beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda SUDUT berita


Sabtu, 09 November 2019, 09:50 WIB

Sanctuary: Solusi Penyelamatan Gajah di Tebo

SUDUT

ilustrasi

Oleh: Jon Afrizal* 

"Elephants are intelligent creatures with complex physical and social needs."

Sepanjang lima tahun terakhir ini, telah terjadi konflik terbuka di Kabupaten Tebo. Konflik antara gajah dan manusia, serta gajah memakan tanaman.

Belum ada data yang dengan tepat menjelaskan terkait jumlah satwa berukuran tambun itu di sebarannya di bagian terendah landscape Bukit Tigapuluh., yakni di Kecamatan Sumay dan Suo-Suo.

Ada yang bicara 140-an ekor, ada juga yang mengklaim lebih dari 150 ekor. Wow, jumlah yang fantastis, tentu saja, mengingat areal jelajah satu ekor gajah sekitar lebih dari 10 kilometer persegi per hari. 

Coba bandingkan dengan luas total Kabupaten Tebo, yakni 6.461 kilometer persegi. Sehingga adalah wajar jika terjadi saling klaim kepemilikan lahan antar manusia dengan gajah.

Akibat dari areal jelajah gajah itu, manusia yang berkehidupan di sana (merasa) terganggu. Selain berbagai konsesi perhutanan dan perkebunan, juga ada masyarakat yang berkebun dan bercocok tanam.

Kita tidak bisa mengatakan mereka datang setelah gajah ada atau datang jauh sebelumnya. Toh, jika boleh jujur, mereka umumnya punya KTP lokal. Tetapi, jika ada yang ingin tau lebih dalam soal kependudukan, tentu harus merujuk ke perangkat pemerintahan terendah negeri ini, yakni sejak dari RT, hingga ke instansi pengurusan kependudukan di atasnya.

Jika kita bicara "Elephant's First, Human Next", tentu juga tidak fair. Sebab manusia memang diciptakan sebagai mahluk tertinggi stratanya di alam raya.

Bila kita ngomong, "Human's conquered all" pun tidak adil juga. Sebab mahluk lain juga diperbolehkan hidup di bentang bumi ini. 

Namun konflik terbuka sudah kadung terjadi. Sebagai hewan yang terus belajar, sehingga Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dirupai satwa gajah, maka hewan ini terus mencari makanan dan areal hidup yang lebih baik dari hari ke hari.

Jika awalnya, hewan ini hanya makan rerumputan saja, kini ia telah makan pepadian, sayursayuran, bambu, tunas sawit, kulit akasia dan kulit pohon karet. Seiring kecerdasannya, entah makanan apa lagi yang ingin dicicipnya. Semoga saja bukan junk food.

Terkait dengan adanya manusia di sana, maka kawanan gajah itupun memakan tanaman yang ditanam manusia. Teritori bagi gajah tentu saja berbeda penterjemahannya dengan manusia. Maka, konflik pun terjadi.

Kisah tentang gajah yang mati diracun dan diburu pun terus berulang. Jadilah satwa ini sebagai "hama" bagi manusia, harus "diberantas" sifat "pengrusakannya".

Persaingan teritori antar individu gajah pun turut berkecamuk di sana. Individu gajah muda tentu kalah pamor, dan menghindar menjauh hingga ke kabupaten tetangga, seperti Batanghari, Sarolangun, dan Tanjungjabung Barat.

Di areal baru itu, kembali lagi gajah melakukan sifat gajahnya. Dan, jelas saja, manusia tidak suka. Tersebab belum dikomunikasikan terlebih dahulu, dan belum juga urun rembuk soal tanaman apa yang boleh dilalap dan mana yang tidak.

Terkait masalah komunikasi, tentu saja kita sedang bicara "bahasa". Dan, hingga kini belum ada "kamus lengkap bahasa gajah" yang sudah diterbitkan. Ya, wajar saja, gak komunikatif jadinya dengan penduduk.

Kegiatan usir dan halau pun dilakukan. Lagi-lagi, sebagai area yang dinyatakan sebagai habitat gajah, kawasan Sumay dan Suo-Suo yang jadi pilihannya.

Akumulasi dari persoalan itu semua telah membuat individu gajah berubah tatacara hidupnya. Hewan yang terbiasa dengan "hutan sekunder" ini, dengan pohon-pohon berukuran kecil hingga sedang serta rerumput ilalang di dataran rendah, kemudian harus menyuruk ke hutan yang lebat. 

Bahkan geografis perbukitan dengan kemiringan di atas 40 derajat pun mereka tempuh untuk hidup. Perubahan struktur berkehidupan yang sangat menyedihkan.

Sejauh ini, belum ada upaya yang mengena guna mengatasi konflik terbuka itu. Atau, jangan jangan konflik berarti "donate"? Who's know?

