beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda PUSTAKA berita


Jumat, 22 Juli 2022, 08:00 WIB

Mereka Dibutuhkan Namun Tidak Dikehendaki

PUSTAKA

karya Dr. Riwanto Tirtosudarmo

Oleh: Wijanarto* 

Sepotong puisi Soebagia Sastrowardoto, Manusia Pertama di Angkasa Luar diterakan pada awal buku ini. Begini kutipannya: Berilah aku satu puisi daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji yang menyebabkan aku terlontar kian jauh dari bumi.

Setidaknya puisi itu hendak mewartakan soal pertanggungjawaban seorang Riwanto sebagai intelektual serta keterlibatan dalam pemikiran, aksi dan tindakan orang-orang yang ditulisnya dalam buku. Kerja-kerja yang dilakukan Riwanto disebut oleh sahabatnya Mohammad Sobary sebagai orang yang menghindari kakean cangkem. Orang Tegal menyebutnya umbrus. Riwanto dalam hal ini menuliskan mereka yang menghindari jargon not action talk only. Riwanto tampil sunyi dan bertindak dalam karya sebagai pertanggungjawaban sebagai intelektual.

Melalui buku ini, penulis mengabarkan sosok person/tokoh yang berkomitmen dalam mengelaborasi dan menegakkan nilai-nilai keindonesiaan. Mereka dengan kapasitasnya  mencintai Indonesia serta bergerak dengan kiprah dan gagasannya buat menemukan serpihan-serpihan yang kadang tersambung satu sama lain (hlm xvi).

Sebanyak 67 tokoh ditulis dan disusun berdasarkan alpabet, sehingga pembaca dapat merujuk berdasarkan alphabetical untuk mencarinya. Mereka melintas batas generasi, periode zaman serta mewakili dinamika pemikiran pada masanya. Mereka memosisikan dari berbagai profesi, akademisi, intelektual, sastrawan, seniman, penulis, jurnalis, birokrat aktivis hingga masyarakat biasa. Mereka dengan tindakannya mampu menggerakkan solidaritas, perubahan serta gagasan yang cerlang. Dari 67 tokoh terdapat 18 tokoh perempuan. Yang menarik dari 67 tokoh tak berbatas pada mereka yang dilahirkan di Indonesia, namun mereka yang mencintai Indoneisa sebagai tumpah darah Indonesia. Riwanto perlu menuliskan nama Ben Anderson seorang Indonesianis yang menganggap Indonesia sebagai tumpah darah kedua serta bukan menjadikannya sebagai rice bowl (hlm 75). Ada Herbert Feith Indonesianis dari Australia yang mengkaji dinamika politik Indonesia era 1950-an (hlm 129-133) serta Van Vallenhoven yang bersama Snouck Hugronje dalam mengkaji hukum adat di Indonesia (hlm 335-339). Riwanto juga meneroka nama Takashi Shirasihi, sejarawan Jepang lulusan Cornell yang banyak mengkaji pergerakan nasional 1965. Kajiannya yang termasuk magnum corpus, An Age in Motion: Popular Radical Movement in Java 1912-1926. Ia dianggap Riwanto sebagai personal yang mengimplementasikan filosofi knowledge is power dan the mechanic power.

Melalui metafor Mencari Indonesia, Riwanto meniscayai harapannya mengenai rumah bersama dus imajinasi tempat, keadaan dan mungkin sebuah harapan atau cita-cita. Riwanto mengimpikan rumah bersama yang nyaman bagi para penghuninya. Keenam puluh tujuh tokoh yang ditulisnya sebagai sketsa-sketas biografis ini telah memberikan tindakan dan karyanya bagi nyamannya rumah bersama bernama Indonesia.

 

Dibutuhkan Namun Tidak Dikehendaki

Puspa ragam dan warna ragam orang-orang yang ditulis tentu tidak monopolar pemikiran, ideologis dan tindakannya. Tetapi yang menyatukan adalah mereka dengan integritas dan konsistensinya telah memberikan progresivitas bagaimana baiknya rumah bersama: Indonesia. Setidaknya mereka yang disebut Peter Carey dalam prolog buku ini meminjam ungkapan tokoh Sam Ratulangie, si tou timou tumou to (manusia baru dapat disebut manusia jika sudah dapat memanusiakan manusia).

Mereka merupakan kalangan intelektual secara keseluruhan. Intelektual yang dalam definisi Ralph Waldo Emmerson adalah man of thinking. Para pemikir itulah yang gagasannya mengandung cita-cita progresif (idea of progress). Plus mereka juga telah bertindak sehingga dilebeli julukan man of action.

Lalu apa yang menarik dari 67 tokoh dalam buku ini? Ada garis benang merah yang saling mempertautkan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang dibutuhkan namun tidak dikehendaki. Mereka orang-orang yang menjaga kekritisannya, berbicara dengan suara kebenaran serta menjaga hak-hak kewargaan yang kerapkali dikangkangi. Mereka adalah energi bagi humanism, menegakkan pluralisme Indonesia.

Sebut saja nama Asvi Warman Adam. Ia dikenal intelektual publik khususnya sejarawan yang banyak menuliskan ihwal historiografi 1965 dengan perspektif kritis. Dimana pendapatnya yang didukung dengan sumber-sumber baru menjadikan tafsir peristiwa 1965 kerap memerahkan telinga penguasa hingga kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pendapatnya soal peristiwa politik 1965. Bahkan Riwanto mencatat bahwa suatu ketika di LIPI kedatangan rombongan masayarakat yang menyewa 2 bus metromini mencari Asvi Warman Adam. Beruntung yang bersangkutan tidak berada di kantor LIPI (hlm 64).

