beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda PUSTAKA berita


Jumat, 01 Oktober 2021, 07:31 WIB

Mencari Indonesia 3

PUSTAKA

buku karya Riwanto Tirtosudarmo

Oleh: Ilsa Nelwan*

Permintaan kritik dan komentar diterima tanggal 15 September dari pak Riwanto mengejutkan bagiku. Namun aku juga merasa bahwa ini merupakan gesture kerendahan hati seorang Professor yang berwawasan luas, menulis dengan sistematis dan menarik begitu banyak topik yang sedang terjadi di tengah masyarakat untuk mendapatkan umpan balik dari pembacanya.

Kalau melihat usia Pak Riwanto lebih muda dua tahun dari saya. Pada naskah ini ditulis ia mulai bekerja di LIPI tahun 1979, sedangkan saya mulai kerja di Puskesmas tahun 1978. Bedanya Pak Riwanto menekuni pekerjaannya di Lembaga penelitian LIPI dan sangat aktif menulis, seperti buku bertajuk mencari Indonesia ini saja sampai 3 jilid.

Membaca tulisan-tulisannya dalam buku ini terasa sekali keberpihakannya pada orang kecil, kelompok masyarakat yang tertinggal, yang tertindas. Sedangkan saya sejak awal memang secara sadar menjadi “orang lapangan” pelaksana, pengelola program Kesehatan masyarakat, mulai dari Puskesmas sampai ke tingkat provinsi di Indonesia, lalu sebagai international civil servant di WHO Nepal dan di kantor WHO Asia Tenggara.

Persamaan kita berdua adalah berkembang pada zaman yang sama, mengalami menjadi mahasiswa pada zaman orde baru, berada di puncak karir zaman reformasi dan setelahnya. Pak Riwanto peneliti yang memikirkan orang kecil, sedangkan aku pengelola program di tengah masyarakat yang suka membaca, sekali-kali terlibat dalam penelitian dan menulis laporan intervensi program.

Buku ini sangat kaya dan terasa sebagai reaksi dari seorang pemikir atas apa yang berlangsung, tetapi dalam setiap esainya ada referensi bacaan yang luas, buku maupun referensi lain. Mungkin untuk peneliti sosial, kaya dengan bahan-bahan lain yang bisa dijelajahi lebih lanjut. Buku “Mencari Indonesia” didominasi oleh keadaan pada masa wabah Covid-19. Pandangan Pak Riwanto tentang migrasi, yang merupakan bidang keahliannya menarik disimak. Intinya ia mempertanyakan bagaimana pemerintah mengatur migrasi secara efektif, perlunya kebijakan migrasi, dan kepemimpinan baru dalam era New Normal.

Satu hal yang kelihatannya menjadi concern adalah akurasi data. Pada saat ini sedang banyak dibahas tentang “satu data”. Pemerintah kelihatannya juga merasa terganggu dengan data Covid-19 yang kurang akurat. Sebagai pelaksana program saya memahami keprihatinan Pak Riwanto. Memang sejak zaman orde baru pemerintah menekankan pentingnya data, namun data akan berguna kalau yang menghasilkan data bisa menggunakannya secara efektif. Kalau data yang diminta tidak punya makna bagi yang mengirimkan maka kualitas data yang bermasalah sangat mungkin terjadi. Satu hal yang menurut pendapat saya jarang dipertimbangkan adalah kaitan antara data dengan pengambilan keputusan.

Ada kesan yang kuat bahwa para pemimpin di Indonesia mengambil keputusan berdasarkan opini atau pendapat pribadinya, selanjutnya mencari data untuk justifikasi keputusan tersebut. Mungkin masalah “hulu”nya adalah kemampuan para pemimpin saat ini bisa membaca data dan mengambil keputusan yang berpihak pada orang banyak termasuk keberpihakan pada masyarakat berpendapatan rendah dan mereka yang tersisih.

Esainya yang pertama mempertanyakan kebijakan pemerintah dengan membatasi migrasi pada lebaran, ada dilema antara mencegah migrasi penduduk yang tidak efektif dan ancaman penularan virus. Juga dipertanyakan akurasi data yang mendasari infografik dengan ilustrasi keberhasilan pemerintah melaksanakan kebijakan migrasi. Bahwa ada kaitan erat antara tingginya tingkat komuter di pusat-pusat aglomerasi dengan tingginya penularan Covid-19.

