Oleh: Saiful Ni’am Muzakki*
Membaca menjadi sebuah pekerjaan yang asik untuk dinikmati. Terlebih ketika buku yang dibaca memiliki gaya penulisan yang ringan sehingga mudah untuk dipahami. Demikian saya dapati pada buku Mencari Indonesia seri ke 4 berjudul “Dari Raden Saleh sampai Ayu Utami” karya Pak Riwanto, yang baru saya kenal belakangan ini ketika hendak mengadakan bedah buku tersebut. Bedah buku yang diinisiasi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Tabula Rasa Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus ini merupakan yang pertama sejak terbentuknya UKMF Tabula Rasa tahun lalu.
Sebelum mengadakan acara bedah buku saya berkonsultasi kepada Pak Wid, sapaan akrab dari Dr. Widjanarko, salah satu dosen di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus. Pak Wid memberikan challenge bagi saya untuk mengangkat buku sosial keluaran terbaru untuk dibedah. Proses pencarian buku tersebut memakan waktu cukup lama. Berbagai usaha saya lakukan seperti melihat katalog buku di berbagai penerbit. Sampai pada saat saya mengetik kata “penerbit” di kolom pencarian instagram muncul akun @penerbit_brin lalu segera saya buka untuk melihat-lihat daftar buku terbitan lembaga penelitian bergengsi itu. Kemudian perhatian saya tertuju pada buku bersampul khas berwarna merah putih dengan tulisan “Mencari Indonesia 3” yang terpampang paling besar dibandingkan tulisan lain.
Selanjutnya saya menelusuri seri lainnya setelah tahu buku karya Pak Riwanto memang hadir berseri. Singkatnya setelah saya ajukan kembali ke Pak Wid, justru Pak Wid mempunyai seri teranyar dari Mencari Indonesia. Saya diminta mengangkat seri ke 4 ini yang setelah saya cek ternyata baru terbit bulan Juni tahun 2022.
Mencermati sepintas buku Mencari Indonesia 4 ini terlintas di pikiran saya adalah sekumpulan biografi tokoh intelektual. Saya membayangkan buku ini berisikan sebagaimana biografinya Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton yang jumlah halamannya mirip dengan buku Mencari Indonesia 4 ini yaitu 500an halaman. Namun dugaan saya ini agaknya tidak begitu tepat, pasalnya dalam buku Mencari Indonesia 4 ini disajikan 67 tokoh dalam satu buku, sedangkan bukunya Greg Barton cuma mengangkat satu tokoh saja yaitu Gus Dur.
Barangkali dugaan saya ini akan semakin salah ketika saya meneruskannya, kemudian saya memulai untuk membaca lembar demi lembar buku ini. Suatu keharusan sebagai pemotor utama bedah buku untuk membacanya terlebih dahulu. Apalagi setelah saya menghubungi Pak Riwanto untuk berkenan hadir dalam bedah buku ini, beliau menyambut baik dan mengharapkan ada mahasiswa yang berhasil mengkhatamkan bukunya untuk kemudian dapat diajak diskusi bersama.
Saya tidak tahu apakah Pak Riwanto menggunakan metode atau semacam kerangka khusus dalam menuliskan buku ini. Di dalam prakatanya, Pak Riwanto menyebut bahwa tidak ada metode khusus yang digunakan. Pak Riwanto mengaku menggunakan intuisinya dalam menulis buku ini yang kemudian dikomentari Ibu Ruth dan Pak Sobary pada bagian epilognya. Saya belum bisa berkomentar layaknya Ibu Ruth dan Pak Sobary. Saya sebagai pembaca merasakan bahwa dalam pembawaannya, bahasa yang digunakan Pak Riwanto begitu beragam. Ketika mengangkat tokoh akademisi, Pak Riwanto menggunakan data-data yang menjadi keseharian akademisi. Dalam mengangkat tokoh kesenian, bahasa yang digunakan sangat ciamik layaknya para maestro yang ahli dalam kesenian. Begitu juga dalam mengangkat tokoh filsafat maka bahasa yang dipakai bernada filosofis. Saya yang masih belajar filsafat pun kesulitan memahami ketika menemukan tulisan seperti ini.
Dalam menuliskan 67 tokoh ini, Pak Riwanto juga menggunakan sudut pandang yang beragam. Pak Riwanto tidak selalu menulis biografi tentang kehidupan tokoh yang ditulis dari masa kecil hingga dewasa. Tidak jarang Pak Riwanto hanya menuliskan sumbangan terbesar dari 67 tokoh ini bagi Indonesia. Bahkan ada yang hanya diceritakan singkat proses pertemuan Pak Riwanto dengan tokoh yang ditulisnya seperti pertemuan dengan Gus Mus yang ditulis begitu detail proses demi proses pertemuan itu.
