beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda AKADEMIA berita


Minggu, 05 November 2023, 07:45WIB

Jokowi, IKN dan Masa Depan Kita

AKADEMIA

buku baru

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Pada 11 Mei 2019 kira-kira setahun sebelum Covid-19 melanda Indonesia dan dunia saya menulis esai pendek yang isinya mendukung gagasan rencana pemindahan ibukota (http://kajanglako.com/id-8155-post-memindahkan-ibukota-revolusioner-visioner---.html.) oleh Presiden Jokowi. Esai pendek itu saya awali dengan kalimat seperti ini:

Memindahkan ibukota adalah rencana revolusioner yang visioner. Jika terlaksana, Indonesia akan berubah hampir total, sebuah perubahan raksasa yang meskipun bisa diprediksi namun tidak mungkin bisa terbayangkan sepenuhnya. Peta bumi sosial, ekonomi dan politik serta kebudayaan Indonesia akan berubah drastis karena pusat gravitasi tidak lagi di Jawa tapi di luar Jawa yang selama ini jadi daerah pinggiran. Pergeseran pusat gravitasi inilah yang akan merubah peta bumi Indonesia, yang selama ini di dominasi oleh Jawa, secara fisik dan mental, menjadi Indonesia dengan wajah yang baru - sebuah Indonesia masa depan(Kajanglako. 11 Mei 2019).

Latar belakang akademik formal saya sebagai seorang demografer barangkali menjadi alasan mengapa saya segera mendukung gagasan memindahkan ibukota. Meskipun saya tahu bahwa di negara manapun distribusi penduduk tidak pernah merata namun distribusi penduduk antara Jawa dan Luar Jawa dari negeri yang berbentuk kepulauan ini memang terlalu njomplang.  Secara instingtif saya melihat harapan akan terjadi perubahan jika pusat gravitasi dipindahkan. Dalam esai itu saya menilai Jokowi sebagai presiden yang visioner sekaligus revolusioner.Dalam esai yang lain saya menilai Jokowi sebagai seorang presiden yang pragmatis dan visioner (http://kajanglako.com/id-7930-post-jokowi-pragmatis-yang-visioner---.html.).

Pada bulan September 2020 sebuah buku tentang Presiden Jokowi diterbitkan. Buku itu ditulis oleh  Ben Blend, peneliti dari Lowy Institute, sebuah Think Tank di Australia, yang berjudul Man of Contradictions: Jokowi and the struggle to remake Indonesia (Pinguin Special, 2020). Dalam sebuah esai  (http://kajanglako.com/id-11494-post-jokowi-sosok-penuh-kontradiksi.html) yang merupakan tanggapan terhadap sebuah buku itu saya mencoba melihat Jokowi dari sisi yang lain.

Dalam esai itu saya menulis seperti ini:

Dalam perspektif Ben Bland, menghadapi pandemi yang terus mengancam warga ini Jokowi akan terlihat kontradiktif ketika dia ingin mendahulukan ekonomi, tapi dia juga mau menyelamatkan penduduk; keduanya bisa punya implikasi saling menegasikan. Tapi lagi-lagi di sinilah menurut pendapat saya deskripsi tentang kontradiksi agak kurang tepat, dan dengan demikian cenderung meleset dalam menjelaskan tentang realitas yang ada. Bagi Jokowi, pandemi ini, betapapun beratnya, adalah bagian dari anak tangga yang harus ditapaki dalam menuju puncak. Pragmatisme ekonomi dan intuisi dan insting politiknya yang kuat akan mendiktenya untuk mengeksekusi pilihan-pilihan kebijakan yang bisa saja tidak populer dan dianggap melanggar kebebasan sipil, seperti mengerahkan TNI dan Polri untuk turun menangani pandemi. Jokowi juga akan terkesan "machiavelis" ketika terus merampingkan jalan agar investasi masuk dan proyek infrastrukturnya tetap jalan. Mungkin di sini Ben Bland benar, Jokowi memang lebih mirip Suharto daripada Sukarno. Jika Sukarno adalah bapak ideologisnya, Suharto adalah bapak pembangunannya. Di tangan Jokowi tidak ada kontradiksi antara Sukarno dan Suharto, keduanya adalah sumber bagi inspirasinya sebagai presiden pragmatis yang visioner. (Kajanglako,8 September 202).

