Oleh: Allie Ghiardien Ginting *)
Indonesia adalah negara dengan anugerah kekayaan keanearagaman hayati. Macam-macam tanaman pangan dapat tumbuh subur di sebagian wilayah Indonesia. Kelebihan lain selain sumber daya alam yang melimpah, negara kita juga dianugerahi letak wilayah yang strategis dengan iklim tropis yang memungkinkan radiasi matahari diterima sepanjang tahun, suhu di Indonesia yang sangat optimal sangat baik bagi pertumbuhan tanaman.
Hampir segala jenis tanaman yang ada di belahan dunia lain dapat tumbuh di tanah Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang besar, namun di sisi lain masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan. Keterpurukan seltor pertanian kita semakin nyata dengan fakta ketertinggalan pertanian indonesia dibanding negara-negara yang memiliki keterbatasan di bidang iklim dan luasan potensi lahan pertanian.
Fakta cukup mencengangkan adalah indonesia menjadi pengimpor produk pertanian di mana seluruh potensi yang dimiliki sangat mendukung untuk menjadi negara pengekspor. Padahal, tahun 1980-an, negara kita menjadi negara pengekspor utama beras di wilayah Asia bahkan pernah memberi bantuan ke India dan Afrika.
Negara seperti Malaysia yang dulu pernah belajar bagaimana cara bercocok tanam pada negara kita, justru kini kondisinya terbalik. Sekarang kita yang belajar dan membeli beras dari mereka. Peran pemerintah yang seakan-akan tidak menjadikan pertanian menjadi idola di negara sendiri dengan berbagai potensi yang ada, sangat berbeda dengan negara-negara maju yang menjadikan pertanian menjadi primadona di tengah keterbatasan iklim dan potensi negaranya.
Secara khusus, keterlibatan dunia akademik dalam pengembangan pertanian dibatasi dengan ruang birokrasi yang sangat rumit sehingga peran akademisi dalam mengembangkan pertanian sangat terbatas. Meskipun hal ini tidak menghalangi banyak akademisi dalam mencetak generasi muda yang dapat mengawal pengembangan pertanian indonesia.
Logika yang aneh di negeri yang hijau ini adalah ketidakberpihakan oknum aparat penyelenggaraan negara kepada pertanian yang sebenarnya menjadi kunci kesejahteraan masyarakat indonesia. Akses investasi hanya terfokus pada sektor migas dan sektor lainnya yang secara langsung hanya memberikan dampak pada segelintir orang.
Ketidakberpihakan ini juga dapat dilihat dengan minimnya insentif dan sosialiasi akses permodalan bagi masyarakat yang mengembangkan pertanian indonesia. Hal ini tergambar pada pertanian keluarga indonesia.
Pertanian keluarga atau family farming didefinisikan sebagai cara pengorganisasian produksi pertanian, kehutanan, perikanan, pastoral (pengembalaan), dan akuakultur (perikanan darat) yang dikelola dan dikerjakan oleh keluarga dan sebagian besar bergantung pada tenaga kerja keluarga, baik perempuan dan laki-laki, dan merupakan basis produksi yang berkelanjutan (FAO, 2014).
Awal perubahan pertanian sebenarnya dimulai saat dilaksanakannya revolusi hijau pada tahun 1960-an.Dalam jangka panjang modernisasi pertanian berhasil membalik budaya pertanian (agriculture) menjadi agribusiness yang diatur oleh pasar dan sangat bergantung pada pihak dan input luar. Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam kepemilikan dan penguasaan lahan serta berubahnya pranata sosial di pedesaan.
Tanah-tanah pertanian di Jawa dimiliki oleh keluarga inti (batih). Rata-rata kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian oleh keluarga petani berkisar antara 0.2-0.3 ha.
Sangat jelas hasil dari pertanian tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Untuk bertahan hidup keluarga petani mencari tambahan dengan bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan dan bermigrasi ke luar negeri sebagai pekerja informal (asisten rumah tangga, buruh perkebunan, dll).
Hal ini menjadi bukti nyata bagaimana ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani yang--seperti dikemukakan di awal--berbeda dengan negara–negara maju yang memberikan akses pengolahan lahan yang besar dan ditunjang dengan dukungan tekhnologi serta insentif dalam tata kelola pasar yang baik.
Bagaimana petani, demikian pula halnya nelayan kita. Nelayan khususnya nelayan kecil menghadapi dua krisis sekaligus yaitu krisis sosio-agraria pesisir dan krisis ekologis (man-made disasters). Kondisi krisis sosio-agraria ini semakin diperparah dengan terjadinya krisis ekologis, di antaranya over-eksploitasi jenis tangkapan tertentu dan kerusakan kawasan pesisir dan laut.
Dapat disimpulkan bahwa ketidakberpihakan pemerintah dalam kebijakan pengembangan pertanian dalam struktur sosial dan faktor lainnya adalah fakta yang menjadi realita yang memunggungi dan abai terhadap potensi yang dimiliki negara Indonesia.
*) Mahasiswa Pascasarjana Agribisnis IPB