Oleh: Jumardi Putra*
Sembilan belas tahun lalu saya mulai berkenalan dengan majalah Tebuireng. Kali pertama saya membacanya di perpustakaan pondok pesantren Tebuireng semasa kepemimpinan K.H. Yusuf Hasyim, anak bungsu dari Khadratussyaikh Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri organisasi Nahdatul Ulama sekaligus pendiri pesantren Tebuireng tahun 1899. Sungguh bahagia berada di tengah ribuan koleksi buku dari berbagai disiplin keilmuan, tak terkecuali literatur keagamaan di perpustakaan itu. Apatahlagi buku-buku masih menjadi fenomena perkotaan, tidak seperti di kampung halaman dimana saya tinggal.
Tiga hari lepas, 22 Oktober 2020, tepat memperingati Hari Santri Nasional, saya memilih membaca (lagi) majalah yang bertitimangsa pada keilmuan, keagamaan dan kemasyarakatan itu. Majalah Tebuireng, merujuk nama pesantrennya sendiri, terbit kali pertama pada April tahun 1986 dengan surat keputusan Nomor 2.4.185/I/B./YHA/iii/86, tepat 87 tahun setelah pesantren Tebuireng didirikan oleh Mbah Hasyim yang berlokasi di sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Majalah Tebuireng edisi tahun 1986 dan 1987 saya koleksi sedari dua tahun lalu dalam bentuk copian atas jasa baik sahabat saya, Asep, yang sekarang masih bersetia mengabdi di pesantren Tebuireng. Mustahil rasanya mendapatkan majalah lama tersebut dalam wujudnya yang orisinil, toh di perpustakaan Tebuireng juga terbatas. Menariknya, pada tahun 1986-1987, tertulis daerah Kualatungkal, yang berjarak 125 KM dari Ibu Kota Provinsi Jambi, sebagai salah satu cabang pemasaran majalah setebal 62 halaman itu. Tetapi saya tidak tahu pasti keberadaan tokoh cabang pemasaran itu kini, selain karena berjarak secara waktu dari sekarang maupun keberadaan individu yang bersangkutan.
Ket: Edisi perdana Majalah Tebuireng, April 1986.
Membaca majalah yang dibandrol dengan harga Rp 850 pada tahun 1986-1987 membuat suasana hati saya bercampur aduk. Bahagia karena sependek penelusuran saya, belum banyak majalah dengan konten sebagaimana pilihan majalah Tebuireng, muncul dalam waktu bersamaan dari pesantren-pesantren lain di tanah air. Justru santri dan kiai dari pesantren-pesantren, utamanya di pulau Jawa ikut menulis buah pikiran di majalah yang terbit saban bulan ini. Nama-nama kiai yang menulis di majalah Tebuireng, untuk menyebut contoh, yaitu seperti K.H. Sahal Mahfudz, K.H. Anas Thohir, K.H. Ahmad Musta’in Syafi’i, K.H. Yusuf Mashar, K.H. Ismail Nawawi, K.H. Aziz Masyhuri, K.H. Yusuf Hasyim, K.H. Masdar F. Mas’udi, dan K.H. Imam Yahya Mahrus.
Jauh sebelum kita mengenal majalah Ulumul Quran besutan Prof. Dawam Rahardjo dan Prof. Quraih Sihab, yang mengetengahkan berbagai wacana ke-Islaman dan teologis secara umum maupun spesifik (ke-Islaman), mulai dari tafsir, tauhid, fiqih, sosial-kultural, sejarah, hingga politik (bukan pengertian politik artian sempit), majalah Tebuireng sudah mulai lebih awal. Tentu saja antara keduanya memiliki perbedaan baik ruang lingkup maupun sasaran pembaca.
Muatan gagasan di dalam majalah Tebuireng tidak saja merespon isu-isu aktual, krusial dan kontroversial seputar realitas umat Islam, tantangan institusi pendidikan Islam, peran negara dan penguatan sumber daya umat, ulama dan regenerasi intelektual islam, modernitas dan capaian dramatis dunia teknologi beserta eksesnya, tetapi juga menganggit soal keagamaan dalam pengertian formal, dan satu lagi, yang menjadi andalan, yakni majalah Tebuireng sengaja dikemas sebagai ruang ilmu dan diskursus pemikiran keislaman.
Di luar soal desain dan format majalah, satu hal yang menjadi tolak ukur sebuah media literasi yaitu penulis bersama gagasannya. Dalam edisi majalah Tebuireng tahun 1986-1987, saya menemukan penulis-penulis hebat pada masanya dan bahkan hingga sekarang masih aktif menulis di media cetak maupun online , meski mereka sudah uzur selain yang sudah wafat tentunya, untuk menyebut contoh, seperti Prof. Mukti Ali, Prof. Sartono Kartodirjo, Prof. Syafii Maarif, Prof. Kuntowijo, Prof. Amin Rais, Prof Fuad Hasan, Dr. Nucholis Madjid , Prof. Dawam Rahardjo, Prof. Rachmat Tjatmika, Maqsudi Aziz, Bagong Suyanto, Dr. Hidayat Nataatmadja, Prof. Baroroh Baried, Prof. Noeng Muhadjir, Prof. Munawir Sjadzali, Prof. Harun Nastion, Prof. Damarjati Supadjar, En Jacob Ereste (perupa), Prof. Fazlurrahman (terjemahan), Dr. Yusuf Qardawi (terjemahan), Prof. Ali Yaqub Mustofa, Samsurizal Panggabean, Taufik Adnan Amal, Hasyim Abbas, Prof. Juwono Saudarsono, Prof. Maftukhah Yusuf, Peter Ngunjiri, Prof. Mubyarto, Dr. Loekman Sutrisno, Prof. T. Jacob, dan Prof. Mochtar Masoed.