Esai-esai saya tentang Jokowi di atas harus diakui ditulis dengan perspektif yang optimis tentang masa depan Indonesia yang tampaknya sedang ingin dibangun fondasinya oleh Presiden Jokowi. Namun dalam esai-esai itu saya juga menunjukkan bagaimana perkembangan tingkah laku Presiden yang menjadi semakin pragmatis. Dalam esai yang terakhir yang bertanggal 8 September 2020 itu saya sudah melihat kecenderungan sifat machiavelistis dari Jokowi dalam melaksanakan keinginan dan gagasannya. Sebagai machiavelis Jokowi telah memisahkan antara etika dan politik. Dalam perspektif ini Jokowi sudah mempraktekkan sebuah adagium bahwasanya politik tetap bisa “baik” dalam arti berhasil mencapai tujuannya meskipun melanggar etika - sebuah pilihan politik yang hari-hari ini sangat disesalkan oleh banyak pihak.

Dalam sebuah artikel yang cukup panjang yang saya tulis bersama Peter Carey di Jurnal Asia Major (https://www.asiamaior.org/the-journal/asia-maior-vol-xxxiii-2022/indonesia-2019-2022-the-authoritarian-turn-as-leitmotif-of-president-jokowis-second-term.html) saya melihat Jokowi menjadi semakin pragmatis dan otoriter. Semakin dekat akhir masa jabatannya sebagai presiden hampir pasti membuatnya dihantui deadline dari proyek-proyeknya yang belum rampung. Salah satu proyek yang jauh dari rampung, dan barangkali yang terbesar, adalah pembangunan IKN. Di bagian kesimpulan artikel ini, kami menulis sebagai berikut:

Jokowi’s drift towards authoritarian government in his second administration has to be located in a wider perspective. This has both domestic and global dimensions. While his authoritarianism is shaped by domestic politics, it has an international context. In fact, globally, Jokowi’s political agenda is unexceptionable. Authoritarian tendencies during Jokowi’s second term are part of a global phenomenon: neo-liberal ideologies have been in the ascendant worldwide since at least the end of the Cold War (1947-91). The overlap between global and local realities has been accelerated by COVID-19 (2020-22). As the pandemic spread around the world, so international collaboration between nations to curb the disease rose to the top of the agenda. Jokowi’s achievement in securing sufficient vaccines to inoculate over 60% of Indonesia’s population, and his success in organizing the 15-16 November 2022 G-20 leader’s meeting in Bali, both reflect his standing as a global leader. But these successes cannot excuse his failures in upholding democracy and the rule of law as epitomized by the Ferdy Sambo murder case and the Kanjuruhan Stadium tragedy. Both involved the deeply corrupt Indonesian state police force and show the distance Indonesia still has to travel before becoming an established rule-of-law state (rechtstaat).

Leaving aside the ongoing state-sponsored violence, persecution and human rights violations in Papua, such egregious infringements of democratic principles and individual liberties are the direct result of various national laws and regulations passed by the second Jokowi administration. These are mostly designed to boost foreign investment and economic growth. Despite the economic downturn caused COVID-19 and the war in Ukraine, Jokowi has been able to survive. Yet the cost has been high – namely an ever-shrinking space for freedom of expression. As several big projects, such as the Jakarta-Bandung bullet train and the development of a new national capital, currently hang in the balance, Jokowi has to find increasingly drastic ways to ensure their success. While the controversial idea of extending his tenure to a currently unconstitutional third presidential term has been shelved for now, the only alternative is securing the election of a successor president, such as his Defence Minister Prabowo Subianto, who might ensure the longevity of these projects. For Jokowi, the 2024 presidential race is crucial. Although he will likely no longer himself be a contender, its outcome will determine the nature of his political legacy. As Indonesia’s first and only businessman president, the last entry in his accounts’ ledger has yet to be written.

Belum lama ini sebuah buku dalam bahasa Inggris tentang IKN diterbitkan oleh Penerbit Springer (2023). Buku itu berjudul: Assembling Nusantara: Mimicry, Friction, and Resonance in the New Capital Development. Pada bagian pengantar di  halaman 2 dijelaskan oleh editornya (Henny Warsilah, Lilis Muryani dan Ivan Kurniawan Nasution) sebagai berikut:

This book is a sociocultural scientific study that aims to research (inquire), understand, and approach the imaginaries and realities wrought by the ongoing transformation of the New Capital City. To that end, we introduce three key approaches (concepts) from three different disciplines—mimicry (geography), friction (anthropology), and resonance (sociology)—as a conceptual framework for writing the book.