Esai ini diakhiri dengan kekhawatiran masih tingginya korban Covid-19, meningkatnya kesenjangan akibat akses ekonomi dan menurunnya trust pada pemerintah. Ada tulisan tentang public distrust(1) dari platform media sosial yang mempertanyakan menurunnya kepercayaan publik yang berkembang dan disimpulkan bahwa pemerintah berusaha mengatasi public distrust ini dengan meningkatkan indikator esensial melalui Task force Covid-19, namun kebijakan dan protokol selama pandemi ini tidak efektif, terbukti dari penurunan aspek ekonomi yang besar dan peningkatan angka kematian. Saran penelitian ini adalah perbaikan hubungan masyarakat dan penerbitan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sebenarnya migrasi global yang berpusat di Wuhan merupakan sebab begitu cepatnya terjadi pandemi pada tahun 2020, sejak ditemukan Desember 2019 sampai diumumkannya pandemi oleh WHO pada bulan Maret 2021. Penularan awal Covid-19 diduga sudah terjadi di Wuhan pada November 2019 dan mulai beredar kabar Pneumoia pada bulan Desember 2019, namun pemerintah Tiongkok baru mengakui pada bulan Januari 2020 bahwa penyakit ini bisa menular antar manusia.

Pada 11 Maret 2020 WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. Pada saat itu telah dilaporkan lebih dari 118.000 kasus dari 114 negara dengan kematian 4.291 orang. Kita tahu bahwa Wuhan merupakan pusat/’hub” transportasi bukan hanya untuk Tiongkok tetapi juga untuk negara-negara lain di dunia.

Bila pemerintah Tiongkok menyatakan peringatan lebih dini, mungkin tidak terjadi wabah separah ini. Kalau lockdown dilakukan seminggu lebih awal dari 23 Januari, Tiongkok bisa mencegah 67% penduduknya terinfeksi. Bila Tiongkok mengumumkan lockdown lebih awal, mungkin tidak ada 5.000 orang yang keluar dengan membawa virus. Kalau Tiongkok melakukan penutupan 132 kota dan larangan 220 pertemuan massal lebih awal, maka bisa jadi akan bisa mencegah 96% orang yang terinfeksi.

Jelaslah masalah migrasi dan pertimbangan politik memiliki dampak dalam proses penularan wabah COVID-19 ini baik di tingkat nasional maupun internasional. Tidak bisa disangkal bahwa pengalaman memimpin bagi banyak orang Indonesia adalah model orde baru yang diteruskan ke zaman reformasi. Di belakang slogan demokrasi yang diungkapkan para pemimpin saat ini, masih terasa nilai feudal tradisional yang pada prinsipnya birokrasi dan pemerintah tidak setara dengan rakyat yang dipimpinnya.

Esainya tentang Covid-19 dan kepemipinan baru mengangkat dilema pemerintah untuk mengatasi wabah atau mendorong ekonomi, dan disimpulkan bahwa pemerintah sudah memilih mendorong ekonomi. Pilihan ini terlihat dari pelonggaran PSBB yang diterapkan sebelum terjadi penurunan kasus pada 2020 yang mengakibatkan meningkatnya kasus Covid-19 pasca lebaran. Tulisan ini mengingatkan tentang harapan bahwa Indonesia akan mengalami “Bonus demografi” yang bisa meleset bila wabah Covid menyerang kelompok produktif yang diharapkan mendorong kesejahteraan masyarakat. Dalam esai ini juga dinyatakan bahwa penanganan Covid-19 menjadi test kepemimpinan, akan terlihat pemimpin yang sungguh-sungguh memikirkan masyarakatnya dan yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Esai ini diakhiri dengan pertanyaan model kepemimpinan baru seperti apa yang akan menjadi pemenang?

Pemimpin saat ini adalah hasil pergolakan reformasi yang telah melakukan perubahan ke arah demokratisasi, kebebasan berpendapat, dan pemilihan langsung. Namun sumber daya manusia yang ikut berpolitik masih banyak orang-orang yang asalnya merupakah tokoh orde baru. Harapan bahwa terjadi perbaikan kualitas pemimpin daerah dengan pemilihan langsung juga kurang terbukti. Munculnya begitu banyak partai politik tidak berarti ada perbaikan demokratisasi, karena ada oligarki yang “memiliki” partai politik.

Esainya tentang kebangkitan nasional mengingatkan kita pada latar belakang berdirinya Budi Oetomo dan selanjutnya menjadi tujuan yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 45. Tujuan mendirikan negara ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan ingin meningkatkan kesejahteraan umum, kesejahteraan seluruh warga negara tanpa kecuali. Tulisan ini hanya menyarankan re-organisasi, re-konstruksi dan re-strukturisasi untuk normal baru karena dua tujuan yang sama masih tetap berlaku. Reorganisasi yang disarankan adalah dorongan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran rakyat. Saran yang bagus namun melihat sumber daya pemimpin saat ini perlu dipertanyakan sejauh mana hal ini bisa dilaksanakan?

