Oleh: Suratno Muchoeri*
Tahun 2007 Penguin Publisher menerbitkan sebuah buku berjudul "The Islamist: Why I Joined Radical Islam in Britain, What I Saw Inside and Why I Left". Setahu saya buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Alvabet.
Buku setebal 304 halaman ini berisikan catatan Ed Husain, seorang warga Inggris, yang mengekspos tentang "mind-games" yang membawanya masuk dan aktif dalam kelompok Islamis Hizbut Tahrir dan juga pergulatan yang membuatnya keluar dari kelompok itu.
Ed Husain memulai catatannya dengan menceritakan masa sekolah dasarnya di tahun 1980-an ketika dia bermain dengan Jane, Lisa, Mark, Alia, Zak, Andrew, dan belajar tentang Islam dari keluarganya dan dari guru spiritual yang dia sebut “Opa”. Ayah Ed Husain sendiri seorang Muslim-taat, meski dia tidak setuju dengan pandangan-pandangan kelompok Islamis. Tapi keputusannya yang mengabaikan saran guru-SD Ed Husain untuk tidak memasukan Ed Husain ke Stepney Green, sekolah lanjutan yang khusus laki-laki dan khusus Muslim, pada akhirnya akan dia sesali.
Selanjutnya Ed Husain awalnya mengidentifikasi dirinya tidak sebagai orang Inggris atau Asia, tetapi hanya sebagai Muslim. Ed Husain mengakui pergulatan yang membawanya menjadi fanatis tidak terjadi begitu saja tetapi bertahap. Bermula dari Islamisme yang diperolehnya di sekolah Islam yang sangat text-book oriented. Ed Husain memperoleh keyakinan dan ajaran dari Ghulan-Sarwar yang menyatakan bahwa agama dan politik itu satu dan sama dalam Islam.
Dipengaruhi oleh ajaran dan keyakinan itu dan didorong oleh sahabat dekatnya yang bernama Fali, Ed Husain menjadi terobsesi dengan Islamisme dan pembentukan kekhalifahan, sebuah negara Islam-transnasional.
Di Mesjid London Timur, tempat para Islamis ini berkiprah, Ed Husain berkenalan dengan faham Islam yang disebarkan Ibnu Abdul Wahhab (Wahhabi), Abul A’la Maududi (Jamaat El-Islami atau Jamaah Al-Islamiyah yang berpusat di Pakistan (karena berbeda dengan Jamaah Al-Islamiyah yang merupakan organisasi teroris sayap Al-Qaeda yang berbasis di Asia Tenggara).
Kemudian Ed Husain berkenalan dengan pemahaman Islam dari Sayid Qutb, Hassan Al-Banna (Ikhwanul Muslimin) dan pada akhirnya Taqiyuddin Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, yang mencita-citakan berdirinya Khilafah Islam di seluruh dunia. Ed Husain pun lalu menjadi aktivis Hizbut Tahrir. Bukan sekedar aktivis yang ikut-ikutan, melainkan aktivis-inti yang cukup diandalkan.
Setelah Ed Husain aktif di Hizbut Tahrir, konflik dengan keluarganya pun tak bisa dihindari. Sejak awal, ayah dan kakeknya menentang keras keterlibatan Ed Husain di kelompok-kelompok Islam garis keras seperti Hizbut Tahrir (Meski kalau di Indonesia HTI tidak atau belum menggunakan cara2 kekerasan). Sewaktu Ed Husain harus memilih antara keluarga dan organisasi, dia lebih memilih Hizbut Tahrir.
Lalu sampailah pada suatu hari yang sangat menentukan perjalanan keagamaan Ed Husain. Hari itu, seorang pemuda Kristen asal Nigeria tergeletak tewas di depan kampus, setelah sehari sebelumnya terjadi perselisihan di meja bilyard. Yang membunuhnya adalah Said, seorang aktivis Hizbur Tahrir yang menurut Ed Husain kemana-mana sering membawa pisau.
Ed Husain pun tergelegak. Kekerasan, apalagi pembunuhan, bukanlah sesuatu yang ada dalam pikirannya. Bukan itu yang dicita-citakannya. Ed Husain mulai melakukan retrospeksi, dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir itu hakikatnya jauh dari cara-cara dan cita-cita Islam yang sebenarnya dilakukan dan dimiliki Nabi Muhammad SAW.
Selain itu dalam buku The Islamist Ed Husain selanjutnya juga menjelaskan bahwa (setelah ia mengkaji ulang sejarah Islam), ternyata banyak hal keliru yang difahami kelompok-kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir. Misalnya saja pemakaian jilbab dan hijab di kalangan Muslimah, itu sebenarnya berasal dari budaya masyarakat Kristen di Levant, suatu daerah di wilayah Suriah, yang kemudian dilakukan juga oleh para Muslimah.
Lalu Ed Husain juga menulis bahwa kewajiban mengenakan celana dan jubah yang ujungnya harus berada di atas mata kaki, itu berasal dari sebuah cerita di zaman Nabi. Begini ceritanya. Saat itu, orang-orang kaya dari kalangan Yahudi sangat suka menggunakan gamis (jubah) dari bahan mewah, yang ujungnya menyapu tanah. Penampilan mereka sangat arogan, karena memang pakaian yang mereka kenakan itu dimaksudkan sebagai pamer kekayaan. Lalu Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada para sahabatnya, ”Jangan tiru kelakuan para Yahudi yang sombong itu. Jangan menggunakan jubah yang ujungnya menggapai tanah seperti mereka. Pakailah jubah yang ujungnya berada di atas mata kaki, supaya kamu tidak sombong.” Lalu Abubakar Shiddiq, sahabat terdekatnya bertanya: ”Jadi, mulai sekarang saya tidak boleh memakai jubah yang ujungnya menggapai tanah?” Apa jawab Sang Nabi? ”Tidak perlu, karena kamu bukan orang yang sombong.”
Buku The Islamist oleh para pakar dan pembacanya dianggap sebagai memoar yang sangat lugas dan memukau sehingga bisa menjadi rujukan untuk melihat kehidupan aktivis dan kelompok Islam (politik) kontemporer.
Sejak pertama kali terbit dalam versi aslinya, The Islamist, buku ini memunculkan banyak pujian dan juga kritik bahkan cercaan. Keberadaan buku ini telah memicu debat dan diskusi yang marak mengenai isu agama, identitas, serta politik di pelbagai media massa internasional dan ruang publik lainnya.
Seorang pakar yang dulu sempat saya baca (maaf lupa namanya) mengatakan bahwa Ed Husain patut dipuji atas keberaniannya menulis buku ini. Kisah Ed Husain penting dibaca karena ia mencoba menunjukkan sesuatu yang tak lagi pada tempatnya, yakni bahaya ketika militansi agama bertemu dengan hilangnya kritisisme dan kepentingan-kepentingan politis yang pada akhirnya menggerakan orang untuk merasa boleh melakukan apa saja termasuk melalukan kudeta/pemberontakan pada negaranya dan bahkan melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik pada sesamanya, naudzu billahi min dzalik.
*Penulis adalah pengajar di Universitas Paramadina dan pengurus Lakpesdam-PBNU. Ulasan buku ini terbit pertama kali di facebook pribadi. Pemuatan di sini atas seizin penulis.
Editor. KJ-JP