Sejauh yang saya tahu, inilah buku pertama yang berusaha sejauh mungkin mengupas “fenomena IKN” yang telah mengharubiru berbagai pihak yang peduli tentang Indonesia dan masa depannya. Sejak awal IKN telah menjadi kontroversi besar karena implikasinya yang besar, inilah ide yang mungkin paling besar di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Presiden Sukarno adalah orang pertama yang merencanakan ibukota tapi tidak pernah terlaksana. Ketika Presiden Joko Widodo kembali menggulirkan gagasan ini dan mulai melaksanakan gagasannya, dia seperti tak terbendung untuk menjadikan gagasannya itu menjadi kenyataan.

Kita semua tahu Covid-19 telah menghantam dengan keras ekonomi Indonesia, dan realisasi pembangunan IKN dan berbagai proyek infrastruktur lainnya di berbagai tempat di Indonesia terpaksa ditunda atau dibatalkan. Kita tahu proyek kereta super cepat Jakarta Bandung tertunda bertahun-tahun meskipun kemudian terlaksana. Dibandingkan dengan proyek kereta super cepat Jakarta Bandung, proyek pembangunan IKN adalah sebuah mega proyek yang penuh ketidakpastian keberhasilannya. Namun kita tahu Presiden Jokowi tidak akan mundur. Seperti telah saya dan Peter Carey tuliskan dalam Jurnal Asia Major diatas, proyek IKN ini adalah sebuah proyek yang bagi Jokowi harus dilanjutkan oleh Presiden yang akan datang.

Apa yang kami prediksi dalam tulisan di Jurnal Asia Major bahwa Jokowi akan memilih Prabowo Subianto sebagai calon pengganti yang dipercaya akan melanjutkan proyek besarnya yang belum terlaksana terbukti benar.  Bahkan di luar dugaan banyak orang keberaniannya mengajukan anak pertamanya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto melalui sebuah skandal politik sungguh-sungguh di luar nalar.  Melalui sebuah manipulasi politik Mahkamah Konstitusi dipaksa untuk mengubah persyaratan menjadi capres dan cawapres yang memungkinkan anak pertamanya bisa maju. Sampai saat ini peristiwa di luar nalar ini masih menjadi kontroversi hukum dan politik yang sangat serius di negeri ini.

Jika benar “fenomena IKN” adalah sebuah taruhan paling besar bagi Jokowi yang membuatnya melakukan apa saja yang mungkin dapat dilakukan dalam jangkauan kekuasaan yang masih tersisa sebagai presiden, maka memang “fenomena IKN” memang bukan fenomena biasa dalam sejarah dan masa depan Indonesia.

Buku  Assembling Nusantara: Mimicry, Friction, and Resonance in the New Capital Development  oleh karena itu merupakan buku penting karena di dalamnya secara akademik didiskusikan berbagai aspek dan isu sosio-kultural yang menyangkut “fenomena IKN”. Buku ini terdiri dari delapan belas bab yang ditulis oleh sekitar empat puluh penulis yang mayoritas merupakan peneliti ilmu-ilmu sosial BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Buku ini isinya dibagi menjadi tiga bagian besar yang berusaha mendiskusikan tiga dimensi yang kurang lebih mencerminkan tiga disiplin besar dalam ilmu sosial: geografi, antropologi dan sosiologi.

Meskipun seperti dikatakan dalam pengantar buku ini hanya membicarakan aspek dan isu yang disebut sebagai sosio-kultural, buku ini telah merambah lingkup (scope) yang sangat luas.”Fenomena IKN” memang fenomena luar biasa, terlepas setuju atau tidak setuju dengan proyek ini, buku ini bisa dinilai sebagai sebuah upaya awal kalangan akademik yang secara kritis berusaha mendiskusikan sebuah sisi dari fenomena besar ini.  Para akademisi Indonesia memang masih harus bisa membuktikan diri apakah mampu melakukan studi dan riset yang secara sungguh-sungguh dan disertai komitmen sosial tentang berbagai isu dan masalah besar yang tidak sedikit masih dan sedang dihadapi oleh bangsa dan negerinya. Buku ini pantas mendapatkan apresiasi karena telah memperlihatkan adanya kesungguhan dan keseriusan itu.

