Oleh: Jumardi Putra*
Jauh panggang dari api penulisan kronik sejarah Jambi, yang dimulai dari abad ke-4 Masehi hingga pasca reformasi (untuk menyebut sejak Melayu Kuno-Budhis, Kesultanan-Islam, Pra dan Pasca Kemerdekaan (Proklamasi 1945) hingga reformasi dan sampai sekarang), terhadap 63 tahun sejarah berdiri pemerintah provinsi Jambi yang sedang kita rayakan sekarang ini (6 Januari 1957-6 Januari 2020), pun belum terealisasi. Sejatinya apa yang kita kerjakan selama ini? Tentu bukan perkara mudah, tapi itu bukan alasan menjadikannya sebatas mimpi atau pun cuap-cuap di forum akademia dan layar tivi.
Kalau pun muncul usaha dari penulis Jambi untuk menuliskan napak tilas sejarah Jambi sejak Melayu Kuno hingga berdirinya provinsi Jambi, itu tak lain adalah kerja ‘bersambung’, tentu dengan segala keterbatasan, mendiang A. Mukty Nasruddin (lahir di Dusun Gurun Tuo, Merangin, 1925) dan Usman Meng (lahir di Muaro Tebo, 1921), yang keduanya sama-sama telah lama meninggal dunia. Selepas mereka, atau pun bersamaan, terus berdatangan periset tentang Jambi dari dalam maupun luar negeri dengan karya tulisnya masing-masing, tetapi penyusunan kronik atau ensklopedia mengenai sejarah Jambi tak kunjung menjadi kenyataan. Siapa peduli? Memang, dari yang sedikit literatur sejarah Jambi, itu terserak di banyak jurnal maupun perpustakaan perguruan tinggi.
Dalam pada itu, tulisan A. Mukty Nasruddin berjudul “Jambi dalam Sejarah Nusantara: 692-1949 M” tidak terbit dalam bentuk buku, melainkan draf buku setebal 600-an halaman yang ia selesaikan di penghujung Desember 1989. Sekalipun demikian, hingga sekarang tulisan Mukty Nasruddin masih menjadi rujukan utama para peneliti. Sementara buku Usman Meng yang berjudul “Napak Tilas Liku-Liku Provinsi Jambi” yang terbit 1996, setelah sebelumnya berkali-kali diperbaiki sejak 1994, itu juga tidak terbit dalam jumlah banyak. Diakuinya hanya puluhan, tepatnya 63 eksemplar. Itu pun dalam wujud copian. “63 eksemplar tersebut dikirimkan kepada sarjana Jambi sebanyak 20 eks, dan selebihnya diberikan kepada kawan-kawan dan tokoh-tokoh masyarakat di daerah ini.” Begitu pengakuan Usman Meng dalam sekapur sirihnya.
Hemat saya, kedua buku tersebut penting diterbitkan (lagi) sehingga dapat diakses secara luas oleh masyarakat, khususnya di Provinsi Jambi, dengan tetap sebelumnya dieditori para ahli sejarah dan tokoh relevan lainnya. Agar kece secara penampilan, juga makin kuat dan akurat secara data.
Berdasarkan pembacaan terhadap Dokumen Uraian Tentang Sejarah Singkat Perjuangan Rakyat Jambi yang dikerjakan oleh panitia pengumpulan dan penelitian bahan-bahan sejarah daerah Jambi (merujuk SK Gubernur Kepala daerah Tingkat I Jambi tanggal 20 Desember 1974 Nomor HK-65/G/1974) serta kumpulan arsip milik Usman Meng, Ketua DPRD Merangin Lama (berkat penyelamatan oleh H. Ibrahim, sekretaris Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD)), penulis berkesempatan membaca surat-surat, notulen rapat-rapat, kawat telegram serta publikasi media cetak (termasuk iklan) dalam masa perjuangan rakyat Jambi melalui Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) sejak Keresidenan Jambi bergabung ke dalam sub provinsi Sumatera Tengah (1946), lalu bersepakat memisahkan diri, sehingga berhubungan langsung dengan pemerintah pusat sebagai wilayah tingkat I provinsi. Berikut tapak-tapak sejarah sejak gugurnya Sultan Taha Saifuddin (1904) hingga berdirinya provinsi Jambi, baik secara defacto (6 Januari 1957) maupun dejure (8 Februari 1957) dalam garis waktu:
***
27 April 1904: berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin di medan perang di Desa Betung Bedarah, Kec. Tebo Ilir, Kabupaten Tebo. Belanda berhasil menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, dan Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Satu tahun sebelumnya, 1903, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Landschap (1) Kerinci yang berada di bawah Keresidenan Sumatera Barat. (2)
***
2 Juli 1906: Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906, O.L Helfrich diangkat dan dilantik sebagai Residen Jambi yang pertama. Pada tahun 1906, Pemerintah Kolonial mendirikan keresidenan baru bernama Keresidenan Jambi. Kerinci dimasukkan ke dalamnya dengan status sebagai Afdeeling Kerinci.(3)
***
Pada tahun 1935 Kolonial Belanda kembali merombak status daerah kekuasaannya di Kerinci dengan menariknya kembali ke Keresidenan Sumatera Barat. Setelah bergabung ke Sumatera Barat, Kerinci diberi status daerah administratif setingkat district yang merupakan bagian dari Onderafdeeling Kerinci-Inderapura dalam lingkungan Afdeeling Zuid Benedenlande. (4)
