Oleh: Jumardi Putra*
Hari elok ketiko baik, begitu bunyi penggalan seloko Jambi. Jumat, 10 Desember 2020 adalah hari baik (kalau bukan istimewa) buat saya karena kali pertama menginjakkan kaki sekaligus menikmati hawa sejuk kota tua bekas tambang Batubara Sawahlunto, provinsi Sumatra Barat.
Bagaimana tidak. Bukan hanya saya bisa menyaksikan jalur kereta api yang dibangun menembus perbukitan Bukit Barisan dan melintasi kawasan terbuka, tetapi saya juga bisa membayangkan kota tambang yang dibangun secara terintegrasi di kisaran penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang terdiri dari area industri, bisnis dan perdagangan, hunian, administrasi pemerintahan, serta fasilitas kesehatan. Capaian gemilang demikian tentulah menyimpan banyak cerita, lengkap dengan paradoksnya.
Sebelumnya seluk beluk kota kecil ini saya ketahui hanya melalui buku, liputan berita, dan cerita lapangan dari sebagian kecil arkeolog. Bersamaan dengan itu, keberhasilan pemerintah kota Sawahlunto bersama stakeholder lainnya mendapatkan pengakuan UNESCO yakni Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto pada 6 Juli 2019 memicu kawan-kawan pegiat cagar budaya di Provinsi Jambi mendorong pemerintah Kabupaten Muarojambi bersama pemerintah provinsi Jambi agar bersungguh-sungguh mengurusi kawasan Percandian Muarojambi sehingga status yang sekarang masih termangu dalam “daftar tunggu” sedari tahun 2009 benar-benar berhasil ditetapkan menjadi situs warisan dunia kategori budaya (world heritage) oleh UNESCO.
Ket: Kota Sawahlunto dilihat dari puncak Cemara. Dok. JP.
Kawasan bekas tambang batubara Sawahlunto ini berada di wilayah seluas 89,71 hektar, yang meliputi tiga kecamatan yakni Kecamatan Segar, Barangin, dan Kecamatan Silungkang. Sawahlunto pernah berjaya hampir seabad sebagai kawasan tambang batubara. Situs ini tercatat sebagai pertambangan pertama di Asia Tenggara, yang pada abad ke-19 menerapkan teknik penambangan bawah tanah untuk mengambil bijih batubara berkualitas super di kedalaman 40 – 100 meter.
Merujuk buku karya Andi Asoka, dkk, berjudul Sawahlunto, Dulu, Kini dan Esok (Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya), terbitan LPTIK Universitas Andalas (2016), perkembangan kota Sawahlunto dimulai sejak ditemukannya tambang batubara oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19, tepatnya pada tahun 1868 oleh ahli geologi WH. de Greve. De Greve menemukan adanya potensi besar kandungan batubara di tepi sungai Ombilin yakni 200 juta ton dengan kualitas di atas 4.500 kalori per kilogram batu bara dan masuk kategori terbaik saat itu.
Menurut catatan dua geolog Belanda yang pertama kali melakukan eksplorasi pada 1867, De Greve dan Kalshoven, Sawahlunto ketika itu belum menjadi daerah hunian warga sebagaimana sekarang ini. Kondisi ini terbukti ketika geolog Belanda lain, yaitu RDM Verbeek, juga melakukan eksplorasi di sana pada tahun 1875.
***
Kunjungan saya ke kota Sawahlunto dari Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo, tidak sendirian, melainkan bersama keluarga karena bertepatan liburan sekolah. Bak kata pepatah, menyelam sambil minum air. Liburan yes. Asupan nutrisi sejarah dan budaya menyertai. Begitulah kira-kira konsep piknik kami.
Menjatuhkan pilihan piknik ke kota Sawahlunto sempat dirundung kekhawatiran lantaran pagebluk corona belum sepenuhnya berakhir. Namun berkat informasi dari arkeolog Bung Didi AB, yang menghubungkan saya pada arkeolog Muhammad Afif Hasibuan, yang sedang melakukan penelitian di Sawahlunto membuat kami sedikit lega.