Tulisan-tulisan dari nama-nama intelektual beken tersebut sesuai dengan kepakarannya termaktub di dalam edisi majalah Tebuireng tahun 1986 dan 1987. Satu hal yang bisa saya petik dari tulisan-tulisan mereka, pembaca akan diajak bertamasya mengenali pikiran-pikiran dari intelektual masyhur baik dari dalam maupun luar negeri di masa itu. Apa saja isi setiap edisi majalah Tebuireng pada tahun 1986 dan 1987? Tidak dalam kesempatan ini saya bentangkan.
Selanjutnya majalah Tebuireng juga menyajikan laporan utama (dan ditulis panjang), mengabarkan kegiatan internal pesantren, hasil bahsul masail, kabar politik luar negeri, profil tokoh dan timbangan buku, dan memberi tempat bagi puisi. Tersebut penyair yang mengabadikan puisi-puisinya di majalah Tebuireng, untuk menyebut contoh, seperti Emha Ainun Nadjid alias Cak Nun, Jamal D. Rahman, Isbedy Stiawan ZS, dan Hamdy Salad. Bahkan WS Rendra pernah diundang ke Tebuireng pada tahun 1977, jauh sebelum majalah Tebuireng lahir. Di situ terlihat jelas, Tebuireng sebagai pesantren tidak alergi terhadap karya sastra maupun kebudayaaan secara umum. Bahkan, edisi Majalah Tebuireng Januari tahun 1987 memuat khusus laporan utama sekaligus pandangan seputar kaitan Islam dan kesenian.
Capaian majalah Tebuireng, sebagaimana terpapar di atas, tentu tidak bisa dilepaskan dari sosok yang bekerja di balik layar. Di jajaran redaksi majalah Tebuireng terdapat nama-nama seperti KH. Syamsuri Baidawi dan K.H. Yusuf Hasyim sebagai Dewan Penasehat. Sementara Pemimpin Redaksi yaitu Mohammad Luqman Hakim dan redaktur pelaksana terdiri dari Wahyudin Ghozali, Milyas Siraj, Moedzakir Soelsaf, Latifah Fajriyah dan Ismiati Rifa'i.
Menariknya lagi, pada jajaran staf ahli terdapat nama-nama seperti H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur); H. Mahbub Djunaidi; Abdullah Sarwani; H. Tolchah Hasan; dan Mufid A. Busyairi. Nama-nama tersebut saya ketahui sebagai pemikir sekaligus penulis keren pada masanya. Saya pikir, muatan gagasan dalam majalah Tebuireng tidak lepas dari campur tangan dingin mereka.
Bangkit dari Tidur Panjang
2007 menandai titik balik majalah Tebuireng. Setelah lama tidur sejak 1987, majalah Tebuireng terlahir kembali dalam formatnya yang baru. K.H. Salahuddin Wahid alias Gus Solah adalah sosok penting di balik kelahiran majalah Tebuireng.
Kiai yang produktif menulis artikel di koran-koran nasional ini memberikan semangat baru bagi dunia jurnalistik di kalangan santri Tebuireng sejak dirinya dipercaya mengasuh pesantren Tebuireng usai pamannya, K. H. Yusuf Hasyim wafat.
Muncul kesadaran bahwa santri mesti menulis bila tidak ingin tertinggal dan terlindas oleh zaman, seperti hal itu menjadi alasan mendasar lahirnya majalah Tebuireng pada tahun 1986, seperti ditulis oleh K.H. Yusuf Hasyim pada edisi perdana, April 1986, yaitu “salah satu kelemahan kaum pesantren adalah bidang bahasa tulisan, yang sementara berlaku bahasa lisan. Apabila hal ini tidak segera dibenahi secara serempak maka transfer keilmuan dan keagamaan kaum pesantren akan tertinggal jauh dalam perubahan masyarakat yang melaju cepat. Sehingga pada waktunya, justru akan mengalami alienasi (keterasingan) di tengah pergumulan sejarah dan modernitas”.
Lewat unit penerbitan yang didirikan Gus Solah tidak segan turun langsung bersama santri-santri membangkitkan batang terendam yaitu tumbuhnya tradisi pemikiran ulama Islam, seperti yang dicontohkan oleh Mahaguru K.H. Hasyim Asya’ari, selain bertungkus lumus mengelola pesantren Tebuireng, terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan RI, juga produktif menulis di media pada masanya seperti majalah Soeara Moeslimin Indonesia (majalah milik Masyumi), Berita NO, Soeloeh NO, Swara NO, dan bahkan menulis karya monumental, antara lain Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan, An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin, Ziyadatut Ta’liqot, At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti, dan Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah.
*Penulis adalah alumni pesantren Tebuireng. Kini bekerja dan tinggal di kota Jambi. Tulisan-tulisanya dapat dibaca di laman www.jumardiputra.com
Editor. KJ-JP