Oleh: Jon Afrizal*
Hutan belantara, bagi banyak orang adalah sesuatu yang menakutkan. Banyak cerita tentang binatang buas yang memangsa manusia serta penuh dengan sesuatu yang tidak terlihat dan terjamah, seperti makhluk halus dan sejenisnya. Tetapi tidak bagi warga Desa Kapas Tengah. Desa ini telah ada sejak tahun '60-an. Kala era kegiatan berbalok atau logging dimulai di perbatasan Provinsi Jambi - Sumatera Selatan, kini.
"Orangtua kami, sepasang suami-isteri, telah memulai kehidupan di sini, dan kini adalah keturunan yang ke-empat," kata Muhammad Zainuddin (73), seorang tetua Desa, awal Juni lalu.
Menurut Mat Serampang, nama panggilannya, kedua orangtua mereka yang bernama Somad dan Uning itu membuka kebun atau "talang" dalam bahasa mereka. Keduanya berasal dari daerah Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.
Mereka datang dengan menggunakan perahu kecil. Menyusuri Sungai Batanghari Leko menuju Sungai Kapas, yang kini berada di areal restorasi ekosistem (RE) Hutan Harapan.
Di tepian sungai itulah Desa ini berada. Saat ini, terdapat 13 unit rumah, yang berisi 13 Kepala Keluarga (KK) dengan 76 jiwa.
Luas lahan yang mereka garap seluas 60 hektare. Mereka tanami dengan tumbuhan karet, durian dan sayuran. Setiap KK maksimal memiliki 10 hektare lahan kebun karet. Tetapi, pohon-pohon karet milik mereka adalah karet yang sudah tua. Sehingga per minggunya mereka hanya mendapatkan uang senilai Rp 1 juta dari menyadap getah karet.
Jika dikalkulasikan, memang mereka menghasilkan uang Rp 4 juta per bulan. Tetapi, itu jika hari selalu panas. Jika hujan sering turun, mereka mungkin saja hanya mendapatkan uang senilai Rp 2 juta per bulan.
Secara demografi, Desa ini termasuk ke dalam Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Secara kekerabatan pun mereka lebih dekat dengan Desa-desa di kabupaten itu, seperti Desa Soko Suban, misalnya. Sehingga, meskipun kini telah ada jalur darat menuju Desa Sungai Bahar Kabupaten Muarajambi Provinsi Jambi yang hanya sekitar dua jam perjalanan, tetapi mereka masih tetap memilih meng-hilir menggunakan perahu kecil bermesin menuju Desa Soko Suban dengan jarak tempuh sekitar empat jam.
"Anak-anak kami pun bersekolah di sana," katanya.
Sekitar 10 orang anak usia sekolah SD dan SMP menuntut ilmu di sana. Itu bukan perkara mudah bagi mereka. Sebab dibutuhkan biaya sekitar Rp 1,5 juta per bulan untuk setiap anak.
Selain itu, untuk kebutuhan hidup seperti beras pun harus mereka beli di sana. Bahkan, untuk berobat medis pun mereka lakukan di sana.
"Kami sudah terbiasa dengan menggunakan perahu kecil, dan keluarga kami pun banyak di sana," katanya.
Perahu kecil itu mereka buat sendiri dengan menggunakan kayu jenis medang. Sedangkan untuk men-dempul pertemuan antara dua bilah kayu, mereka menggunakan getah damar yang berasal dari hutan.
Sedangkan untuk mesin perahu ukuran 17 pk, mereka beli seharga Rp 4 juta. Untuk bahan bakar minyak, mereka suling sendiri. Perahu kecil bermesin ini biasa disebut "ketek".
Tak jauh dari Desa itu, yakni di daerah bernama "Manggul", terdapat galian minyak peninggalan pemerintah Belanda. Beberapa sumur yang masih aktif itu lalu diolah untuk bahan bakar bagi perahu bermesin mereka. Selain itu, juga dimanfaatkan untuk generator set (genset) yang berfungsi untuk mengalirkan arus listrik ke bohlam-bohlam lampu di rumah pada malam hari.
Sumber minyak mentah itulah yang membuat mereka kelabakan. Banyak orang yang berasal dari luar datang untuk mendapatkan minyak mentah itu.
"Sebulan terakhir ini telah ditertibkan. Mereka tidak berani datang kemari lagi," kata Anis, warga Desa yang lainnya.
Hidup di tengah hutan belantara lengkap dengan berbagai tata cara kehidupannya menjadi cerita unik bagi mereka yang berada di Desa atau kota. Cerita tentang Harimau Sumatera yang menjaga Desa mereka bukan bualan semata.
"Jika ada warga Desa yang akan meninggal dunia, maka individu harimau akan memberi tanda seperti suara tangisan. Dan itu masih berlaku hingga kini," katanya. Begitu juga, jika mereka sedang mencari hasil hutan yang dikenal dengan istilah "mandah", harimau pun akan mengikuti dan menjaga mereka dari ancaman hewan buas lainnya.
Sebagai bentuk penghargaan dari mereka untuk individu harimau, mereka pun bersumpah untuk tidak membantu siapa pun yang akan berburu harimau. Sumpah yang telah dipegang sejak keturunan awal mereka memasuki kawasan ini, dan berlaku hingga kapan pun.
Dan, tidak ada satu warga Desa pun yang berniat atau berani melanggarnya. Jika mereka melanggar sumpah itu, mereka akan terkena "balak" atau kesusahan seumur hidupnya.
"Hidup di tengah hutan belantara harus saling menghargai, baik terhadap manusia maupun satwa yang ada di sini," katanya.
Cerita tentang pohon-pohon kualitas ekspor yang berdiameter sekitar tiga hingga enam pelukan manusia menjadi tujuan hidup mereka kini. Sebab, di sekitar mereka kini hanya berupa pohon-pohon yang berusia sekitar 10 tahun saja.
"Hawa sejuk karena pohon besar yang merindangi kawasan ini pada masa awal kegiatan logging dulu, kini harus dikembalikan lagi," katanya.
Direktur Operasional Hutan Harapan, Adam Aziz, mengatakan terkait persoalan minyak mentah, hanya boleh digunakan oleh warga Desa untuk konsumsi rumah tangga saja. Jika mereka menjualnya kepada pihak luar, tentunya bertentangan dengan tujuan dari restorasi ekosistem itu sendiri.
"Mereka telah ada di sana sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai areal restorasi ekosistem. Tentu saja ada pengecualian, yang tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Tetpi, katanya, pihaknya akan terus memberikan bibit-bibit tumbuhan yang bisa mereka tanam. Seperti bibit durian, petai dan jengkol. Selain bernilai ekonomis, pohon-pohon itu dapat menjadi kanopi bagi desa mereka.
Areal restorasi ekosistem yang terbentang di Provinsi Jambi (52.170 hektare) dan Sumatera Selatan (46.385 hektare) ditetapkan sebagai areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut–II/2005. Areal restorasi ekosistem Hutan Harapan seluas 101.355 hektare ini adalah Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi. *
*Jurnalis TheJakartaPost dan anggota Majelis Etik (ME) AJI Kota Jambi
*Keterangan photo : Sungai Kapas adalah sungai yang biasa digunakan warga Desa Kapas Tengah untuk menuju ke hilir, yakni Sungai Batanghari Leko dengan menggunakan perahu kecil bermesin atau "ketek". Mereka terbiasa untuk berhubungan dengan daerah-daerah di Kabupaten Musi Banyuasin, karena ada ikatan kekerabatan antar mereka dengan penduduk di sana. (credit tittle : Jon Afrizal
Editor. KJ-JP