***
9 Maret 1942: terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang setelah sebelumnya Jambi dikuasai Belanda selama ± 36 tahun. Jepang melakukan pendudukan atas daerah Jambi dimulai dari Uluan (bukan dari pantai Timur Jambi). Bermula dari arah Sarolangun Rawas pada tanggal 24 Februari 1942; terbuka lebar jalan ke daerah Jambi. Berlanjut 25 Februari Sarolangun berhasil diduduki Jepang, lalu di Bangko pada 26 Februari 1942, dan berlanjut pendudukan ke Muaro Bungo. Di Muaro Bungo mereka mendapat perlawanan sengit sehari semalam di Rantau Panjang yang berakhir pendudukan Jepang pada 28 Februari 1942. Berlanjut ke daerah Tebo pada 2 Maret 1942. Pada Tanggal 4 Maret 1942 Kota Jambi mulai diduduki. (5)
***
10 Maret 1942: Pemerintahan Jepang, dengan tetap memakai sistem Keresidenan buatan pemerintahan Belanda. Hanya nama-namanya diganti menggunakan bahasa Jepang. 14 Agustus 1945: Jepang menyerah pada sekutu.
***
17 Agustus 1945: proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumatera saat Proklamasi menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya. MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegang jabatan Gubernur Sumatera.
Periode awal kemerdekaan Republik Indonesia, Kerinci masih bergabung dengan Sumatera Barat dalam lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK) dengan ibukotanya Sungai Penuh.
***
18 April 1946: Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatera bersidang di Bukittinggi yang memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi, yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Sub-sub Provinsi dari Provinsi Sumatera ini dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1948 ditetapkan sebagai Provinsi.
Tarik menarik Keresidenan Jambi bergabung ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah berjalan alot. Banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi masuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan di bagian lain ingin tetap, bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. (Pidato Syamsu Bahrun, Wakil Ketua BKRD, pada Kongres Rakyat se-daerah Jambi pada 18 Juni 1955 jelas menguraikan perjalanan panjang perdebatan penuh intrik menyertai masuknya Keresidenan Jambi ke dalam Provinsi Sumatera Tengah).
Pemungutan suara pada Sidang Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatera menghasilkan keputusan bahwa Keresidenan Jambi bergabung ke Sumatera Tengah, yang mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi.
10 Juli 1948: Melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 yang dikeluarkan pemerintah pusat pada tanggal 10 Juli tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dimana wilayah Negara Kesatuan Republik ini dibagi menjadi Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, yang secara mutlak mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Keresidenan Jambi saat itu terdiri dari dua (2) Kabupaten dan satu (1) Kota Praja Jambi. Dua Kabupaten tersebut adalah KabupatenMerangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari, yang terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal.
***
10 April 1954: Tuntutan Keresidenan Jambi menjadi daerah Tingkat I Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama antara Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (HP-MERBAHARI) dengan Front Pemuda Jambi (FROPEJA), yang diserahkan langsung Kepada Bung Hatta, Wakil Presiden RI, saat dirinya berkunjung ke Bangko. Penduduk Jambi saat itu tercatat kurang lebih 500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci).
***
28 Maret 1954: Perjuangan masyarakat Kerinci dalam mewujudkan terbentuknya daerah otonom yang luas diawali dengan penyampaian resolusi oleh Persatuan Rakyat Kerinci Hilir sebagai hasil dari rapat yang diadakan pada tanggal 28 Maret 1954. Perjuangan menjadi daerah otonom sempat melemah pada tahun 1955 disebabkan konsentrasi masyarakat telah beralih pada kegiatan pemilihan umum. Setelah pemilu selesai diadakan, gema tuntutan pembentukan kabupaten kembali bergaung di Kerinci. (6)
***
30 April – 3 Mei 1954: Kesungguhan menjadi daerah Tingkat I Provinsi disuarakan kembali dalam Kongres Pemuda se-Daerah Jambi dengan mengutus tiga orang delegasi, yaitu Raden Abdullah, A.T Hanafiah dan H. Said serta seorang penasehat delegasi, yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Parlemen (DPR-RI) dan Menteri Dalam Negeri Prof. DR. Mr Hazairin di Jakarta.
***
22 Agustus 1954: muncul dukungan dan kebulatan tekad baik oleh gabungan Partai Politik nasional cabang Jambi, Dewan Pemerintahan Marga (DPM), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Merangin dan Batanghari, kelompok pemuda, alim-ulama, tokoh masyarakat, dan sebagainya. (Diakui Usman Memang dokumen dukungan belum ditemukan).
