beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda JEJAK berita


Jumat, 25 Oktober 2019, 10:06 WIB

Situs Siulak Tenang: Titik Pertemuan Budaya Leluhur Austronesia

JEJAK

Peta rute migrasi penutur Austronesia. Sumber: Simanjuntak, 2017: 204.

Oleh: H.H. Sunliensyar*

Austronesia pada awalnya merujuk rumpun kelompok bahasa dengan persebaran yang cukup luas di di dunia. Penutur bahasa ini diperkirakan menyebar dari Kepulauan Madagaskar di sebelah Barat hingga kepulauan paskah di sebelah timur dan dari Taiwan di sebelah utara hingga ke wilayah Selendia Baru di Selatan. Namun kemudian, istilah ini diperluas untuk merujuk kepada komunitas yang menuturkan bahasa tersebut beserta budaya yang mereka hasilkan.

Sebaran penutur yang luas, hampir separuh dunia, membuat para ahli bertanya-tanya tentang dari manakah asal usul mereka. Berbagai teori dirumuskan untuk menjawab permasalahan ini. Robert Blust (1984-1985) misalnya, seorang ahli linguistik, dengan menggunakan pendekatan linguistik berpendapat bahwa leluhur penutur Austronesia berasal dari sekitar Pulau Taiwan (Formosa)  yang berekspansi  sejak 4500 tahun sebelum Masehi (Simanjuntak, 2017).

Pendapat Blust ini kemudian diperkuat lagi oleh Peter Bellwood dengan menggunakan data arkeologis meskipun ada perbedaan terkait waktu terjadinya ekspansi. Menurut Bellwood, ekspansi ini terjadi 2000-2500 tahun sebelum masehi. Tampaknya pendapat mereka yang belakangan dikenal sebagai teori out of Taiwan adalah yang paling banyak diterima kalangan dan mendapat dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan.

Secara arkeologis, leluhur penutur Austronesia dipercaya membawa paket budaya neolitik ke wilayah yang ditempatinya baik berupa budaya material maupun nonmaterial, seperti sistem pengetahuan, pertanian, pola hunian dan sebagainya. Dalam bentuk budaya bendawi misalnya, sisa-sisa tinggalan leluhur Austronesia yang dijumpai berupa gerabah atau tembikar dengan ciri berslip merah, atau berhias tera tali, dan alat batu yang telah diupam (dihaluskan permukaannya), seperti belincung dan beliung persegi (lihat Bellwood, 2000; Fauzi, 2016). Sehingga bila pada suatu situs arkeologi ditemukan artefak dengan ciri tersebut dapat diduga merupakan jejak dari penutur Austronesia di masa lalu.

Lebih lanjut, dalam teorinya, Bellwood berpendapat bahwa hanya ada satu jalur yang ditempuh oleh leluhur penutur Austronesia saat berekspansi. Mula-mula mereka bergerak dari Taiwan ke Filipina kemudian menuju Sulawesi. Dari Sulawesi mereka kemudian terpecah, sebagian ke arah Barat menuju Kalimantan, Sumatra dan Jawa (Bellwood, 2000; Wiradyana, 2015).

Sebagian lagi ke arah Timur ke Maluku hingga ke Kepulauan Pasifik. Model jalur migrasi yang dikemukakan Bellwood ini didukung pula oleh hasil pertanggalan di situs-situs arkeologi. Situs-situs “Austronesia” di Sulawesi (Kalumpang dan Minanga Sipakko) memiliki usia lebih tua dibandingkan yang berada di luar Sulawesi.

Menariknya pula, alur migrasi yang terpisah di Sulawesi memiliki kaitan dengan sebaran dua jenis tembikar yang dihasilkan oleh mereka (Simanjuntak, 2015: 32; Wiradyana, 2015: 29-30). Tembikar berslip merah menyebar di Taiwan, Filipina dan Indonesia Bagian Timur sementara tembikar hias tali menyebar di China-Taiwan-Asia Tenggara Daratan-Sumatra dan Jawa.