Esai tentang hantu komunisme merupakan angin segar yang membuka mata, seperti satir politik tentang situasi saat ini dengan munculnya orang-orang orang yang ingin ikut berkuasa dengan cara apapun. Tulisan ini menyatakan adanya dua kelompok pedagang hantu komunisme dengan tujuan yang sama yaitu menciptakan iklim ketakutan di masyarakat. Kelompok kedua adalah mereka yang mengalami peristiwa 1965, yang sebentar lagi meninggalkan dunia. Tetapi kelompok pertama mereka yang lahir setelah 1965, menarik untuk diamati.

Diduga bahwa kedua kelompok ini berasal dari lingkungan sosial politik yang sama dan kelompok kedua akan menyerahkan hasil perdagangan hantu ini ke kelompok pertama. Analisa perdagangan hantu komunisme ini adalah gejala psikologi politik yang terjadi pada masyarakat yang masih merasa tidak aman, karena trauma peristiwa 1965. Bisa menjadi portable political device untuk menggoyang kestabilan politik bila momentumnya pas. Akhirnya pembaca diajak untuk mencari seandainya kelompok pertama pedagang hantu ini merupakan pedagang perantara, siapa di belakang mereka.

Esai lima bias dan lima mitos mempersoalkan kesenjangan sosial yang begitu lebar. Dengan pilihan neoliberal capitalism yang tidak konsisten, memang yang terjadi saat ini adalah subordinasi negara terhadap bisnis. Jadi walaupun ada keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia sebagai salah satu butir Pancasila, negara ini bukanlah negara sosialis. Mitos-mitos itu kemudian dijelaskan sebagai legitimasi Soeharto yang mempersepsi massa rakyat sebagai ancaman. Mitos itu dibangun karena dasar kekuasaan orde baru yang menggunakan kekerasan dengan begitu banyak korban adalah dasar yang rapuh.

Menyedihkan bahwa pasca orde baru mitos dan tabu yang digunakan masih tetap berlaku, yang terjadi hanya reorganisasi kekuasaan. Tulisan ini diakhiri dengan mendahulukan akal sehat agar kewarasan publik terjaga. Pertanyaannya bagaimana hal ini bisa dilaksanakan?

Esainya tentang Forced migration membahas keputusan pemerintah untuk memberlakukan PSBB yang tidak banyak punya arti bagi masyarakat “yang tinggal di kampung kampung dengan penduduk padat dan physical distancing, menjadi tidak relevan untuk kehidupan masyarakat sehari-hari”. Kelas bawah tidak peduli dengan PSBB/ forced migration. Keputusan apapun yang akan dibuat tampaknya tidak akan banyak punya arti untuk kelompok masyarakat yang selama ini memang tidak terlalu peduli dengan PSBB.

Esai tentang marginalisasi papua sangat menarik. Dimulai dengan perjalanan Pak Riwanto ke The Mall di Washington DC, pembaca diajak menelusuri musem sejarah Afro American yang sangat terbuka dan jujur, tentang hipokrisi the founding fathers AS yang mengungkapkan nilai kesetaraan tetapi melakukan diskriminasi dan kekejaman pada para budak. Diskriminasi orang kulit hitam di AS belum berakhir, pembunuhan Gerge Floyd yang memicu demontrasi besar di AS ‘Black life matters”.

Lalu tayangan youtube dari Paul Krugman yang menjelaskan temuan Thomas Piketty tentang marginalisasi orang Afro American yang massif dan struktural menyangkut berbagai lembaga dan institusi sosial politik. Pengakuan ketidakadilan pada kelompok Afro American tidak cukup untuk mengatasi rasisme, sehingga diperlukan perubahan struktural untuk menghilangkan diskriminasi.

Tulisan ini diakhiri dengan harapan agar kita sebagai bangsa memahami proses marginalisasi dan ketimpangan sosial yang bersifat struktural untuk menemukan solusi bagi masalah Papua.

Dalam buku ini terasa bahwa Pak Riwanto menaruh perhatian yang besar pada Papua, bukan hanya karena rendahnya Indeks pembangunan SDM masyarakat Papua, tetapi juga ketidakadilan yang dihadapi, bagaimana relasi pusat dan daerah Papua, juga tentang pengaruh “Black Life Matters” yang bergaung di Papua karena perasaan masyarakat yang terdiskriminasi.