***
16, 17, 18 Januari 1955: bertempat di gedung Bioskop Murni di Jambi, Pasirah-pasirah Kepala Marga dan DPM-DPM sedaerah Kresiden Jambi mengadakan konferensi yang menghasilkan salah satu keputusan, yaitu Mendesak pada pemerintah supaya memenuhi tuntutan rakyat, yaitu “Mengeluarkan Daerah Jambi dari Provinsi Sumatera Tengah dan memberikan otonomi tersendiri yang setingkat dengan provinsi”. Bila tuntutan tersebut tidak mendapat penyelesaian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, maka masyarakat Jambi tidak menjamin timbulnya hal-hal yang tak diinginkan. Pun Rakyat Jambi tidak bertanggung jawab pada hal-hal yang mungkin timbul dalam roda pemerintahan yang ditugaskan pemerintah Sumatera Tengah.
***
Februari 1955: Front Pemuda Jambi (Fropeja) melangsungkan Kongres di Sarolangun bertempat di Gedung Bioskop Melati. Kongres ini bertujuan untuk mengkaji ulang sekaligus mengevaluasi keputusan Kongres Pemuda daerah Jambi yang berlangsung dari tanggal 30 April 3 Mei 1954 di Jambi, dan di samping itu juga memprioritaskan urusan intern Fropedja. Salah satunya membentuk kepengurusan yang baru.
***
13 Maret 1955: DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara) kabupaten Merangin dalam sidang plenonya menuntut daerah Keresidenan Jambi dijadikan daerah otonomi tingkat I (Provinsi). Bupati Kabupaten Merangin pada waktu itu adalah A. Dadjis Bebastani (berasal dari Sumatera Barat).
***
2 April 1955 DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara) Kabupaten Batanghari mengadakan sidang pleno dan mengambil keputusan yang sama seperti DPRDS Kab. Merangin. Bupati Kabupaten Batanghari pada waktu itu adalah Maddo Langeng (berasal dari Sulawesi).
***
16,17, dan 18 April 1955 di Muaro Tembo bertempat di di Aula Markas Kompi Muaro Tebo diadakan rapat rakssa yang sekaligus sebagai Voor Congres Rakyat Daerah Jambi. Rapat raksasa ini dihadiri oleh utusan dari tiap-tiap Marga (sebanyak 41 Marga) yang berada dalam kabupaten Merangin. Selain itu hadir juga masing-masing utusan dari Front Pemuda Jambi, Dewan Permusyawaratan Pemuda Daerah Jambi, Himpunan Pemuda Merangin Batanghari, Persatuan Pamong Desa (Pasirah), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara Batanghari/Merangin, Dewan Perkilan Marga-Marga, Alim Ulama, Cerdik Pandai, Tuo Tengganai, Golongan dan Perorangan. Keputusan kongres ini sejalan dengan keputusan Kongres Pemuda se-Daerah Jambi yang menuntut pemerintah pusat segera merealisasikan kehendak rakyat Daerah Jambi menjadi Provinsi.
***
14 - 18 Juni 1955: berlangsung Kongres Rakyat se-Daerah Jambi bertempat di gedung Bioskop Murni. Kongres ini dihadiri oleh Gubernur Sumatera Tengah Bapak Ruslan Mulyoharjo dan Bapak Mr. Nasrun dari KUDO (Komisaris Umum Daerah Otonom) Kementerian Dalam Negeri. Pada malam 15 Juni 1955 Kongres Rakyat Jambi yang bertempat di gedung Bioskop Capitol (kini Bisokop Duta) dibuka dengan suatu resepsi (sidang-sidang selanjutnya bertempat di gedung Bioskop Murni). Dalam Kesempatan ini, Bapak Syamsu Bahrun, wakil ketua BKRD, menyampaikan pidato penjelasannya mengenai tuntutan rakyat Jambi. Jumlah seluruh utusan yang menghadiri Kongres Rakyat Jambi ini berjumlah 326 orang dan hampir 100 orang hadir sebagai peninjau. Keputusan besar Kongres Rakyat Jambi ini adalah mendesak kepada pemerintah pusat agar daerah Keresidenan Jambi diberikan otonomi setingkat provinsi. Kongres ini juga memutuskan membentuk wadah perjuangan rakyat Jambi yang tetap dan berkedudukan di Jambi dengan nama Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) dan sekaligus menetapkan Anggaran dasarnya. BKRD ini bekerja untuk memperjuangkan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi secara sistematis dan terorganisir.
***
14-15 Juli 1995: BKRD kembali bersidang menetapkan delegasi yang akan berangkat ke Jakarta untuk menyampaikan keputusan Kongres Rakyat Jambi kepada pemerintah pusat. Sidang tersebut memutuskan memilih tiga (3) orang delegasi yaitu H. Hanafie, Ketua BKRD; Ibrahim, Sekretaris BKRD; dan Raden Suhur, Bendahara BKRD.
