beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda PERSPEKTIF berita


Jumat, 14 November 2025, 10:31 WIB

"Gelar Pahlawan Soeharto: Reinventing Indonesia dan Kekerasan sebagai Virtue"

PERSPEKTIF

"Gelar Pahlawan Soeharto: Reinventing Indonesia dan Kekerasan sebagai Virtue"

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo, Peneliti Independen

Seperti sudah diduga Presiden Prabowo Subianto tidak menggubris surat yang ditandatangani oleh ratusan tokoh dan akademisi yang memintanya untuk tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada Suharto. Bagi Prabowo pemberian gelar pahlawan kepada seniornya dalam dunia militer adalah wujud dari apresiasi terhadap generasi pendahulu yang telah memberi teladan tentang heroisme dan patriotisme. Tapi lebih dari itu pemberian gelar itu adalah manifestasi dari keyakinannya bahwa kekerasan adalah sebuah public virtue (kebajikan publik).

Nama kedua Prabowo, Subianto diambil dari nama salah satu pamannya yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan melawan Belanda. Prabowo Subianto adalah anak kandung heroisme dan patriotisme. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo adalah direktur pertama Bank Indonesia, pendiri Parindra (Partai Indonesia Raya). Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, adalah doktor ekonomi lulusan Universitas Roterdam Belanda, tokoh Partai Sosialis Indonesia, yang menjadi pelarian politik setelah gerakan PRRI/Permesta yang didukungnya gagal dan ditumpas TNI di bawah Jendral Nasution. Prabowo menghabiskan masa kecilnya di luar negeri sebelum kembali ke Indonesia dan memilih karir sebagai tentara dengan masuk Akabri di Magelang.

Ketika masih berpangkat Kapten (1983) di Kopassus, pasukan elit TNI, Prabowo menikah dengan anak perempuan Suharto, Siti Hediati, alumni FE-UI, tempat Sumitro pernah menjadi dekan sebelum melarikan diri, dan sempat mengirim Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana dan Emil Salim dengan beasiswa Ford Foundation ke Universitas Berkeley di Amerika Serikat. Sebagai menantu Presiden Suharto bisa dimengerti jika karirnya di dunia militer meroket. Prabowo bisa dilihat rekam jejaknya di wilayah-wilayah konflik yang pada masa Orde Baru dijadikan sebagai DOM (Daerah Operasi Militer) seperti Timor Timur, Papua dan Aceh.  Dunia militer dimana kekuatan, kekerasan, disiplin dan loyalitas menjadi ruh meresap dalam dirinya.

Ketika politik berkecamuk dan krisis ekonomi tak teratasi lagi memaksa Suharto harus lengser, Prabowo yang saat itu sudah berpangkat Letnan Jendral dan menjabat sebagai Panglima Kostrad, sebuah jabatan yang dipegang oleh mertuanya saat menghabisi PKI tahun 1965, bersama kolega terdekatnya di dunia militer Sjafrie Sjamsoeddin Panglima Kodam Jaya (DKI Jakarta) waktu itu: melakukan operasi militer yang kemudian dianggap ilegal dan melanggar HAM, dengan tujuan untuk menggagalkan upaya-upaya dari berbagai elemen masyarakat yang hendak menurunkan Suharto. Pasca turunnya Suharto dalam masa kepresidenan B.J. Habibie, Prabowo diberhentikan sebagai militer, oleh atasannya saat itu Jendral Wiranto. Prabowo juga bercerai dengan istrinya dan kemudian memilih hidup diluar negeri, berbisnis bersama adiknya Hasyim Djojohadikusumo.

Setelah kembali ke Indonesia semasa pemerintahan Megawati pada 2002 Prabowo mendirikan Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), kemungkinan diinspirasi oleh partai yang didirikan kakeknya, Parindra (Partai Indonesia Raya), pada masa pergerakan nasional. Dari sini jelas Prabowo tidak seperti pendiri partai-partai lain yang bertebaran saat reformasi, Prabowo punya legacy dari kakeknya Margono Djojohadikusumo, di samping tentu saja dari ayahnya sendiri, Sumitro Djojohadikusumo, seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Prabowo punya mimpi besar tentang Indonesia Raya.

Untuk meraih mimpinya inilah Prabowo terus berusaha meraih kekuasaan tertinggi yang sejak reformasi harus ditempuh melalui pemilu setiap lima tahun sekali. Dari rekam jejaknya, Prabowo hampir selalu kalah dalam perebutan kekuasaan melalui Pemilu, sampai akhirnya, melalui pemilu yang kontroversial pada tahun 2024 berhasil menang dengan dukungan dari Presiden Jokowi yang menjadikan anaknya, Gibran Rakabuming Raja, sebagai wakilnya.  Saat ini kekuasaan ada dalam tangan Prabowo, apapun yang diinginkannya tak ada yang bisa merintanginya.

