Oleh: Manuel Kaisiepo*
Profesor Amy Lynn Chua adalah gambaran sosok keturunan migran yang sukses di Amerika. Tapi bukan sukses secara ekonomi seperti umumnya migran dari China, punya bisnis, atau jadi konglomerat. Amy lebih dikenal sebagai ilmuwan sosial kritis.
Lulus cum laude dari Harvard Law School, dan kini profesor di Yale Law School, Amy telah menjadi salah satu ilmuwan sosial yang pemikiran dan karya-karya diakui dunia.
Tentu dia bukan keturunan migran Asia pertama yang sukses dalam bidang itu. Kita mengenal, misalnya, sosok Yoshihiro Francis Fukuyama, ilmuwan sosial keturunan Jepang, yang kesohor lewat berbagai karyanya, terutama The End of History And The Last Man (1992); Trust (1995); dan yang terbaru, Identity: The Demand For Dignity And The Politics of Resentment (Oktober 2018).
Pada 2011, Amy dinobatkan majalah Time sebagai satu dari "100 tokoh paling berpengaruh"; The Atlantic menyebutnya salah satu "Brave Thinkers"; dan jurnal berwibawa Foreign Policy menobatkannya sebagai satu dari "Global Thinkers".
"Ugly Kid"
Kedua orang tua Amy adalah keturunan China di Filipina sebelum bermigrasi ke Amerika sesudah Perang Dunia II. Amy lahir di Amerika 26 Oktober 1962. Sejak kecil dia berbahasa Hokien selain bahasa Inggris. Dia mengenang masa kecilnya yang sulit saat beradaptasi dengan kehidupan di Amerika.
Dia menjuluki dirinya sendiri "ugly kid" pada masa awal sekolahnya, ketika dia sering di-bully karena logatnya yang asing, dan sering mengalami hinaan rasial dari teman-teman kelasnya. Tapi terbukti, Amy lulus SD dan SMP dengan prestasi bagus, bahkan lulus magna cum laude dari El Cerrito High School, sebelum diterima di Harvard dan juga lulus cum laude tahun 1987.
Amy Chua menikah dengan Jed Rubenfield, juga profesor di Yale Law School. Mereka memiliki dua putri cantik, Sophia dan Louisa "Lulu". Seperti orang tua mereka, Sophia lulus dari Yale, dan Lulu lulusan Harvard.
Ket: Salah satu karya Amy Chua (03/09/19).
Kecemerlangan intelektual Amy yang sudah tampak sejak di sekolah menengah dan bangku kuliah, semakin menonjol setelah dia mengajar di Yale. Dari sanalah lahirlah karya pertamanya yang fenomenal, World On Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred And Global Instability (2003).
Buku ini oleh The Economist ditetapkan sebagai salah satu "Best Books of 2003"; dan oleh Tony Giddens di The Guardian disebut sebagai salah satu "Top Political Reads of 2003". Selain buku-buku serius lainnya, Amy juga juga menulis semacam memoar parenting-nya, Battle Hymn Of The Tiger Mother (2011), yang kemudian menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Tapi tentu bagi pembaca yang mengikuti karya-karyanya, termasuk kita di Indonesia, buku terbarunya, Political Tribes (2018) barangkali memang paling menarik karena mengulas kecenderungan "tribalisme" dalam realita politik masa kini di dunia (Amerika era Trump), dan tampaknya juga terjadi di sini.
* Intelektual Publik. Dalam masa kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pendek, Manuel Kasiepo diangkat menjadi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Editor. KJ-JP