***
23 Agustus 1955: Tiga (3) orang delasi baru bisa berangkat ke Jakarta dengan biaya yang sangat minim sebesar Rp.5000,- dan biaya ini pun belum tahu sumbernya dari mana karena kas BKRD dalam keadaan kosong (dalam tulisan Usman Meng). Delegasi menemui seksi G (Seki Dalam Negeri) Parlemen yang terdiri dari Maridi Danukusomo, AR. Baswedan (Kakeknya Gubernur DKI-Jakarta: Anies Baswedan); dan Ardi Winangun pada tanggal 25 Agustus 1955. Pada hari itu juga Delegasi pergi ke Kementerian Dalam Negeri menemui Bapak Sutarjo selaku Ketua KUDO (Komisaris Urusan Otonomi Daerah) yang kebetulan pada hari itu mengadakan sidang. Delegasi langsung menjelaskan maksud kedatangan mereka ke Jakarta, yaitu menyampaikan aspirasi rakyat Jambi yang menginginkan daerah Jambi menjadi Provinsi. Bapak Sutarjo menyatakan bahwa tuntutan rakyat Jambi sebagaimana yang telah dibawa oleh Mr. M. Nasrun sewaktu beliau menghadiri Kongres Juli 1995 telah disetujui oleh KUDO dan telah diserahkan ke Parlemen, dan hanya menunggu keputusan saja.
***
26 Agutus 1955: bertempat di rumah Abunjani, delegasi mengadakan pertemuan dengan para pemuda Jambi yang tergabung dalam Himpunan Pemuda Merbahari (HP Merangin-Batanghari) dan delegasi memberi penjelasan kepada mereka tentag aspirasi rakyat Jambi yang telah diputuskan melalui Kongres Rayat Jambi pada tanggal 15,16, dan 17 Juni 1995. Dalam pada itu, delegasi juga menerima masukan-masukan dari pemuda-pemuda yang tergabung dalam HP Merbahari.
**
27 Agustus 1955: Delegasi menghadap Menteri Dalam Negeri yang saat itu dijabat oleh Mr. Sunaryo pada kabinet B.H. (Burhanuddin Harahap) dan menjelaskan sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Sutarjo.
***
28 Agustus 1955 delegasi menemui pimpinan partai. H. Hanafie menemui Partai Masyumi, saudara Ibrahim menemui pimpinanPNI dan saudara Raden Suhur menemui pimpinan PSI. Kunjungan delegasi menjelaskan aspirasi rakyat Jambi menjadi daerah otonomi tingkat I (Provinsi) sekaligus upaya delegasi menemui beberapa pihak di Jakarta.
***
28 dan 29 Mei 1956: BKRD melaksanakan sidang pleno yang kedua yang bertempat di Kuala Tungkal. Sidang Pleno ini kembali mendapat dukungan penuh dari Kewedanan Tungkal agar Jambi menjadi daerah otonomi tingkat 1 (Provinsi).
Sidang Pleno di Kuala Tungkal ini diperoleh suatu keputusan bahwa tiap-tiap marga akan memberi bantuan keuangan berupa iuran setiap bulan untuk BKRD.
***
24-25 November 1956: BKRD kembali mengadakan sidang Pleno di Muaro Bungo. Keputusan sidang pleno BKRD adalah:
Pertama: mengutus kembali delegasi menemui pemerintah pusat sebanyak 7 (tujuh) orang yang terdiri dari: Residen Jambi Gelar Datuk Bagindo, sebagai ketua; H. Hanafie, dari BKRD; Yusuf Nasri, dari BKRD; 1 orang dari Persatuan Pamong Desa Kabupaten Meangin; 1 orang dari Persatuan Pamong Desa Kabupaten Batanghari; 1 orang dari DPD Kab. Batanghari; dan 1 orang dari Kab. Merangin;
Kedua: memajukan tuntutan dengan resolusi dengan berdasarkan bahwa pemerintah akan menyerahkan Undang-undang pembentukan provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat yang akan dibicarakan pada Sidang Parlemen yang pertama tahun 1957. Apabila soal tersebut belum juga mendapatkan penjelasan sebagaimana yang dicita-citakan oleh BKRD, maka BKRD akan mengadakan Kongres Rakayat Jambi II untuk menentukan sikap selanjutnya.
Ketiga: penambahan seksi dalam struktur kepanitiaan persiapan provinsi Jambi dalam BKRD.
Keempat: mengadakan Pekan Perjuangan tuntutan provinsi Jambi di marga-marga dalam daerah Jambi dengan mengambil resolusi dan pernyataan yang pada pokoknya mendesak supaya tuntutan status daerah Jambi diselesaikan dengan selekas mungkin;
Kelima: membentuk cabang-cabang BKRD dengan segera mungkin;
Keenam: mengharapkan pada partai politik yang ada dalam daerah ini supaya mendesak pusatnya masing-masing maupun di provinsi agar menyokong tuntutan rakyat Jambi;
Ketujuh: mengharapkan pada Dewan-Dewan Perwakilan Marga dalam Keresidenan Jambi, DPRD Kab. Batanghari dan Merangin supaya memberikan sokongan dengan mengeluarkan resolusi dan pernyataan-pernyataan;
Kedelapan: Sekretaris supaya mengusulkan dokumen-sokumen mengenai perjuangan status daerah Jambi dan dicetak;
Kesembilan: keuangan otonomi Kabupaten Batanghari, Merangin dan Kota Jambi sebahagian disumbangkan pada BKRD untuk biaya perjauangan menuntut status daerah Jambi;
Kesepuluh: memperkuat putusan Pleno II di Kuala Tungkal mengenai bantuan uang dari tiap-tiap Marga;
Kesebelas: menyarankan kepada Alim Ulama dan Rakyat di samping perjuangan zahir, mengadakan pula sembahyang hajat di tiap-tiap kampung.