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Jendral Suharto, bekas mertua dan seniornya di dunia militer meskipun ditentang banyak orang tidak digubrisnya. Baginya pemberian gelar pahlawan kepada Suharto tidak saja menunjukkan penghargaan kepada bekas atasannya, tetapi lebih dari itu adalah kekuatan legacy dari Suharto sebagai seorang presiden sekaligus pemimpin militer yang memiliki ketegasan dalam menjalankan kekuasaan dengan tangan besi, dengan jalan kekerasan. Di sinilah kekerasan dilihat oleh Prabowo sebagai sebuah virtue (kebajikan). Kekerasan sebagai sebuah nilai yang patut dijunjung tinggi karena di tangan Suharto telah dianggap membawa kemaslahatan publik. Di tangan Suharto kekerasan yang dilakukan terhadap ribuan orang yang dianggap PKI adalah sebuah kebajikan bukan pelanggaran HAM.

Kekerasan dan kekejaman yang dilakukan di bawah perintah Suharto pada tahun 1965 dan selama Orde Baru dilakukannya untuk kepentingan bangsa dan negara yang layak diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional. Prabowo seperti Suharto adalah orang yang meniti karirnya di dunia militer. Meskipun sebagai presiden dia tunduk pada aturan-aturan yang ada di dunia sipil yang dasarnya adalah prinsip-prinsip demokrasi, namun dengan kekuasaannya sudah terlihat kebijakan-kebijakan yang ingin mengembalikan supremasi militer dalam dunia sipil.

Apakah akan ada resistensi dari kalangan sipil terhadap ekspansi militer ke ranah sipil? Sejauh yang bisa diamati tampaknya resistensi itu tidak terjadi, jika toh ada justru penolakan itu berupa surat permohonan kepada Presiden Prabowo yang ditandatangani sekitar 300 akademisi dan tokoh masyarakat untuk tidak mempahlawankan Suharto. Meminta Presiden Prabowo untuk tidak mempahlawankan Suharto adalah permintaan yang absurd karena kita sesungguhnya sudah bisa memastikan bahwa Presiden Prabowo adalah orang yang paling berkepentingan untuk menjadikan Jendral Suharto, role model-nya dalam dunia militer, sebagai pahlawan nasional. Di luar mereka yang menolak tampaknya hampir semua partai politik kecuali beberapa politisi dari Partai Demokrasi Indonesia -Perjuangan (PDI-P) seperti Bonnie Triana, hampir semuanya diam, yang bisa ditafsirkan sebagai tidak menolak.

Gejala kekerasan sebagai virtue bisa dilihat di Amerika Serikat dengan kemenangan Donald Trump untuk kedua kalinya sebagai Presiden melalui pemilu yang secara teoretis demokratis karena dilakukan di negeri yang terkenal sebagai pengekspor demokrasi ke seluruh pelosok dunia, termasuk ke Indonesia. Menjelang akhir masa kepresidenannya yang pertama Trump melihat kemungkinan kekalahan dalam pemilihan melawan Joe Biden, calon wakil partai demokrat, Trump ditengarai melakukan agitasi kepada pendukungnya untuk menyerang Gedung Parlemen (Capitol Hill) di Washington DC. Peristiwa kekerasan yang terjadi pada tanggal 6 Januari 2021 itu jelas mencoreng demokrasi di negeri kampiun demokrasi itu. Para perusuh itu kemudian dihukum dan sebagian dipenjara. Tapi yang menarik, ketika Donald Trump terpilih kembali sebagai presiden dalam pemilu 2024, melalui hak prerogatifnya, para perusuh yang terkena hukuman penjara itu dibebaskan, dan diampuni kesalahannya.

Belum lama ini Donald Trump mengembalikan nama Department of Defemse sebagai Department of War, seperti namanya semula sebelum Perang Dunia II. Trump juga mengerahkan tentara federal untuk menghadapi aksi-aksi protes yang dilakukan kelompok-kelompok masyarakat yang menentang kebijakan imigrasinya. Dalam sebuah pidatonya Donald Trump mengatakan akan menggunakan sumberdaya militer untuk ikut terlibat dalam menangani masalah-masalah yang ada di dalam negeri. Apa bedanya Presiden Donald Trump di Amerika Serikat dengan Presiden Prabowo Subianto di Indonesia? Keduanya memandang kekerasan sebagai virtue (kebajikan) untuk kemaslahatan publik.

Pada tahun 2024 terbit sebuah buku berjudul "Infrastructure of Impunity: New Order Violence in Indonesia" (Cornell University Press) yang merupakan hasil penelitian Elizabeth F Drexler tentang bagaimana secara sistematis dibangunnya sebuah struktur kelembagaan dalam rezim orde baru yang menginternalisasi dalam kesadaran publik bahwa persitiwa pembunuhan yang berlangsung pada tahun 1965-1966 terhadap PKI dan golongan kiri di Indonesia adalah sebuah tindakan yang bertujuan mengamankan bangsa dan negara. Hasil penelitian Elizabeth Drexler membuktikan kuatnya lembaga pengampunan yang menyebabkan sulitnya dibentuk komisi kebenaran dan rekonsisiliasi, seperti banyak dibentuk di berbagai negara pasca runtuhnya rezim-rezim otoriter. Apa yang disimpulkan dalam penelitian Elizabeth F Drexler mencapai bentuknya yang paling banal dalam pemberian gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subiato 10 November 2025 lalu kepada Jendral Suharto dan Jendral Sarwo Edhi Wibowo yang dari berbagai studi menunjukkan perannya yang besar dalam peristiwa pembunuhan PKI dan golongan kiri di Indonesia tahun 1965-1966.

Kekerasan sebagai virtue memberi legitimasi terhadap penggunaan kekerasan oleh negara terhadap siapapun yang dianggap sebagai musuh negara, dan gejala ini terbukti tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di negeri seperti Amerika Serikat. Ketika negara dikuasai oleh rezim otoriter militeristik yang mengabsahkan kekerasan sebagai sebuah kebajikan publik perlawanan harus dimulai pada tingkat kesadaran kritis tentang gejala-gejala manipulatif yang secara sistematis dikembangkan oleh kaki tangan negara. Pada rezim Prabowo Subianto pembentukan Kementrian Kebudayaan yang dipimpin oleh Fadli Zon seorang loyalis Prabowo yang sejak awal melihat bahwa masyarakat bisa ditundukkan melalui narasi-narasi yang bisa menggiring kesadaran.bahwa kekerasan adalah sebuah kebajikan publik.

Fadly Zon dengan cerdik menggunakan idiom "reinventing Indonesia" sebagai jargon yang memberinya jalan untuk merumuskan apa dan siapa itu Indonesia menurut sudut pandang dan posisi politiknya. Sudah terlihat gejala-gejala bagaimana Fadli Zon mempermainkan semantik tentang korban kekerasan seksual saat terjadi kecamuk politik bulan Mei tahun 1998. Puncaknya adalah sedang disusunnya buku sejarah versi baru yang sudah ditengarai akan memperhalus dan memperlunak peristiwa-peristiwa bersejarah dimana negara terlibat dalam penggunaan kekerasan seperti Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangdari, kekerasan selama diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Timor-Timur, Papua, Aceh dan lain-lain. Ketika Presiden Jokowi berkuasa sesungguhnya ada tanda-tanda berbagai pelanggaran HAM yang melibatkan negara itu mulai diakui. Namun apa yang saat itu terlihat sebagai pertanda baik diakuinya penggunaan kekerasan oleh negara dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu itu saat ini telah menguap dan kembali ke titik nol lagi.

Ketika Jendral Suharto dan Jendral Sarwo Edhi Wibowo dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto kita tahu bahwa "reinventing Indonesia" itu telah dimulai dengan kekerasan sebagai virtue (kebajikan) dan sejarah Indonesia versi baru sedang dinarasikan. Narasi tentang Indonesia yang melawan jati dirinya yang anti penindasan dan penjajahan.

 

*Tonjong Bogor, 13 November 2025. Sumber ilustrasi:detik.com

TAGAR: #gelarpahlawan #soeharto #militerisme

indeks berita Perspektif
PERSPEKTIF Selasa, 04 November 2025, 09:26WIB
Militerisme dan NKRI Harga Mati

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Militerisme adalah sebuah ideologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemiliteran seperti kekuatan dan kekerasan, patriotisme, keseragaman, kedisiplinan dan loyalitas bawahan......

PERSPEKTIF Sabtu, 29 Maret 2025, 18:43WIB
Menavigasi Visi APBD Jambi Pasca Efisiensi

  Oleh: Jumardi Putra* Alih-alih meningkatkan pendapatan daerah, APBD Provinsi Jambi TA 2025 justru terkoreksi. Merujuk Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 TA 2025, pendapatan daerah Jambi yang......