Esainya tentang kenaikan kelas, oxymoron negara bangsa menarik karena istilah oxymoron(2) itu. Bank dunia menaikan kelas dan kemudian menurunkan kelas Indonesia hanya dengan GNP per kapita, sangat disesalkan karena menyembunyikan realita kesenjangan, di samping kita juga sedang dilanda bencana Covid-19 dengan pertumbuhan ekonomi negatif. Disebut juga bahwa Papua dengan sumber alamnya yang besar menyumbang besar pula pada GNP, namun fakta rendahnya indeks pembangunan SDM memperlihatkan kondisi nyata suatu masyarakat.

Contoh ratusan pasien Covid-19 di Papua yang tidak dikarantina adalah gambaran bagaimana layanan kesehatan yang ada bagi masyarakat. Selanjutnya tulisan ini menyinggung tentang pendekatan teknokratik yang bisa mengambil keputusan ilmiah namun sekaligus akan melindungi diri seandainya kebijakannya meleset dengan menyatakan keputusannya mengikuti saran ilmiah tim ahli. Bahwa bencana pandemi ini membuat kesulitan para pemimpin daerah karena virus yang tidak mengenal batas yuridiksi dan pergerakan manusia yang sulit diatur.

Sedangkan sifat ilmu yang trial and error juga tidak memberi kepastian. Tulisan ini diakhiri dengan pernyataan adalah suatu ironi bangsa yang dilahirkan dengan semangat nasionalisme untuk merdeka dan berdaulat tetapi melakukan praktek kolonialisme, eskploitasi dan pelanggaran hak asasi. Memilukan bahwa kritik terhadap keadilan sosial diberangus atas nama negara kesatuan.

Tulisan-tulisannya tentang tokoh-tokoh Indonesia sangat menarik. Saya hanya akan mengomentari tentang Hariman, Yudi Latif dan Jokowi. Sebagai orang sezaman saya kenal Hariman sepintas. Tulisan tentang Hariman dan petisi Oktober 1973 berdasarkan buku semi autobiografi Hariman, merupakan tulisan yang penuh empati dan menempatkan Hariman dan perjuangan mahasiswa saat itu sebagai bagian sejarah bangsa. Gambaran seorang tokoh mahasiswa yang keluar dari tahanan menemukan istrinya sakit, ayahnya sakit lalu meninggal, mertuanya yang sama -sama dipenjara serta kehilangan dua anaknya cukup menyentuh.

Baik dalam munculnya orde baru tahun 1965 maupun dalam peristiwa malari, kelompok mahasiswa “diperalat” dalam pergolakan politik. Soeharto dan orde baru masih bertahan selama 24 tahun lagi setelah Malari dengan hal-hal yang menjadi keprihatinan dalam petisi itu terwujud: Korupsi, pemerkosaan hukum dan pemberangusan ungkapan masyarakat dilaksanakan dengan efektif. Kalau pada 1966 tokoh-tokoh mahasiswa yang membantu orde baru mendapat posisi di Lembaga-lembaga negara, pada 1974 tokoh mahasiswa masuk penjara atau bersembunyi. Hariman adalah salah satu tokoh mahasiswa yang setelah peristiwa malari masih muncul, walaupun tidak lagi sebagai kekuatan yang diperhitungkan oleh penguasa.

Saya melihat Yudi Latif sebagai sosok masa depan Indonesia yang lebih baik. Muslim yang berjiwa besar, berpikir dan berdialog tentang negara bangsa. Tulisan tentang Orasi Yudi latif yang berhasil mengangkat Pancasila tanpa mengikuti persepsi sempit kelompok Islam yang mempersoalkan keesaan dan mengingatkan kita pada ungkapan tokoh Islam Nurcholis majid dan Abdurahman Wahid “Islam yes partai Islam No” bahwa banyak sekali upaya untuk ikut berkuasa dengan segala cara. Jadi interpretasi Pancasila juga diangkat oleh mereka yang takut kekuasaannya terganggu.

Esai khusus tentang Yudi latif ada pada pembahasan wawasan Pancasila, buku yang diterbitkan ulang dengan bab khusus tentang Pancasila sebagai “agama sipil”. Pancasila dan wawasan yang dikandungnya menurut Yudi sudah cukup untuk menampung, menyuling, mengkristalisasi ideologi spiritual seperti Islam dan Kristen. Tawaran ini diangkat karena penerimaan Pancasila oleh intelektual Islam sebagai statemen seperti yang terjadi selama ini masih jauh dari mencukupi.