***
5 Desember 1956: BKRD mengirimkan hasil putusan sidang Pleno II kepada:
Seluruh asisten Wedana Kecamatan di daerah Jambi; Pasirah-pasirah Kepala Marga di daerah Jambi; dan Seluruh anggota Pleno BKRD dengan surat B.K.R.D. No. 74/BKRD/56.
***
19 Desember 1956: Dewan Banteng, Sumatera Tengah, mengirim surat kepada BKRD di Jambi untuk melakukan kerjasama yang baik antara kedua belah pihak. Isi surat tersebut berupa usulan Dewan Banteng agar delegasi BKRD mengundurkan jadwal keberangkatan ke Jakarta, sesuai dengan perjuangan putusan reuni ex devisi Banteng pada tanggal 24 November 1956. Adapun putusan reuni ex devisi Banteng Sumatera Tengah dengan sendirinya termasuk tuntutan delegasi BKRD yang mewakili aspirasi rakyat Jambi.
***
20 Desember 1956: terjadi pergeseran pemerintah di daerah Sumatra Tengah. Dewan Banteng mengambil alih pemerintah dari Gubernur Ruslan Mulyoharjo ke tangan overste Ahmad Husein yang diangkat oleh Dewan Banteng sebagai Ketua Daerah Sumatera Tengah dan Mayor Sofyan Ibrahim sebagai kepala staf sipil yang berkedudukan di Bukittinggi. Juga dilakukan serah terima Pejabat Kepala Polisi Sumatra Tengah dari Komisaris Polisi R.M. Suwarno Tjokroningrat kepada Komisaris Polisi St. Suis. Upacara serah terima jabatan berlangsung pukul 19.45 WIB yang dihadiri oleh anggota DPDS Sumatera Tengah dan orang-orang terkemuka.
***
26 Desember 1956: utusan BKRD yang diketuai Residen Jambi, Djamin Gelar Datuk Bagindo, datang menemui ketua Daerah, Ahmad Husein, untuk merundingkan soal-soal pemerintahan di Jambi dan menyampaikan aspirasi rakyat Jambi supaya menjadi daerah otonomi tingkat I (Provinsi).
***
31 Desember 1956: Panglima Tentara Territorium (TT) Sriwjaya, selaku penguasa Milter Sumatera Selatan dan Jambi mengeluarkan Maklumat No.PM-001/12/1956, bahwa daerah Sumatera Selatan (Keresidenan Palembang, Bengkulu dan Lampung serta Jambi) berada dalam keadaan darurat perang (staat van oorlog en van beleg) sesuai dengan keputusan presiden RI tanggal 29 Desember 1956 No 201.
***
3-5 Januari 1957: Kongres Pemuda se-daerah Jambi kembali mendesak BKRD menyatakan Keresidenan Jambi secara de facto menjadi Provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957 . Kongres ini kembali dihadiri oleh utusan-utusan dari tiap-tiap Kewedanan Daerah Jambi, organisasi pemuda, organisasi bekas pejuang dan Kampung-kampung dalam Kota Besar Jambi.
***
8 Januari 1957: beberapa orang pemuda yang dipmpin oleh R. Marjoyo mendirikan sutau badan perjuangan yang bernama Gerakan Pembela Provinsi Djambi (GPPD). Badan ini mempersiapkan diri untuk mengantisipasi setiap usaha dari golongan tertentu yang akan merongrong proklamasi tersebut, maka GPPD membuat serta menandatangani ikrar bersama yang dikenal dengan prinsip “Timbul sama terapung dan tenggelam sama terbenam” berkaitan konsistensi arah perjuangan menuju Jambi sebagai provinsi.
***
6 Januari 1957: sidang Pleno BKRD pukul 02.00 WIB dengan resmi menetapkan Keresidenan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi yang berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan keluar dari Provinsi Sumatera Tengah.
***
9 Januari 1957: Dewan Banteng, Letkol Ahmad Husein, selaku penguasa pemerintah Provinsi Sumatera Tengah yang telah mengambil alih pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 9 Januari 1957 dalam pidatonya melalui radio RRI Padang menyetujui keputusan BKRD. BKRD diminta agar dalam waktu sesingkat-singkatnya melaksanakan terbentuknya otonomi tingkat I bagi Jambi. Kepada seluruh rakyat Jambi dianjurkan agar memberikan bantuan sepenuhnya dalam pelaksanaan instruksi ini serta tetap memelihara suasana aman dan tenteram seperti sediakala. Instruksi serupa juga disampaikan oleh Letkol Ahmad Husein kepada Riau, yang sama-sama berjuang menjadi daerah otonomi tingkat I.