Ada begitu banyak lembaga yang berkegiatan di sana. Mulai dari tingkat internasional hingga lokal. Dan, tetap saja konflik terus terjadi.

Ya manusia-nya, ya gajah-nya sama-sama susah. 

Satu yang harus dilakukan saat ini, adalah membuat Elephant Sanctuary. Sanctuary, dalam artian harfiah adalah sebuah "daerah yang disucikan". Tentu disini kita sedang bicara gajah, bukan satwa beruk atau sejenisnya.

Nah, menurut para pakar, areal itu hanya boleh untuk hidup gajah saja. Tidak untuk aktifitas lain. "Kesucian" gajah ditata dengan rapi. Mulai dari ketersedian pangan hingga kehidupan sosialnya. 

Yup, ada banyak lembaga yang terbiasa berurusan dengan "donate" yang berkegiatan di sana. Bisa saja dirembukan bersama terkait masalah finansial dan sejenisnya.

Itu jika memang ingin benar-benar menyelamatkan satwa yang di-IUCN-kan ini. Jika tidak, silahkan bicara konflik terus menerus, hingga tidak ada satupun yang tertarik lagi untuk membicarakannya.

Sebagai contoh, ada sebuah sanctuary gajah di Tennesse, Amerika Serikat yang telah dikembang sejak 1995. Sebuah areal non-profit yang diperuntukan bagi gajah asal Asia dan Afrika. 

Tentunya, harus ada lisensi dari lembaga yang mumpuni di bidangnya. Sehingga, gajah benar benar dijamin hidup dan berkembang biak dengan tenang. 

Aturannya jelas, luasan areal sanctuary sesuai dengan areal habitat per individu. Jadi, tidak serta merta saja terungkap seperti mimpi saat tidur di tengah siang hari.

Gajah diawasi dengan banyak kamera tele, agar mereka dapat hidup dengan baik. Dan bukan gajah yang diberi alat untuk mengawasi areal di sekitarnya.

Ini artinya, manusia tidak boleh dekat dengan gajah. Selain persoalan keamanan, juga berhubungan dengan kesehatan.

Jadi, jangan berharap, anda seperti sedang menonton sirkus ketika datang ke sana. Meminta gajah mengangkat satu kaki depan, lalu penonton bertepuk tangan beramairamai. Itu melanggar hak azazi gajah.

Dengan lokasi sanctuary yang jelas, areal yang berada di luar kawasan itu sudah pasti bisa dimanfaatkan untuk manusia. Tanpa takut jika malam hari pondoknya dirobohkan gajah.  

Jika ini tidak cepat dilakukan, maka tidak ada lagi yang peduli jika anda bicara tentang IUCN, sementara masa depan anak-anak mereka hanya bergantung pada hamparan kebun yang kini tengah dilahap dan diinjak gajah. 

Sebab, meskipun teorinya gajah adalah satwa penyebar bibit tanaman, tetapi secara bukti otentik tetap tidak bisa ditunjukan di lokasi mana bibit yang telah disebarnya itu, begitu juga dengan tingkat kesuburannya. Sehingga penting untuk berpikir bahwa manusia dan gajah punya hak yang sama untuk hidup.

Jika tidak, sediakan saja satu areal terbuka dimana manusia dan gajah dapat saling perang secara langsung. Sehingga siapapun bisa jadi juri dalam pertarungan hidup mati selayak colosseum masa Roman Empire.

* Jurnalis TheJakartaPost.

Editor. KJ-JP

TAGAR: #Gajah#Tebo

indeks berita Sudut
SUDUT Selasa, 01 Desember 2020, 09:00WIB
Pertanian Indonesiaku Terpuruk

Oleh: Allie Ghiardien Ginting *) Indonesia adalah negara dengan anugerah kekayaan keanearagaman hayati. Macam-macam tanaman pangan dapat tumbuh subur di sebagian wilayah Indonesia. Kelebihan lain selain sumber......

SUDUT Minggu, 07 Juni 2020, 09:08WIB
Wajah Buram Media Massa

Oleh: Aji Najiullah Thaib* Tren Headline media massa dewasa ini nyaris seragam, entah untuk sekadar menarik perhatian atau memang sesuai arahan. Narasi yang dihidangkan juga nyaris serupa. Kelakuannya mirip......

SUDUT Rabu, 22 April 2020, 20:51WIB
Vitamin C dan Virus Corona (Covid-19)

Oleh: Addion Nizori, S.TP,M.Sc., Ph.D *) & Fitrianingsih, S.Farm., M.Farm., Apt **) Sampai hari ini (22/4/2020) kasus pandemi infeksi virus Corona (Covid-19) tercatat 2.558.959 kasus dengan angka kematian......