Kami pun berangkat dengan tetap mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Budi baik Bung Afif jugalah yang berkenan mendampingi kami selama menyusuri kawasan bersejarah di Sawahlunto. Sepulang dari Sawahlunto pun Bung Afif mengirimkan beberapa literatur dalam bahasa Indonesia maupun Belanda tentang Ombiliin Sawahlunto. Sekali lagi, Terima kasih Bung!
Jarak tempuh Empelu ke Sawahlunto memerlukan waktu lebih dari empat jam. Jalanan ketika itu tidak ramai oleh truk-truk besar yang melintasi jalan lintas Sumatera sebagaimana hari-hari biasanya. Hanya saja jalanan berlubang yang kerap kami jumpai cukup mengganggu. Kondisi jalan demikian mengingatkan saya pada ocehan sahabat Datuk Nik Hasan Suhaimi asal negara Brunei Darussalam, sekira tujuh tahun lalu, saat dirinya menempuh jalur darat dari Padang ke Kota Jambi mengikuti perhelatan Pertemuan Penyair Lima Negara (PPN-V) yang ditaja oleh Dewan Kesenian Provinsi Jambi. Rentang waktu tujuh tahun jelas ada perubahan kualitas jalan, tetapi saya tidak tahu persis seberapa lompatan kualitatifnya. Yang jelas jalanan berlubang tidak hanya mengganggu bagi pengguna jalan, tetapi juga bisa membahayakan.
Setiba di Sawahlunto pukul 11.50 WIB kami langsung menuju Masjid Agung Nurul Islam karena bertepatan ibadah shalat Jumat. Masjid ini berlokasi di Kelurahan Kubang Sirakuak Utara, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, berjarak sekitar 150 meter dari Museum Kereta Api.
Ket: Masjid Agung Nurul Islam, Kota Sawahlunto. Dok. JP.
Masjid Nurul Islam ini berbeda dengan bangunan mesjid umumnya di ranah Minang. Bangunan utama Masjid seluas 60x60 meter ini memiliki satu kubah besar di tengah dan dikelilingi empat kubah ukuran kecil. Sebelum beralih fungsi sebagai rumah ibadah, bangunan ini merupakan pusat pembangkit listrik tenaga uap yang didirikan pada tahun 1894 dengan memanfaatkan aliran Sungai Batang Lunto sebagai sumber tenaga. Tetapi karena debit air sungai kian berkurang, PLTU dipindahkan ke Salak, Talawi.
Berjalannya waktu, bekas bangunan PLTU itu dimanfaatkan warga setempat ketika turut berjuang dalam masa revolusi Indonesia sampai mempertahankan kemerdekaan. Barulah tahun 1952 setelah merdeka, pemerintah mengalih fungsi bangunan tersebut menjadi rumah ibadah bagi mayoritas pemeluk Islam di Sawahlunto.
Yang mencolok dari bangunan masjid ini adalah menara di samping bangunan utama, yang dulunya adalah cerobong asap setinggi 75 meter untuk mengeluarkan asap PLTU, yang selanjutnya ditambah kubah setinggi 10 meter, sehingga ketinggiannya makin membuat elok pemandangan perbukitan dalam jajaran bukit barisan di kota kecil ini.
Ket: Tampak cerobong asap saat menjadi PLTU. Sebelum menjadi Masjid. Dok. JP.
***
Lepas shalat Jumat, destinasi wisata yang pertama kami kunjungi adalah museum Kereta Api yang berada di Jalan Kampung Teleng, Kelurahan Pasar, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Untuk bisa masuk ke Museum Kereta Api Sawahlunto kami dikenakan biaya sebesar Rp 3.000 per orang.
Museum dibuka tiap hari, mulai pukul 08.00-15.30 WIB. Ketika itu museum ini sepi dari pengunjung. Bang Edi, petugas museum mengatakan pandemi corona membuat jumlah pengunjung menurun drastis. Di samping museum sempat ditutup sementara untuk memutus matarantai virus tak kasat mata itu, juga warga khawatir terpapar. Namun setelah museum resmi dibuka kembali untuk umum baru-baru ini, pengunjung mulai berdatangan dan museum kembali bergeliat.
Ket: Museum Kereta Api Sawahlunto. Dok. JP.