***
9 Januari 1957: BKRD mengirimkan delegasi kepada pemerintah pusat dan kepada Panglima T.T II Siriwijaya berkenaan dengan keputusan BKRD tanggal 6 Januari 1957. Anggota delegasi yang ditunjuk ke Palembang untuk bertemu dengan Panglima T.T. II Sriwijaya Overste Letnan Kolonel Barlian, terdiri dari: Djamin Gelar Datuk Bagindo, Hadji Hanfie, Yusuf Nasri, dan A. Hady.
Sementara anggota delegasi BKRD yang berangkat ke Jakarta terdiri dari: Kemas A. Gafar Dung; A Majid Batu; H.M. Kasim Agus; Hasan Jaapar; Basyaruddin; Abdullah Umar; dan A. Sitomorang.
***
10 Januari 1957: Panglima T.T. II Sriwijaya mengirimkan surat kepada BKRD berisikan agar BKRD memperhatikan sepenuhnya maklumat No. PM-002.1957, tertanggal 4 Januari 1957 dan melaksanakan poin 4 sub b. Lalu meminta delegasi BKRD segera kembali ke Jambi agar direalisasi oleh BKRD dan Badan Kongres Pemuda Jambi.
***
10 Januari 1957: Keberangkatan delegasi BKRD ke Jakarta didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekretaris Comite PKI Batanghari mengirimkan telegram kepada pemerintah pusat yaitu Menteri Dalam Negeri RI, Ketua Parlemen RI, Presiden RI, di Jakarta sebagai berikut: Secom PKI Batanghari atas nama anggotanya dan pemilih PKI mendukung dan berdiri di belakang BKRD yang diketuai Residen ke Jakarta dan menuntut pendirian daerah otonom tingkat I, provinsi Jambi.
***
10 Januari 1957: RRI Jakarta menyiarkan pengumuman kabinet bahwa sidang kabinet tadi malam menyetujui daerah Riau dan Jambi menjadi daerah otonom tingkat I (Provinsi), pembentukannya melalui Undang-undang Biasa.
Pada tanggal yang sama, partai-partai politik di Kerinci yaitu PNI, Partai masyumi, dan partai NU serta PKI mengirimkan telegram kepada Menteri Dalam Negeri RI dan Seksi G Parlemen RI di Jakarta, berisikan tuntutan direalisasikannya otonom Kerinci tingkat II dan digabungkan dalam provinsi Jambi. PNI ditandatangani oleh Dr. Selawat; PKI oleh M. Jahu; Masyumi oleh H. Mujahid; NU oleh A. Chatib; PERTI oleh H. Usman Djamal; dan PSI oleh H. Usman.
***
12 Januari 1957: BKRD dengan perantara wakil ketuanya saudara Syamsu Bahrun menyampaikan pidato radio di corong radio Jambi yang menjelaskan sekitar otonomi daerah Jambi yang diproklamirkan pada 6 Januari 1957.
***
Harapan yang diberikan Dewan Banteng kepada Kerinci untuk pembentukan daerah otonomi tidak kunjung dilaksanakan. Maka dari itu, sejalan dengan rencana pembentukan Provinsi Jambi, Kerinci menyatakan diri ingin bergabung dengan Jambi. Keputusan Kerinci bergabung dengan Jambi tidak terlepas dari sejarah Kerinci yang pernah menjadi bagian Keresidenan Jambi bentukan Pemerintah Kolonial Belanda. Kerinci bersama Afdeeling Djambische Bovenlanden dan Djambische Benedenlanden turut digabungkan ke dalamnya.(7)
Puncaknya, 12 Januari 1957, Kongres Rakyat Kerinci yang tediri dari partai-partai politik yang ada di daerah itu menyerukan/mengeluarkan pernyataan menuntut agar daerah Kerinci menjadi daerah otonom tingkat II (Kabupaten) yang sekaligus bergabung dengan Provinsi Jambi dengan memerhatikan hubungan kebudayaan, ekonomi dan politik. Tanggal 21 Januari 1957, melalui Hadji Samin Ali, sekretaris Persatuan Keluarga Kerinci Daerah Jambi, menyurati ketua BKRD yang berisikan pernyataan panitia Kongres Rakyat Kerinci menuntut kehendak rakyat Kerinci untuk berotonomi tingkat II dan langsung bergabung dengan daerah otonomi Provinsi Jambi. (8)
***
14 Januari 1957 Baperki cabang Jambi mengeluarkan pernyataan (ditandatangani oleh Ketua Tan Joe Kim dan sekretaris Whie Tiong Koan) dukungan terhadap kebijakan yang dibuat BKRD pada tanggal 6 Januari 1957 yaitu Keresidenan Jambi menjadi daerah otonom tingkat I atau provinsi dan berdiri di belakang delegasi yang diutus BKRD untuk menemui pemerintah pusat dengan harapan delegasi berhasil meyakinkan pemerntah pusat merealisasi Jambi sebagai daerah otonom tingkat I yang telah diperjuangkann dari tahun 1946 .