Demikian halnya dengan nama legendaris: Soe Hok Gie. Gie demikian panggilannya dikenal sebagai aktivis yang membela soal ketertindasan. Gaya penulisannya yang berciri speak of  power truth membuat siapapun akan marah. Bahkan Ben Anderson menyebut bahwa Soe Hok Gie yang pertama mengangkat isu tahanan politik 1965 serta pelanggaran yang diderita keluarga tapol 1965. Riwanto menuliskan dengan empatik pergolakan Gie dan aktivitasnya sebelum mendaki gunung Semeru bersama kawan-kawan, mengirimkan seperangkat alat kecantikan pada kawan-kawan mahasiswa yang duduk di parlemen agar tampak cantik di hadapan penguasa, menjadi simbol konsistensi kekritisannya (hlm 302).

Peristiwa 1998 patut pula disebut nama Sumarsih. Tokoh perempuan ini yang menggagas aksi Kamisan di depan Istana Merdeka sebagai bentuk protes atas ketidaktuntasan peristiwa 1998. Aksi yang dimulai sejak tahun 2007 dianggap sebagai laku tapa untuk menyuarakan sikap Negara terhadap pelanggaran 1998 (hlm 291) Sumarsih orang biasa yang menggerakkan energi luar biasa.

Beberapa tokoh yang ditulis dalam buku ini sebagian telah banyak diketahui. Setidaknya ada 2 buku yang menuliskan tentang profil tokoh intelektual seperti publikasi. Pertama buku Goenawan Mohammad, Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohammad (2021) serta Ignas Kleden, Fragmen Sejarah Intelektual : Beberapa Profil Indonesia Merdeka (2020). Nama-nama seperti Gus Dur, Pramoedya Ananta Toer, Nurcholis Madjid, Arief Budiman, Sardono W. Kusumo, dan Goenawan Mohammad.

Dibandingkan narasi Ignas Kleden dan Goenawan Mohammad yang berkerut kening, sketsa biografis Riwanto cukup ringan, karena pengakuan Riwanto saat bersama penulis ia menulis tentang sketsa maksimal 2000 karakter kata. Bahkan ada yang kurang. Seperti memakan popcorn tulisannya renyah, ringan namun tetap meninggalkan kesan. Semua tulisan ini merupakan tulisan yang dituliskan di media online Kajanglako.com selama 2 tahun.

 

Imajinasi dan Selera Tokoh

Sub judul buku ini memancing pembaca. Ada apa dengan Raden Saleh hingga novelis Ayu Utami. Paragraf soal Raden Saleh yang ditulis Riwanto membuat pembaca mereka-reka imajinasi sang penulisnya. Begini ia menulis :

Selain tinggal di Belanda, Raden Saleh juga sempat bermukim di Jerman dan Perancis selain Italia, total selama 20 tahun. Kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1852, pada puncak tanam paksa yang menyengsarakan bangsa Indonesia. Apakah selama di Eropa Raden Saleh sempat bertemu atau paling tidak mendengar tentang Karl Marx.

Raden Saleh menjadi yang hidup dalam abad XIX dan bersimpati pada Dipanegara yang berani memberontak kepada Belanda yang nantinya ia tuangkan melalui lukisan Penangkapan Dipanegara.

Sementara Ayu Utama yang pernah menuliskan novel Saman yang berkisah aktivis Gerakan bawah tanah yang melawan rezim militer dan Soeharto. Berbeda dengan Soe Hok Gie yang mengalami kisah 1965, generasi Ayu Utami mendengar kisah tersebut dari orang lain. Novel mempertautkan narasi sastra yang berlatar belakang kisah 1965. Dan itu tidak hanya Saman, sebut saja nama Leila Ch Chudori menorehkan novel Pulang berkisah diaspora politik  Indonesia akibat huru hara tahun 1965. Saman hadir sebagai suara pemberontakan di tengah tekanan negara dan agama.

Pada pungkasan, keseluruhan tulisan Riwanto mewartakan frasa Mencari Indonesia melalui kelibatannya gagasan, tindakan, dan karya sebagaimana penulis epilog Ruth Indiah Rahayu sungguh memrupakan dimensi karya kerja. Ini resonasi seorang Riwanto Tirtosudarma yang menggelegar. Cetaaarrrr.

*Brebes, 20 Juli 2022. Penulis, bekerja di Dinas Kebudayaaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes.

 

Judul Buku    : Mencari Indonesia 4 : Dari Raden Saleh Sampai Ayu Utami

Penulis          : Riwanto Tirtosudarmo

Prolog           : Peter Carey

Epilog           : Ruth Indiah Rahayu dan Mohammad Sobary

Penerbit        : Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Tahun Terbit  : 2022

Halaman       : 410 halaman + i-xxv

Editor. KJ-JP

TAGAR: #Pustaka#Mencari Indonesia#Intelektual Publik#BRIN

indeks berita Pustaka
PUSTAKA Jumat, 01 Oktober 2021, 07:31WIB
Mencari Indonesia 3

Oleh: Ilsa Nelwan* Permintaan kritik dan komentar diterima tanggal 15 September dari pak Riwanto mengejutkan bagiku. Namun aku juga merasa bahwa ini merupakan gesture kerendahan hati seorang Professor yang......