Di bagian akhir esai ini dikutip pendapat Yudi sebagai berikut: “Pancasila sebagai dasar (filsafat) negara, pandangan dunia dan ideologi negara bangsa yaitu mengandung seperangkat keyakinan, simbol dan nilai inti (core values) yang dapat mengintegrasikan segala keragaman Indonesia dalam suatu komunitas moral publik. Ditilik dari sudut ini, Pancasila juga bisa disebut sebagai civil religion (agama sipil) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia”.

Pak Riwanto membaca dan mengikuti berbagai buku dan tulisan-tulisan Yudi Latif yang menjadikan Pancasila sebagai diskursus. Pengenalan kepribadian Yudi Latif yang pemikirannya banyak dipengaruhi Nurcholish Majid membantu analisa, keduanya sama-sama belajar di pondok pesantren modern “Gontor”, dan keduanya sama-sama memikirkan negara bangsa, diduga bahwa Nurcholish Majid adalah mentor Yudi.

Tulisan ini menganggap kelebihan Yudi Latif adalah ketekunannya mempelajari Pancasila dan memproduksi teks pemikiran yang bisa menjadikan diskursus Pancasila. Kita perlu mendukung pemikiran Yudi yang mencari hubungan Islam dengan negara Pancasila. Namun tulisan ini juga mempertanyakan apakah ini saat yang tepat, karena ada kekhawatiran ajakan melihat diskursif Pancasila sebagai agama sipil ini disalahpahami oleh publik.

Menarik pernyataan Yudi bahwa kegagalan pembudayaan Pancasila mengakibatkan krisis bangsa ini, dan Pancasila terjebak pada formalisme dan verbalisme namun absen dalam praktek kehidupan nyata. Kita masih ingat bahwa pada zaman orde baru dilakukan penataran P4 sejalan dengan perilaku korupsi, pelanggaran aturan, praktek diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Di sisi lain Pak Riwanto juga setuju bahwa tawaran Yudi untuk membahas Pancasila sebagai agama sipil merupakan satu-satunya pilihan, dan walaupun masih jauh jarak yang harus ditempuh untuk mencapainya, perlu didukung.

Esainya tentang Jokowi sangat menarik, utamanya karena interpretasi Pak Riwanto tentang sosok presiden Indonesia yang berbeda dengan Analisa Ben Bland penulis buku “Man of Contradictions”. Analisanya visi bagi Jokowi adalah perencanaan dan eksekusi seperti tulisan yang pernah dibuatnya sebelum Covid-19 merebut perhatian seluruh dunia. Rencana pemindahan Ibukota adalah contoh bagaimana seorang Jokowi yang visioner menyusun anak tangga menuju puncaknya.

Memang melihat betapa banyaknya orang yang kecewa dengan pelemahan KPK dan bagaimana suasana pandemi dimanfaatkan untuk memuluskan UU Cipta Kerja dan UU minerba, mungkin adalah cara seorang Jokowi menyelamatkan kapal Indonesia dalam badai yang melanda. Bagi Jokowi pembangunan ekonomi lebih penting dibandingkan mengatasi wabah, dan mungkin penilaian Ben Bland benar bahwa Jokowi lebih mirip Soeharto dalam pragmatisme pembangunannya. Bagi Jokowi presiden yang pragmatis dan visioner seperti Sukarno dan Soeharto sama-sama sumber inspirasi.

Membaca esai mencari Indonesia ini akhirnya saya merasa memang tujuan Pak Riwanto adalah mendorong pemikiran dengan pertanyaan sehingga pertanyaan bagaimana melaksanakan atau bagaimana menemukan solusi menjadi tidak relevan.

*Penulis merupakan konsultan kesehatan WHO SEARO, New Delhi (2007-2012).

Catatan:

(1) https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/716/1/012072/pdf

(2) Oxymoron: Istilah dalam ilmu sosial untuk menjelaskan sebuah keadaan yang mengandung kontradiksi

Editor. KJ

TAGAR: #Pandemi#Covid19#Mencari Indonesia#Riwanto Tirtosudarmo

indeks berita Pustaka
PUSTAKA Jumat, 22 Juli 2022, 08:00WIB
Mereka Dibutuhkan Namun Tidak Dikehendaki

Oleh: Wijanarto*  Sepotong puisi Soebagia Sastrowardoto, Manusia Pertama di Angkasa Luar diterakan pada awal buku ini. Begini kutipannya: Berilah aku satu puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji......