beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda TELUSUR berita


Sabtu, 30 Januari 2021, 04:42 WIB

Kembalinya Si Anak Sulung

TELUSUR

ilustrasi. Anak-anak Surulangun (Rawas Ulu, Sumatra Selatan). Sumber: NGA/Universitas Leiden

Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda)

Setelah mendengar cerita orangtuanya tentang anak mereka yang menghilang ketika berusia tujuh tahun, ia bertekad mencari kakaknya Abdoel Hamid. ia pamit dan segera berangkat menuju Koto-Baroe untuk meminta restu dari gurunya, lalu mulailah ia berjalan. Di Pajo-Koemboe ia tinggal selama dua puluh hari di rumah seorang teman sekolahnya dulu, lalu berangkat lagi ke Pariaman. Di sini ia tinggal selama delapan hari, lalu berangkat ke Poelau Pisang naik perahu.

Beberapa hari setelah tiba di pulau itu, sebuah kapal dagang dari Jeddah merapat di pelabuhan. Ketika kapal itu bersiap-siap kembali ke Arabia, ia meminta izin kapten kapal untuk ikut berlayar. Permintaannya dikabulkan. Di Jeddah, ia bekerja untuk Nakhoda kapal tadi. Lima tahun berlalu sebelum ia berhenti bekerja untuk pergi ke Mekkah berbekal sejumlah uang untuk jerih-payahnya bekerja yang diterimanya dari Nakhoda.

Sesampai di Mekkah, ia mendatangi Seiq Moela Ibrahim, salah seorang murid dari Siek Ahmadoel Koesasi untuk mengajarinya membaca al-Quran. Lelaki itu menyarankan padanya untuk belajar sembahyang lima waktu kepada seorang lelaki bernama Hadji Abdoel Hamid. Mendengar nama itu, Si Anak Bungsu terkesiap.

“Siapakah haji itu itu?” tanyanya. “Apakah ia mengenal orangtuaku?”
“Ia adalah pembantuku,” jawab Siek Ahmadoel Koesasi. “Ia berasal dari Soepajang. Ia masih sangat muda ketika aku bertemu dengannya. Karena kasihan padanya, aku membawanya pulang dan membesarkannya. Kepadaku tak pernah ia mengatakan siapa nama orangtuanya dan siapa yang membawanya ke Mekkah.”

“Tolonglah tanyakan padanya apakah ia mengenal nama-nama ini,” lalu Si Anak Bungsu menyebutkan nama orangtuanya. “Siang nanti, aku akan kembali ke sini untuk mendengar jawabannya.”

Siek Ahmadoel Koesasi mengangguk dan setelah anak itu pergi, ia mendatangi Hadji Abdoel Hamid untuk menanyakan nama-nama yang tadi disebutkan oleh Si Anak Bungsu.

“Itu nama orangtuaku,” jawabnya.

Siek Ahmadoel Koesasi lalu memintanya datang ke rumahnya siang hari. Ada orang dari Jeddah yang hendak belajar sholat, katanya.

Siang hari, kedua kakak-beradik itu bertemu di rumah Siek Ahmadoel Koesasi.

“Mengapa kau mengajukan pertanyaanmu tadi pagi?” tanya Siek itu kepada Si Bungsu.

“Hal itu kutanyakan karena aku ingin tahu apakah ia kakakku,” jawab Si Bungsu. “Ternyata, memang ia kakakku. Karena itu, aku minta izin untuk mengajaknya pulang ke dusun dan orangtua kami.”

Siek Ahmadoel Koesasi menggelengkan kepalanya.

“Permohonanmu tak dapat kuizinkan,” katanya. “Setiap orang yang datang ke Mekkah untuk berbakti kepadaNya, berkeinginan untuk tinggal di  Mekkah sampai mati.”

“Tetapi aku ke sini karena Ibuku memintaku mencari kakakku dan membawanya pulang. Apa yang harus kukatakan kepada Ibu kalau aku pulang tanpa dirinya?”

“Sampaikan saja salam takzim dari kami,” jawab Siek Ahmadoel Koesasi.

“Tidak! Aku tak dapat menyampaikan salam takzim untuk Ibuku. Aku hanya ingin mengantarkan kakakku kepada Ibuku.”
Lalu, Si Bungsu melompat berdiri, merengkuh tubuh kakaknya dengan kedua lengannya dan mengangkatnya sehingga kakinya tidak lagi menjejak lantai.

“Lepaskan kakakmu,” perintah Siek Ahmadoel Koesasi. “Baiklah, kuizinkan ia pergi bersamamu.”

“Tidak,” jawab Si Bungsu. “Izinmu saja tidak cukup. Aku ingin kakakku menyetujuinya.”

Si Bungsu baru melepaskah rengkuhannya setelah mendengar persetujuan Hadji Abdoel Hamid.