Merujuk buku sejarahwan Erwiza Arman berjudul Membaranya Batu Bara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat (Desawantara, 2005) dan tulisan Aulia Rahman berjudul Moderniasi Teknologi Kereta Api di Sumatera Barat (1871-1933) dalam jurnal arkeologi Siddhayatra (2019) bahwa era perkeretaapian di Sumatra Barat dimulai dari pembangunan jalur kereta api oleh Pengelola Kereta Api Negara Sumatra Staats Spoorwegen (SSS). Pembangunan tersebut dimulai dari Teluk Bayur Sawahlunto yang dimulai dari Stasiun Pulo Aer Stasiun Padang Panjang sepanjang 17 km. Jalur kereta api ini dibuka pada tanggal 1 Juli 1891.
Pada era tersebut dimulailah perkeretaapian di Sumatra Barat, dan selanjutnya dibangunlah jalur kereta api yang berkelanjutan. Jalur tersebut adalah sebagai berikut: (1). Pembuatan jalan kereta api dari Pulau Air sampai ke Padang Panjang 71 Km, selesai dalam bulan Juli 1891, (2) Padang Panjang ke Bukittinggi 19 Km, selesai pada bulan Nopember 1891, (3) Padang Panjang Solok 53 Km, selesai pada 1 Juli 1892, di jalur ini terdapat jalur kereta api yang memakai gerigi (Petak antara Stasiun Padang Panjang Stasiun Batutabal) seperti jalur kereta api di Ambarawa (Jambu Gemawang), dan (4) Solok Muaro Kalaban 23 Km dan Padang Teluk Bayur 7 Km. Kedua jalur ini selesai pada tanggal yang sama yaitu 1 Oktober 1892 Jalur kereta api dari Muaro Kalaban-Sawahlunto dengan menembus sebuah bukit berbatu yang kemudian bernama Lubang Kalam sepanjang hampir 1 Km (835 Meter), selesai pada 1 januari 1894. Proyek besar pembangunan jalur rel kereta api ini melibatkan puluhan ribu pekerja termasuk sebanyak 20.000 narapidana dari berbagai penjara milik pemerintah kolonial saat itu.
Menurut sejarahwan Erwiza Arman, mulanya rencana pembangunan rel kereta api di Sumbar digunakan untuk distribusi kopi dari daerah pedalaman (Bukittinggi, Payakumbuh, Tanah Datar, Pasaman) ke Pusat perdagangan di Kota Padang. Ide ini muncul saat pemerintahan kolonial Belanda sudah mulai kokoh di Sumbar. Hal ini terlihat setelah penandatangani Plakat Panjang tahun 1833. Akan tetapi, rencana ini berubah semenjak ditemukannya batu bara di daerah Ombilin tahun 1867 oleh seorang ahli geologi W.H. de Greeve dan setahun kemudian menemukan kandungan batu bara berkualitas tinggi. Pemerintah Hindia Belanda pun tertarik untuk melakukan penambangan dan pengangkutan batu bara karena kualitasnya tinggi dan jumlahnya cukup banyak.
Ket: Jalur kereta api dari Muaro Kalaban-Sawahlunto. (Selesai dibangun 1 Januari 1894)
Dibuatnya jalur kereta api dari Pelabuhan Teluk Bayur ke Sawahlunto terbukti membuat hasil pertambangan batu bara meningkat tajam dan meraih kesuksesan. Tetapi, berjalannya waktu dan puncaknya memungkasi tahun 2000 produksi batubara di Sawahlunto berkurang drastis. Secara otomatis aktifitas dan keberadaan kereta api di Sumatera Barat ikut terimbas, dan akhirnya kereta api tidak lagi berfungsi seperti sebelumnya.
Museum Kereta Api Sawahlunto ini diresmikan tanggal 17 Desember 2005 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, setelah sebelumnya PT Kereta Api Indonesia dan pemerintahan Kota Sawahlunto bersepakat bekerja sama memanfaatkan Stasiun Sawahlunto sebagai museum untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan destinasi wisata.