***
18 Januari 1957: Sidang Pleno BKRD yang dihadiri oleh wakil BKPD, menerima anjuran Panglima T.T. II Sriwijaya untuk mengadakan perundingan Segitiga antara BKRD, Dewan Banteng dan Panglima T.T. II Sriwijaya.
***
19 Januari 1957 BKRD mengumumkan nama-nama yang berangkat menghadiri rapat Segitiga di Palembang, yang terdiri dari: H. Hanafie (Ketua BKRD), Mad Han dan Yusuf Nasri (Anggota BKRD), M. Salim (Tokoh masyarakat), dan A. Hadi (Ketua BKPD) serta penasehat Djamin Datuk Bagindo (Residen Jambi) dan M.O. Bafadhol (Anggota Parlemen RI).
***
21 Januari 1957: berlangsung Rapat Segitiga yang dipimpin langusung oleh Panglima T.T II Sriwijaya, Letnan Kolonel Barlian. Adanya persetujuan bersama dalam rapat Segitga, yang diikuti oleh Sofjan Ibrahim (delegasi Dewan Banteng), Hadji Hanafie (Delegasi BKRD Djambi), dan Letkol Barlian (Penguasa Militer TT II Sriwijaya), yang berlangsung di Palembang menghasilkan beberapa butir kesepakatan, yakni:
Pertama: Dewan Banteng atas usulan BKRD Djambi menetapkan seorang acting Gubenur/Kepala Daerah Provinsi Djambi. Kedua: Dewan Banteng mengesahkan staf daripada acting gubernur/kepala daerah Daerah yang diusulkan oleh Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Jambi bersma ketua BKRD Djambi. Ketiga: Pelaksanaan point 1-2 dilakukan pada tanggal 1 Februari 1957. Keempat: Realisasi otonomi selanjutnya, termasuk soal-soal keuangan dan pembangunan, dilakukan secara berangsur-angsur dengan menempuh jalan perundingan antara BKRD Djambi dan Dewan Banteng.
***
22 Januari 1957: pemerintah pusat berkeinginan memindahkan Residen Jambi, Djamin Gelar Datuk Bagindo, dan Bupati Merangin, H.A. Manaf (salah seorang anggota Dewan Banteng) ke luar daerah Jambi. Keinginan tersebut menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat Jambi. Bermunculan resolusi/pernyataan penolakan. Berita pemindahan kedua tokoh Jambi tersebut dimuat di berita ‘Haluan’ pada tanggal 22 Januari 1957.
***
23 Januari 1957: Organisasi Pejuang Islam Bekas Bersenjata cabang Muaro Bungo, pimpinan A. Samad Y dan skretaris A. Rahman, melalui pernyataannya menolak kepindahan pejabat-pejabat (Djamin Gelar Datuk Bagindo dan H.A. Manaf) pada saat sekarang dan mendesak kepada menteri dalam negeri untuk membatalkan kepindahan tersebut.
***
27 Januari 1957: Radiogram Dewan Banteng berbunyi: tidak mengakui pemindahan Djamin Gekar Datuk Bagindo, H. A. Manaf dan lain-lain oleh pemerintah pusat. Dalam pada itu, Dewan Banteng meminta ke BKRD segeralah ke Padang membawa usulan penetapan acting Gubernur dan staf supaya pelantikan lekas dapat dilangsungkan di Jambi.
***
1 Februari 1957: Rapat gabungan Kepala-kepala Adat, syaraq, DPR, partai politik, Pejuang dan Organisasi Massa di dalam Marga VII Koto, bertempat di ruangan sekolah Rakyat Sungai Abang. Rapat gabungan ini memutuskan tidak menyetujui tindakan pemerintah pusat bila memindahkankan Djamin Gelar Datuk Bagindo Residen Jambi ke luar daerah Jambi. Resolusi ini disampaikan ke Presiden RI, Perdana Menteri RI, Menteri Dalam Negeri RI, Seksi G Dalam Negeri Parlemen RI, Panglima T.T II Sriwijaya, Ketua Dewan banteng, BKRD di Jambi, RRI di Jakarta, RRI di Padang, RRI di Bukit Tinggi, RRI di Palembang dan kalangan pers.
***
8 Februari 1957: Keinginan pemerintah pusat memindahkan Residen Jambi, Djamin Gelar Datuk Bagindo dan Bupati Merangin H.A. Manaf (salah seorang anggota Dewan Banteng) keluar daerah Jambi tidak berhasil.
8 Februari 195: berlangsung peresmian peresmian provinsi Jambi di dua tempat yaitu di kediaman Residen Jambi (sekarang Rumah Dinas Gubernur Jambi) dan di gedung Nasional Jambi (Sekarang BKOW). Pukul 06.00 pagi sirine, auling kapal, beduk-beduk dan lonceng-lonceng gereja dibunyikan selama 3 menit. Semua kantor pemerintah, rumah-rumah, toko-toko serta gedung-gedung pemerintah maupun swasta wajib menaikkan bendera merah putih selama 12 jam sampai pukul 18.00 WIB.