Lalu, kedua kakak-beradik itu berangkat ke Jeddah dan berlayar ke Padang. Mereka kemudian meneruskan perjalanan ke Soepajang. Di sana, orangtua mereka bersuka cita melihat kembalinya anak-anak mereka, Si Sulung dan Si Bungsu. Hadji Abdoel Hamid tinggal bertahun-tahun di Soepajang dan memberikan pelajaran agama kepada anak-anak. Ia dikenal dan dihormati karena ilmu dan ketaatannya beragama. Karena itulah, sampai saat Van Hasselt menjelajahi Sumatra tengah, orang masih saja mendatangi kuburnya untuk meminta bantuannya mengatasi penyakit dan malapetaka.

Makam Hadji Abdoel Hamid dianggap sebagai makam kramat. Arwahnya, sebagaimana juga arwah haji-haji lain yang alim dan taat, dipercayai bersifat baik dan mau menolong manusia.

Apakah bantuan dari arwah-arwah yang baik sudah cukup untuk mengatasi dan mengelakkan gangguan dari mahluk halus yang jahat? Tidak. Untuk itu diperlukan alat-alat bantu yang biasanya paling jelas tampak dalam menghadapi penyakit. Salah satu di antaranya adalah jimat. Namun, yang juga penting adalah mantra-mantra yang diucapkan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar jimat, alat bantu lain dan mantra yang diucapkan manjur. Berikut adalah beberapa contoh. Batok-batok kelapa diisi dengan ramu-ramuan tertentu dan diletakkan di ladang atau sawah untuk mendapatkan panen yang baik. Untuk memilih lokasi suatu permukiman, orang mengambil air dari berbagai sungai dan menimbangnya. Air yang terasa berat menunjukkan bahwa daerah di sekitar sungai tempat mengambil air tadi adalah tempat yang baik. Semakin berat air itu, semakin subur tanah di sekitar sungai yang menjadi sumbernya. Labu kundu biasanya digantungkan di dalam rumah sebagai ‘panangkok setan’ (penangkal setan) dan di lumbung-lumbung padi atau tempat penyimpanan hasil panen, orang menggantungkan berbagai dedaunan agar simpanan padi dan hasil panen itu tidak diambil oleh roh jahat. Orang menyimpan baik-baik tanduk, kaki atau bulu sayap binatang buruan agar perburuan berikutnya berjalan lancar. Dan, yang terakhir, potongan-potongan kayu yang dijual oleh para haji, setelah dibacakan doa-doa tertentu tentunya, dianggap dapat melindungi seseorang dari malapetaka bila dibawa-bawa saat bepergian.

*Pustaka Acuan: Van Hasselt. ‘Volksbeschrijving en Taal,’ dalam Midden-Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra-Expeditie, 1877-1879 (Prof PJ Veth, ed). Leiden: EJ Brill. 1882 (hal 70-

Editor. KJ-JP

TAGAR: #Telusur#Sumatra Tengah#Naskah Klasik Belanda

indeks berita Telusur
TELUSUR Jumat, 21 Mei 2021, 11:54WIB
Jantung Pisang dan Duri Landak Putih untuk Obat

Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) Pada umumnya, orang Melayu berpendapat bahwa orang terkena penyakit oleh ulah mahluk halus yang jahat: jin, iblis, mabon-bungo, ninik nan mambaow buah-buah dan......

TELUSUR Minggu, 25 April 2021, 22:06WIB
Cerita dari Daerah Jambi (4-Penutup)

Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) 36. Dan kemudian diceritakan mengenai adat pengangkatan sultan. Ada dusun bernama Jebus. Penghulu Jebus menjadi raja sehari di negeri Jambi. Ia mengenakan......

TELUSUR Selasa, 20 April 2021, 16:20WIB
Cerita dari Daerah Jambi (3)

Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) 23. Kemudian diceritakan bahwa dari IX Kuto, Sultan berperahu ke hilir. Dari sana, ia meneruskan perjalanan ke Sungai Tembesi, Sungkai Tungkal dan ke dusun......

TELUSUR Kamis, 08 April 2021, 13:58WIB
Cerita dari Daerah Jambi (2)

Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) 11. Kemudian diceritakan bahwa pada waktu, Mahmud Mahyuddin sendiri sedang berperang di Jambi. Perang itu terjadi karena Ratu Mas, isteri sultan, berpribadi......

TELUSUR Minggu, 28 Maret 2021, 03:34WIB
Cerita dari Daerah Jambi

Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) Sepuluh halaman folio berjudul ‘Verhaal dan de Streek Jambi’ atau dalam bahasa Indonesia: ‘Cerita dari Daerah Jambi.’ Halaman-halaman......

TELUSUR Senin, 22 Februari 2021, 16:29WIB
Walter M Gibson

Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) Dalam rangka menyiapkan tulisan untuk rubrik ‘Telusur Jambi,’ saya teringat pada satu tas penuh berisi lembaran fotokopian artikel dan peta tentang......