Usai menyaksikan video sejarah sekaligus poster berwarna yang melapisi dinding museum kereta api Sawahlunto, saya mulai melihat-lihat koleksi di dalamnya, yaitu di antaranya miniatur lokomotif, brankas, dongkrak rel, alat-alat sinyal atau komunikasi, label pabrik pembuatan lokomotif, timbangan, pakaian, baterai lokomotif, lonceng penjaga, serta foto dokumentasi yang tersusun sedemikian rupa yang membuat pengunjung betah berlama-lama di museum ini.
Ket: Patung Dr. J.W Ijzerman. Dok. JP.
Saya pun melanjutkan ke bagian luar di sekitar stasiun. Salah satu yang mencolok di bagian depan stasiun adalah patung Dr. J.W Ijzerman, seorang insinyur utama jawatan kereta api Belanda yang dikenal sebagai tokoh di balik pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda. Selain patung J.W Ijzerman, pengunjung bisa melihat-lihat beberapa gerbong kereta api yang dulunya digunakan mengangkut batubara. Bila tuan dan puan ke sini, tentulah gerbong kereta api tersebut menjadi salah satu spot menarik untuk selfie maupun foto bebarengan.
Masih ditemani Bang Edi dan Bung Afif, selanjutnya saya melangkah ke bagian samping kanan museum. Di sinilah saya pertama kali melihat langsung lokomotif uap dengan nomor seri E1060 buatan Maschinenfabrik di Esslingen Jerman yang familiar disebut warga setempat sebagai Mak Itam. Bang Edi menuturkan Mak Itam dalam bahasa setempat berarti paman hitam. Nama itu disematkan karena selain tubuh lokomotifnya yang legam, ada asap hitam pekat pula yang keluar dari cerobong hasil pembakaran batu bara di ruang pembakaran yang berbentuk tabung besar yang menjadi kepala lokomotif meninggalkan bekas khas di udara. Lokomotif ini dikirim ke Hindia Belanda pada 21 Oktober 1966 dan menjadi produk terakhir dari Esslingen sebelum tutup produksi.
Sebelum menetap di Sawahlunto, Mak Itam ini merupakan salah satu lokomotif tua di Museum Kereta Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah setelah purnatugas pada tahun 1988. Barulah pada tahun 2008 Mak Itam dikirim ke Sawahlunto dan kembali operasikan sebagai salah satu obyek wisata andalan Sawahlunto untuk mengenang masa keemasan industri batubara di kota kecil ini.
Mak Itam biasanya membawa wisatawan berjalan di atas rel dengan rute pendek Sawahlunto ke Muara Kalaban yang berjarak sekitar 8 Km. Rute ini digemari wisatawan karena melewati sebuah terowongan yang dikenal dengan sebutan Lubang Kalam sepanjang sekitar 800 meter.
“Mak Itam terakhir kali digunakan sebagai penarik kereta wisata ketika digelarnya lomba balap sepeda bertaraf internasional, Tour de Singkarak, dalam dua penyelenggaraan berturut-turut, yakni 2011 dan 2012,” Ujar Bang Edi memungkasi.
Ket: Lokomotif "Mak Itam" di Museum Kereta Api Sawahlunto. Dok. JP.
Goedang Ransoem
Usai melihat-lihat koleksi di Museum Kereta Api, perjalanan kami berlanjut ke Museum Goedang Ransoem yang berlokasi di Jalan Abdul Rahman Hakim, Kelurahan Air Dingin, Sawahlunto. Museum Goedang Ransoem merupakan salah satu peninggalan pemerintah kolonial Belanda ketika menjadikan Sawahlunto sebagai kota tambang penghasil batubara.
Bangunan ini dulunya digunakan sebagai tempat memasak makanan bagi ribuan kuli, termasuk orang-orang rantai, sebutan untuk narapidana dan tahanan politik yang dipekerjakan sebagai kuli penambang batu bara. Bangunan ini kemudian beralih menjadi museum yang diresmikan pada tahun 2005 oleh Jusuf Kalla dengan nama Goedang Ransoem.
Kawasan Goedang Ransoem ini terdiri dari lima bangunan. Dahulunya, bangunan utama dijadikan sebagai dapur umum. Bagian sebelah kanannya dijadikan sebagai tempat penyimpanan makanan basah. Lalu di sisi belakang terdapat tungku uap, tempat penyimpanan bahan makanan kering, dan gudang es.