Pada pukul 08.30, serentak seluruh lapisan masyarakat Jambi, anak-anak sekolah dan pandu-pandu (pramuka), sudah berkumpul di depan rumah kediaman Residen Jambi untuk bersama-sama mengikuti upacara peresmian Provinsi Jambi.
Acara upacara peresmian tersebut diawali pembukaan oleh Ketua Seksi Upacara saudara K.A. Gaffar Dung, kemudian dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya serta penaikan bendera Merah Putih. Lalu dilanjutkan dengan mengheningkan cipta dan tafakur serta memanjatkan doa dan rasa syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya. Berlanjut kemudian uraian perjuangan Rakyat Jambi sehingga berhasil menjadi daerah otonom tingkat I (Provinsi) oleh Ketua BKRD, Hadji Hanafie. Setalah pidato Ketua BKRD, dilanjutkan acara inti yaitu peresmian Provinsi Jambi yang langsung disampaikan oleh Ketua Dewan Banteng Sumatera Tengah, Letkol Ahmad Husein.
8 Februari 1957: Ketua Dewan Banteng, Letkol Ahmad Husein, melantik Residen Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai acting Gubernur dan H. Hanafi sebagai wakil Acting Gubernur Provinsi Djambi, dengan staff 11 orang, yaitu Nuhan, Raden Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad, Raden Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abd. Umar yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L Kpts-57 di rumah Residen Jambi (sekarang Rumah Dinas Gubernur Jambi).
Usai pelantikan itu, secara bergiliran sambutan oleh Panglima T.T II Sriwijaya (Letkol Barlian), Ketua Dewan Banteng (Ahmad Husein), Wakil Ketua BKRD (Syamsu Bahrun), dan Wakil Ketua Badang Kongres Pemuda se-Daerah Jambi (Tidak ada nama dalam teks pidatonya), dan diakhiri sambutan Acting Gubernur Jambi, Djamin Gelar Datuk Bagindo.
***
12 Maret 1957: Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) secara resmi membalas surat panitia Kongres Rakyat Kerinci, tertanggal 12 Januari 1957, berisikan ungkapan terima kasih atas dukungan persatuan Keluarga Kerinci Daerah Jambi agar Jambi menjadi daerah tingkat I Provinsi sekaligus BKRD bersama-sama berusaha agar kehendak Kerinci menjadi daerah otonom tingkat II dan bergabung dalam provinsi Jambi menjadi kenyataan. (9)
***
*Penulis menyadari masih banyak celah kosong dalam pemuatan kronologi di atas. Karena itu penulis membuka diri terhadap tambahan data maupun koreksi. Catatan di atas dimuat bersambung hingga terbentuknya provinsi Jambi secara de facto de jure pada 9 Agustus 1957 melalui Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan demikian Daerah Keresidenan Jambi secara de facto de jure menjadi provinsi. Dan Undang-undang darurat Nomor 19 Tahun 1957 telah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 1958. Dalam UU No. 61 tahun 1958 disebutkan pada pasal 1 huruf b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi sertaKecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Catatan:
- Landschap adalah suatu wilayah administratif (setingkat distrik) pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, yang biasanya diperintah oleh seorang penguasa lokal pribumi setempat yang mau diajak bekerjasama dengan kolonial.
- Dari segi historis, Kerinci telah mengalami banyak pergantian status kekuasaan, dimulai dari sebelum pemerintah Kolonial Belanda sampai terbentuknya Kerinci sebagai daerah otonom tingkat II. Lebih lanjut baca Idris Djakfar Depati Agung, Menguak Tabir Prasejarah di Alam Kerinci, (Sungai Penuh : Pemerintah Kabupaten Kerinci, 2001).
- Afdeeling Kerinci adalah Kabupaten Kerinci, Afdeeling Djambische Bovenlanden adalah Kabupaten Merangin, dan Afdeeling Djambische Benedenlanden adalahKabupaten Batanghari.
- Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme : Sumatera Barat Tahun 1950-an, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007). hal. 237.
- Lukman Rachman, Zaituti Hafar, dkk, “Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983/1984. Hal. 72-73.
- Idris Djakfar Depati Agung, Menguak Tabir Prasejarah di Alam Kerinci, (Sungai Penuh : Pemerintah Kabupaten Kerinci, 2001), hal. 18.
- Pernyataan Panitia Kongres Rakyat Kerinci dalam nomor surat 27/12/PKK./57. Surat itu ditandatangani oleh Haji Samin Ali, selaku sekretaris Persatuan Keluarga Kerinci Daerah Jambi.
- Surat BKRD kepada Pengurus Persatuan Keluarga Kerinci, 12 Maret 1957 dengan nomor surat 25/BKRD/57.
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-undang Darurat No. 21 Tahun 1957 tentang Pengubahan Undang-undang No. 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II dalam Lingkungan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Tengah. Pasal 1 poin c.
- Merangin (genah lahir Mukty Nasruddin) merujuk nama kewedanaan lamo (setingkat Kab), sebelum ada Sarolangun Bangko (Sarko). Kini Gurun Tua masuk Kec. Mandiangin, Kab. Sarolangun.
Editor. KJ-JP