“Fenomena IKN” adalah sebuah fenomena besar yang membutuhkan pengkajian dari berbagai aspek, aspek politik-ekonomi misalnya, mungkin merupakan aspek yang sangat krusial, kalau tidak yang paling kritikal, yang akan menentukan keberhasilan atau kegagalan mega proyek Presiden Jokowi ini. Berbagai isu ekonomi-politik ini perlu dikaji secara kritis karena memiliki implikasi yang besar pada masa depan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. “Fenomena IKN” inipun sebagaimana disinggung dalam buku baru ini menjadi fenomena menarik secara global antara lain karena pretensinya untuk membangun kota masa depan yang ramah lingkungan.

Sebagai hasil kajian awal tentang sebuah mega proyek yang sesungguhnya masih diliputi keraguan akan keberhasilannya buku Assembling Nusantara: Mimicry, Friction, and Resonance in the New Capital Development ini telah menyajikan diskusi dan informasi yang kaya dan menjadi sumber pengetahuan penting untuk kajian-kajian selanjutnya tentang “fenomena IKN”.

Apa yang ditulis oleh Johannes Widodo di bab pertama, halaman 17, dalam  buku ini barangkali bisa menjadi pengingat kita semua betapa krusialnya berbagai langkah yang harus dilakukan untuk merealisasikan pekerjaan raksasasa yang menjadi salah satu taruhan besar masa depan Presiden Joko Widodo ini:

It takes hundreds of years of a continuous and complex layering of cultures, ideologies, economics, and ecosystems to create a vibrant city—incremental development. And especially today, we need to use our limited resources wisely to shape the city slowly. The wisdom includes technological innovation and usage that is purposeful and not wasteful. We need appropriate human-centred technology, as a means to an end and not as an outcome themselves.

Technological innovations must be emphatic to mother nature and humans, ensuring the survival of future generations. To ensure future survival, the following fundamental attitudes and mindsets are needed by different agencies and stakeholders involved in the planning, designing, building, and development of the new capital city: Natural (not destructive, not greedy); Bersih (not dirty, not corrupt); Tidak Mubazir (not creating any waste, not leaving any debt); and Tawadhu (not pompous, not arrogant).

“Fenomena IKN” menurut dugaan saya akan terus menjadi bagian dari proses sosial, politik dan ekonomi yang akan ikut menentukan masa depan kita. Dalam waktu dekat kita akan melihat bagaimana proses politik menjelang Pilpres 2024 akan bergulir dan kita akan menyaksikan apakah kontestasi itu akan berlangsung jujur dan adil.

Tampaknya berbagai peristiwa telah memberi indikasi bahwa Presiden Jokowi sulit untuk diharapkan akan bersikap netral meskipun saya tidak tahu apa yang sesungguhnya menjadi tujuan utama dari tindakannya yang semakin dirasakan di luar nalar dan etika itu. Namun jika ada satu hal yang tampaknya menjadi taruhan bagi Presiden Jokowi adalah “fenomena IKN” yang membuatnya harus memastikan presiden dan wakil presiden terpilih nanti bisa melanjutkan estafet membangun IKN yang fondasinya telah dipancangkannya.

*Kampung Limasan Tonjong, 5 November 2023. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo tentang pelbagai topik terbit di rubrik Akademia portal kajanglako.com

TAGAR: #akademia#IKN#Jokowi

indeks berita Akademia
AKADEMIA Senin, 04 Desember 2023, 08:51WIB
Memasuki Alam Rupa

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Bagi saya, seorang amateur dalam dunia seni, perlu memilik keberanian untuk menerima resiko dicemooh ketika diminta untuk menulis pengantar sebuah pameran seni rupa. Apalagi pameran......

AKADEMIA Senin, 04 Desember 2023, 08:41WIB
Sriti dan Indahnya Gerak Kehidupan

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Buku terbaru buah karya Romo Kirjito ini sangat unik. Sriti, burung kecil yang tampak berwarna hitam gelap yang sering kita lihat terbang di angkasa namun tak pernah kita hiraukan......

AKADEMIA Kamis, 21 September 2023, 08:11WIB
Ignas Kleden

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Dalam sebuah percakapan dengan Salman Rushdie, mungkin menjadi wawancara terakhir sebelum wafat karena penyakit leukemia yang dideritanya, Edward Said, mengkritik penggunaan istilah......