Ket: Sisi belakang Goedang Ransoem, Kota Sawahlunto. Dok. JP.
Menyusuri Goedang Ransoem kami didampingi petugas museum Bang Ridho Pratama dan Bung Afif tentunya. Bang Ridho Pratama menuturkan ke pada saya bahwa dapur umum ini dibangun pada tahun 1918. Gudang ini dulunya merupakan penyokong utama dari aktivitas pertambangan batu bara di Sawahlunto untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Sawahlunto dan pekerja tambang.
Yang menarik dari koleksi Goedang Ransoem ini adalah dua gudang besar dan tungku pembakaran. Menurut Bang Ridho, aktivitas di dapur umum dulunya mampu memasak lebih dari 65 pikul atau setara dengan 3.900 kg nasi setiap harinya untuk 6.000 pekerja tambang. Bisa kita bayangkan betapa besarnya periuk (ketel) untuk tempat memasaknya. Benar saja. Periuk yang digunakan untuk menanak (memasak) nasi memiliki diameter sebesar 124-132 cm, dengan ketebalan mencapai 1,2 cm. Periuk ini juga dilengkapi dengan sistem katrol dan engkol untuk mengangkat dan menurunkan tutup raksasanya. Sembari bercakap-cakap dengan Bang Ridho dan Bung Afif, saya melihat-lihat beberapa periuk nasi berukuran raksasa itu.
Usai melihat beragam koleksi di dalam Gudang Ransoem, kami melangkah ke bagian luar belakang museum. Di sinilah saya melihat tungku uap dan batu bara sebagai bahan bakarnya. Mendapatkan penjelasan dari Bang Ridho saya menjadi tahu betapa di masa itu aktivitas memasak telah didukung teknologi tinggi.
Ket: Periuk nasi di Goedang Ransoem, Kota Sawahlunto. Dok. JP.
Dari tungku uap berukuran raksasa di Goedang Ransoem, saya melanjutkan ke bangunan di sampingnya, yaitu tempat penyimpanan bahan makanan basah, yang kini berubah fungsi menjadi Galeri Etnografi. Di ruangan ini pengunjung bisa melihat beragam identitas material kebudayaan kota Sawahlunto, seperti pakaian pengantin, lengkap dengan pelaminannya. Di sini juga ada songket Silungkang yang mendunia serta pernak-pernik seni budaya menarik lainnya.
Di belakangnya, persis di samping tungku uap terdapat sebuah bangunan yang difungsikan sebagai ruang administrasi pengelola museum Goedang Ransoem. Lalu terdapat Galeri Nominasi Warisan Dunia "Ombilin Coal Mining Haritage of Sawahlunto". Jauh sebelumnya bangunan ini dijadikan sebagai pabrik es. Sedangkan di sebelahnya terdapat Iptek Centre, sebagai wahana untuk pengetahuan dan praktek sains bagi pengunjung.
Ket: Tungku Pembakaran (Steam Generator) di Goedang Ransoem. Dok. JP.
Selain Goedang Ransoem, masih ada beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya yang sempat saya kunjungi di kota Sawahlunto. Misalnya, lubang bekas Tambang Mbah Soero, gedung PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin, dan destinasi wisata menarik lainnya. Catatan perjalan saya ke lokasi tersebut menyusul di portal ini. Semoga bermanfaat.
*Tulisan-tulisan Jumardi Putra tentang berbagai topik dapat dibaca di laman: www.jumardiputra.com
Referensi:
- Andi Asoka, dkk, (2016). Sawahlunto, Dulu, Kini dan Esok (Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya), LPTIK Universitas Andalas.
- Aulia Rahman, (2019). Moderniasi Teknologi Kereta Api di Sumatera Barat (1871-1933) dalam Siddhayatra: Jurnal Arkeologi. Vol. 24 (1), Mei 17-36.
- Erwiza Erman, (2005). Membaranya Batu Bara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat (1892-1996), Jakarta:Deswantara.
- Pamflet tentang Museum Kereta Api, Goedang Ransoem, Lubang Bekas Tambang Mbah Soero, Dinas Pariwisata Pemerintah Sawahlunto.
Editor. KJ-JP