Saya sebagai generasi yang lahir tahun 2000 an atau yang dikenal sebagai generasi milenial perlu belajar lebih banyak dari tokoh seperti Pak Riwanto yang telah berkiprah lama di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1980, 20 tahun sebelum saya lahir. Pak Riwanto dan tokoh-tokoh yang ditulisnya telah mengalami masa-masa penting bagi bangsa ini. Mereka juga menjadi pelaku sejarah. Tugas generasi milenial untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan bangsa ini. Seperti yang sering diucapkan Bung Karno “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah!. Sebagian besar tokoh yang ditulisnya belum pernah saya kenali walaupun sebatas namanya. Sebagian lagi ada yang hanya pernah saya dengar namanya namun belum tahu mendalam siapa mereka seperti Nono Anwar Makarim, Soe Hok Gie, dan lain-lain. Namun dari semua tokoh yang ditulis Pak Riwanto, ada dua tokoh yang saya mengetahuinya lebih mendalam yaitu Gus Dur dan Gus Mus. Saya tidak tahu pasti mengapa dua tokoh ini dituliskan menggunakan sapaan akrabnya tidak seperti tokoh lainnya yang ditulis menggunakan nama lengkap. Namun setidaknya dari dua tokoh itu saya mengetahui bagaimana cara Pak Riwanto menuliskan tokoh-tokohnya.
Setelah selesai membaca, saya berkesimpulan bahwa Pak Riwanto dalam Mencari Indonesia 4 ini bagi saya telah berhasil. Tidak hanya berhasil dalam mengumpulkan ulasan 67 tokoh dari berbagai bidang, namun juga berhasil merekonstruksi peristiwa sejarah bangsa ini. Beberapa peristiwa penting yang menjadi turning point atau peristiwa besar di negeri ini seperti peristiwa pembantaian PKI, peristiwa malari yang menjadikan lengser kepemimpinan Soekarno, peristiwa 1998 sebagai tonggak awal reformasi lengkap tersaji oleh esai-esai dalam buku ini. Sehingga Pak Riwanto dalam menuliskan ulasan singkat 67 tokoh itu, beliau membuat semacam garis atau benang merah yang saling terkait di antara tokoh tersebut.
Laiknya kita disajikan cerita dalam pementasan teater, di buku ini kita disajikan lengkap peran masing-masing tokoh dalam sebuah rangkaian peristiwa. Saya sebagai generasi milenial sangat terbantu oleh buku Mencari Indonesia 4 ini dalam memahami peristiwa penting bangsa ini. Saya juga mengetahui siapa saja para pelaku sejarah penting tersebut dan bagaimana peran masing-masing tokoh ini dalam perjuangannya.
Bagi saya, buku Mencari Indonesia 4 ini menjadi sangat penting terutama bagi generasi milenial seperti saya ini. Buku ini mampu dijadikan batu lompatan jika ingin mengetahui peristiwa-peristiwa bersejarah Indonesia secara lengkap dan sajian masing-masing perannya. Menurut saya buku ini akan lebih bagus lagi jika sajian tokohnya tidak hanya 67, namun memuat lebih banyak tokoh lain yang belum disertakan.
Kemudian secara tersirat saya menemukan bahwa sebenarnya di dalam buku ini terdapat 68 tokoh. Satu tokoh yang tidak disebutkan dalam daftar isi namun hadir di semua sesinya, yaitu Pak Riwanto. Karena hampir semua tokoh-tokoh yang dituliskannya berasal dari lingkungan terdekatnya yang secara tidak langsung Pak Riwanto juga hadir dalam semua sesinya.
Perjalanan Pak Riwanto sendiri menjadi menarik untuk dilihat. Pak Riwanto adalah orang yang telah mempraktekkan lebih dahulu 30 tahun kurikulum yang sedang gencar dijalankan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) sejak Januari 2020 yaitu program kampus merdeka. Pak Riwanto yang merupakan lulusan sarjana psikologi Universitas Indonesia tahun 1979 kemudian memilih untuk menekuni bidang demografi sosial setelah bergabung dengan LIPI pada tahun 1980. Pak Riwanto menjadi peneliti di Pusat Penelitian Penduduk, Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas LIPI). Ia menyelesaikan studi doktoralnya di bidang demografi sosial dari Research School of Social Sciences, Australian National University, Canberra, Australia tahun 1990. Hal ini membuktikan bahwa seorang lulusan satu bidang keilmuan juga mampu dan berhasil menekuni bidang keilmuan lainnya, seperti yang telah dijalani Pak Riwanto maupun tokoh seperti Pak Nadiem Makarim yang mencetuskan program kampus merdeka dengan tujuan agar para mahasiswa dapat berkesempatan mempelajari bidang keilmuan lain dalam masa studinya.
*Kudus, 14 Juli 2022. Penulis merupakan mahasiswa Semester Dua Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.
Editor. KJ-JP