoko. Setidaknya beliau tetap perlu menegaskan sikap kritisnya atas masalah sepenting ini. Terlepas dari runtun angka-angka pertumbuhan ekonominya yang tinggi, pemerintahan Orde Baru tak semestinya berbangga atasnya jika itu semua secara sadar diperoleh dengan penerusan kesenjangan struktural kolonial. Tetapi sebagai seorang yang sempat aktif dalam pemerintahan Orde Baru, ada kemungkinan posisi penilaian itu diambil Soedjatmoko atas pertimbangan untuk tak menyinggung Suharto sehingga menutup peluang baginya untuk bisa terus memberikan sumbangsih nyata dalam rangka model pembangunan yang dia dambakan.

Membaca argumentasinya dalam catatan kaki 110 tentang tokoh yang dikaguminya, sulit disembunyikan semacam ambiguitas dan mungkin sisi paradoks seorang intelektual yang sering diidealkan sebagai seseorang yang jujur dan berani "to speak truth to power".

Buku “Nasionalisme dan Egalitarianisme” adalah buku terjemahan yang dilakukannya sendiri dari tesis dokyornya. Bisa dibayangkan bahwa MP tidak hanya menterjemahkan namun telah menyuntingnya dengan kemampuan menulis esainya yang tinggi dan hasilnya adalah sebuah karya yang tidak saja bermutu secara akademik tapi juga indah secara sastrawi. Oleh MP buku ini didedikasikan untuk istri tercintanya, yang ditulisnya sebagai berikut:

Kepada Nahdia. Bayu yang tiada henti menating kedua sayapku

MP mengalami koma cukup lama sebelum wafatnya pada tanggal 4 Juni 2023. Keletihan menyelesaikan penterjemahan dan penyuntingan buku yang terbit hampir tiga bulan setelah wafatnya ini menunjukkan kegigihan dan tekadnya yang kuat untuk memenuhi janjinya, menjadikan karya utamanya, magnum opus-nya bisa dibaca oleh publik.  Pembaca buku ini harus mengapresiasi komitmen yang tinggi dari keluarga inti MP untuk menuntaskan tekadnya menerbitkan buku ini.  Pada tanggal 23 Agustus 2023 untuk mengenangnya saya menuliskan bait-bait dibawah ini.

 

Burung Cakrawala itu telah pergi

 

Setelah sekian lama melayang-layang di keluasan angkasa.

Terbang sendiri menembus awan tebal yang dingin dan sepi

Di ketinggian langit dalam dekapan kabut dan hangatnya sinar mentari

Burung gagah itu melesat meninggalkan cakrawala yang selama ini dihuninya

Engkaulah sang burung cakrawala itu

Engkaulah yang selalu terbang sendiri dalam sunyi mengitari bumi

Bumi yang selalu basah berpeluh yang selalu engkau awasi dengan mata elang-mu

Bumi yang engkau ikut mencangkul menyiraminya agar gembur tanahnya

Bumi yang engkau harapkan menjadi taman subur penuh bunga warna warni

Engkau yang bermimpi menari dalam keindahan taman bunga yang wangi

Engkau yang terbangun di malam hari menyaksikan semua itu hanya mimpi

Kecewa dan rasa getir tak mungkin engkau khianati

Engkau sesungguhnya lelah dan perlu tempat teduh untuk istirah

Ketika ragamu tak lagi mampu menegakkan sukmamu yang selalu gelisah

Hanya melayang di ketinggian langit sampai kau putuskan melesat melampaui cakrawala

Sungguh aku tak tahu apa yang terjadi dengan dirimu di atas sana

Aku harap kekecewaan dan kegetiran itu telah pupus hilang terkikis di atas sana

Semoga

 

*Kampung Limasan Tonjong, 12 Oktober 2023. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo tentang pelbagai topik dapat diakses melalui rubrik Akademia portal kajanglako.com

Editor. KJ-JP

TAGAR: #akademia#Mochtar Pabottingi #nasionalisme#egalitarianisme#yayasan obor indonesia#demokrasi#orde baru

indeks berita Akademia
AKADEMIA Senin, 04 Desember 2023, 08:51WIB
Memasuki Alam Rupa

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Bagi saya, seorang amateur dalam dunia seni, perlu memilik keberanian untuk menerima resiko dicemooh ketika diminta untuk menulis pengantar sebuah pameran seni rupa. Apalagi pameran......

AKADEMIA Senin, 04 Desember 2023, 08:41WIB
Sriti dan Indahnya Gerak Kehidupan

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Buku terbaru buah karya Romo Kirjito ini sangat unik. Sriti, burung kecil yang tampak berwarna hitam gelap yang sering kita lihat terbang di angkasa namun tak pernah kita hiraukan......

AKADEMIA Minggu, 05 November 2023, 07:45WIB
Jokowi, IKN dan Masa Depan Kita

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Pada 11 Mei 2019 kira-kira setahun sebelum Covid-19 melanda Indonesia dan dunia saya menulis esai pendek yang isinya mendukung gagasan rencana pemindahan ibukota......

AKADEMIA Kamis, 21 September 2023, 08:11WIB
Ignas Kleden

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Dalam sebuah percakapan dengan Salman Rushdie, mungkin menjadi wawancara terakhir sebelum wafat karena penyakit leukemia yang dideritanya, Edward Said, mengkritik penggunaan istilah......