Akan tetapi, asumsi bahwa hanya ada satu jalur yang ditempuh oleh leluhur Austronesia saat bermigrasi ke arah Selatan mendapat sanggahan dari banyak kalangan berdasarkan temuan arkeologi  terbaru. Wiradyana, dalam artikelnya memaparkan adanya indikasi jalur lain yang ditempuh oleh penutur Austronesia, jalur ini tidak melewati Filipina dan Sulawesi. Pasalnya, situs Loyang Mendale, situs Loyang Pukes yang berkaitan dengan komunitas Austronesia di Aceh memiliki pertanggalan yang setara dengan situs-situs Austronesia terawal yang ada di Sulawesi (ca. 3500 BP). Selain di Aceh, situs neolitik yang pertanggalannya hampir setara dengan situs neolitik tertua di Sulawesi adalah situs Bukit Arat di Jambi, situs Bawah Parit di Sumatra Barat dan situs Gua Harimau, Sumatra Selatan (Fauzi, 2016).

Berdasarkan bukti-bukti tersebut muncullah model baru yang diajukan oleh Simanjuntak (2017) tentang adanya rute migrasi Bagian Barat yang dilalui oleh leluhur penutur Austronesia. Mereka mula-mula beranjak dari Asia Tenggara Daratan melewati Semenanjung Melayu dan bergerak terus ke Selatan hingga ke Sumatra dan Kalimantan.

Gambar 1. Peta rute migrasi penutur Austronesia. Sumber: Simanjuntak, 2017: 204

Jambi tampaknya menyimpan bukti penting terkait dengan dua jalur migrasi ini sekaligus menjadi tempat pertemuan budaya antara dua leluhur penutur Austronesia yang melewati rute timur dan rute barat. Adalah temuan di situs kubur Tempayan Siulak Tenang yang menjadi buktinya.

Situs ini berada kawasan Baratlaut Lembah Kerinci, tepatnya kompleks SMA 12 Kerinci di Desa Siulak Tenang, Kec. Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci. Keberadaan situs ini diketahui berdasarkan laporan penemuan pecahan gerabah  oleh para siswa pada tahun 2010.  Laporan tersebut langsung ditindaklanjuti oleh pihak Balai Arkeologi Sumatra Selatan dengan melakukan penelitian di sana pada tahun 2013 dan 2015 (Budisantosa, 2014).

Berdasarkan analisis radiokarbon dari arang yang ditemukan dalam kotak ekskavasi, diketahui bahwa situs Kubur Tempayan ini  muncul sekitar tahun 672-300 Sebelum Masehi (SM)  atau 156-76 SM (Budisantosa, 2015: 8).  Lebih tua dibandingkan situs kubur tempayan lain di kawasan Kerinci. Berdasarkan ciri penguburan tempayan dan ciri tembikar yang ditemukan, diketahui pula bahwa situs ini berkaitan dengan jejak-jejak Austronesia di Sumatra.

 

Gambar 2. Salah satu kotak ekskvasi di situs Kubur Tempayan Siulak Tenang, Kerinci. Sumber: Budisantosa, 2015: 5

Menariknya lagi, di situs ini  juga ditemukan dua jenis tembikar berbeda yakni berslip merah dan bermotif tera tali dalam lapisan budaya yang sama (Fauzi, 2016: 82-83). Sebagaimana paparan sebelumnya, asumsi yang berkembang selama ini menyatakan bahwa tembikar berslip merah hanya tersebar di kawasan Timur Indonesia.

Budaya material ini dikembangkan oleh komunitas awal Austronesia yang menuju arah timur dari Sulawesi. sementara Tembikar motif tera tali tersebar hanya dibagian kawasan Barat Indonesia dan dibawa oleh komunitas Austronesia yang menuju ke arah Barat (Simanjuntak, 32: 2015). Oleh sebab itu, situs Siulak Tenang menjadi bukti kuat bahwa kawasan Lembah Kerinci terutama di situs Siulak Tenang menjadi salah satu titik penting pertemuan budaya dari dua komunitas awal Austronesia yang berbeda.

Gambar 3. Tembikar tera tali dan berslip merah dari Situs Siulak Tenang, Siulak, Kerinci. Sumber: M. Ruly Fauzi, 2016: 82.

Mereka yang melewati rute bagian Barat menuju Sumatra dan terus bergerak ke wilayah pegunungan di Bagian Barat dan akhirnya sampai ke Dataran subur Lembah Kerinci. Begitu pula yang melewati rute Timur, dari  Filipina atau dari Sulawesi mereka menuju Kalimantan dan seterusnya ke Sumatra hingga sampai ke Lembah Kerinci.

Keberadaan adanya pemukim Austronesia terawal di Lembah Kerinci juga ditandai dengan kegiatan pertanian padi dan pengembalaan kerbau. Penelitian terbaru oleh Setyaningsih dkk. (2019) menunjukkan adanya aktivitas pertanian padi di Lembah Kerinci yang terjadi sekitar 2500 tahun yang lalu, sezaman dengan situs Kubur Tempayan di Siulak Tenang. Hal ini berdasarkan adanya peningkatan temuan Pollen Poaceae yang sampelnya di ambil dari kawasan Danau Bento, area lahan basah di utara Lembah Kerinci.

Meskipun situs Siulak Tenang merupakan salah satu situs penting di Indonesia yang terkait dengan migrasi Austronesia, penelitian pada situs ini terhenti begitu saja di tahun 2014. Keberadaan situs Siulak Tenang seolah-olah hilang dari ingatan para ahli dan masyarakat. Begitu pula dengan perhatian pemerintah setempat, keberadaan situs ini diacuhkan begitu saja, bahkan belum ditetapkan sebagai situs cagar budaya penting di Jambi sesuai dengan amanat UU No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.  Padahal lokasinya yang berada di areal persekolahan membuat situs ini rentan mengalami kerusakan akibat pembangunan. Kini, lima tahun telah berlalu, besar harapan agar penelitian terhadap situs Siulak Tenang kembali menggeliat dan pemerintah setempat segera menetapkannya sebagai situs cagar budaya.

 

*H.H. Sunliensyar, Alumnus S2 arkeologi UGM dan anggota MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara. Beberapa tulisannya terkait dengan arkeologi dan naskah kuno dimuat di dalam jurnal-jurnal nasional. Tulisan populernya dapat dibaca di Kompasiana.

 

Referensi:

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Indo-Malaysia, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama;

Budisantosa, Tri Marhaeni S. 2014. Laporan Penelitian Hubungan Antara Kubur Tempayan dan Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kepercayaan di Situs Siulak Tenang, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Balai Arkeologi Palembang (tidak diterbitkan)

..............., 2015. “Kubur Tempayan di Siulak Tenang, Dataran Tinggi Jambi Dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Kepercayaan”. Forum Arkeologi 28 (1): 1-10

Fauzi, Muhammad Ruly. 2016. Paket Neolitik di Pedalam Sumatera Bagian Selatan dalam Jejak-Jejak Migrasi Austronesia di Indonesia: Tribute  untuk Prof. Dr. Truman Simanjuntak, ed. Harry Widianto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Setyaningsih, Christina dkk, 2019. "First Palaeoecological Evidence of Buffalo Husbandry and Rice Cultivation in the Kerinci Seblat National Park in Sumatra, Indonesia". Journal of vegetation history and archaeobotany, pp. 1-16

Simanjuntak, Truman. 2015. Progres Penelitian Austronesia di Nusantara. Amerta 33 (1), hlm. 1-76

Simanjuntak, Truman. 2017. The Western Route Migration: A Second Probable Neolithic Diffusion to Indonesia, dalam New Perspectives in Southeast Asian and Pacific Prehistory, eds. Philip J. Piper dkk, hlm.201-2012. Canberra : Anu Press

Wiradyana, Ketut. 2015. Budaya Austronesia di Indonesia Bagian Barat dalam Kaitannya dengan Migrasi Out of Taiwan. Sangkhakala Berkala Arkeologi 18 (1), hlm 22-39

Editor. KJ-JP

TAGAR: #Austronesia #migrasi budaya#Tempayan Siulak Tenang#Kerinci

indeks berita Jejak
JEJAK Sabtu, 12 Juni 2021, 11:16WIB
Menapaki Kota Tua Tambang Batubara Sawahlunto

Oleh: Jumardi Putra* Hari elok ketiko baik, begitu bunyi penggalan seloko Jambi. Jumat, 10 Desember 2020 adalah hari baik (kalau bukan istimewa) buat saya karena kali pertama menginjakkan kaki sekaligus......