beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda PERSPEKTIF berita


Selasa, 04 November 2025, 09:26 WIB

Militerisme dan NKRI Harga Mati

PERSPEKTIF

Militerisme dan NKRI Harga Mati

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Militerisme adalah sebuah ideologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemiliteran seperti kekuatan dan kekerasan, patriotisme, keseragaman, kedisiplinan dan loyalitas bawahan terhadap atasan. Dalam sebuah negara yang menganut militerisme supremasi ada di tangan pemegang kekuasaan tertinggi dan warganegara harus patuh dan tunduk kepada perintah pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai ideologi militerisme beririsan dengan patriotisme, otoritarianisme dan fasisme. Pemimpin yang menganut ideologi militerisme tidak selalu seorang militer meskipun pemimpin militer memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjalankan militerisme ketika memimpin negaranya. Di Indonesia militerisme hanya salah satu ideologi yang berseliweran di sekitar kita seperti kapitalisme, sosialisme, liberalisme, komunisme, marxisme, islamisme, marhaenisme, kolonialisme dan imperialisme.

Dalam sejarah politik negeri ini kita bisa menilai kapan militerisme menguat dan melemah sebagai ideologi yang dipakai negara. Dalam prakteknya militerisme, seperti juga ideologi-ideologi yang lain tidak pernah berdiri sendiri karena ideologi apapun selalu hidup berdampingan dengan ideologi lain sejauh keduanya memiliki tujuan yang sama, seperti di Tiongkok, komunisme hidup bersama dengan kapitalisme. Yang pasti militerisme bertolak belakang dengan demokrasi yang mengandaikan kesetaraan warganegara dalam kehidupan bernegara. Namun militerisme bisa saja seolah-olah menjalankan demokrasi ketika lembaga-lembaga yang menjadi simbol demokrasi seperti parlemen, partai politik dan pemilu telah dikuasai oleh tangan-tangan dari pemegang kekuasaan tertinggi yang militeristik dalam sebuah negara.

Penggunaan kekerasan tampaknya tidak pernah jauh dalam sejarah politik bangsa dan negara ini. Sebagai bangsa kita pernah melewati zaman kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan yang ditegakkan dengan jalan kekerasan, melalui perang, pembunuhan dan perebutan kekuasaan yang seringkali berdarah-darah. Kitapun mengalami penjajahan oleh bangsa lain yang melalui kekerasan militeristik telah menaklukkan kita dan mencerminkan kekalahan kita dalam melawan penjajah yang memiliki organisasi dan teknologi militer yang jauh lebih tinggi.

Kitapun merdeka dalam situasi kekerasan Perang Pasifik ketika Belanda terpaksa harus meninggalkan negeri ini, karena kalah perang dengan Jepang, 1942-1945. Kitapun belajar bahwa di bawah kekuasaan tentara Jepang yang menjelang kalah perang terhadap tentara sekutu yang dipimpin Amerika Serikat berperan besar dalam menyiapkan berdirinya negara Republik Indonesia, antara lain melalui BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berhasil menyusun Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang bersifat sementara dan merumuskan Pancasila sebagai dasar negara..

Untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan harus diakui bahwa perlawanan bersenjata memegang peran penting selain perjuangan diplomasi melalui meja-meja perundingan dengan Belanda. Kita juga bisa membaca sejarah bahwa KMB (Konferensi Meja Bundar) 1949 yang kemudian mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia dalam bingkai Republik Indonesia Serikat (RIS) ditentang oleh kekuatan-kekuatan anti Belanda yang sangat erat mengandung elemen-elemen militer yang menjunjung tinggi perlawanan bersenjata dengan semangat patriotisme yang sangat kuat. Melalui Presiden Sukarno yang menyebut dirinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, tekanan untuk menolak RIS yang federalistik menguat. Sejak saat itu federalisme dianggap barang tabu karena dikesankan hanya sebagai alat politik Belanda untuk memecah belah negeri ini.

Awal tahun 1950-an bisa dikatakan sebagai awal menguatnya militerisme dan kehendak untuk mewujudkan negara yang berbentuk kesatuan. Benih-benih militerisme bisa dilihat tumbuh subur melalui peristiwa-peristiwa sejarah yang menunjukkan militer adalah pengawal setia Republik. Dalam narasi sejarah militer ini sosok Jendral Sudirman, seorang bekas guru yang berhasil memimpin laskar rakyat melawan Belanda adalah wujud paling sempurna dari patriotisme, kepahlawanan, perjuangan yang pantang menyerah dan loyalitas yang total pada pemimpin negara.

Peristiwa Madiun 1948, Pemberontakan Daerah 1956-58, Peristiwa 1965, Konfrontasi dengan Malaysia, Perebutan Irian Barat, Pencaplokan Timor Timur, operasi militer untuk menumpas Fretilin, GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka); adalah bukti-bukti sejarah patriotisme militer sebagai penjaga utama negara kesatuan dan integrasi nasional. Kolonel Suharto pendamping Jendral Sudirman dalam perang kemerdekaan melalui kudeta merangkak bisa menggulingkan Presiden Sukarno dan membabat habis PKI dan mereka yang dianggap kiri (1965-1966) adalah juga panglima perang Komando Mandala, saat Trikora dan merebut kembali Irian Barat (1969).

Setelah memegang tampuk kekuasaan tertinggi Suharto sulit untuk dibantah telah menjadi representasi militerisme dimana kestabilan politik ditegakkan melalui represi dan persekusi terhadap mereka yang berani melawan: mahasiswa, disiden politik, ekstrim kiri, ekstrim kanan, Fretilin, GAM, OPM. Selama Jendral Suharto 32 tahun berkuasa (1966-1988) dikenal istilah ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) sebagai tulang punggung kekuasaan Orde Baru, dan tentu saja militer (ABRI) diatas segalanya. Ketika Suharto berkuasa inilah NKRI perlahan-lahan berubah menjadi mantra dengan embel-embel Harga Mati – sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Negara kesatuan sempat sedikit terguncang ketika ide federalisme muncul pada awal reformasi (1999-2000), namun kembali dikukuhkan ketika otonomi diberikan pada tingkat kabupaten karena kekhawatiran militer akan terjadinya disintegrasi jika otonomi diberikan ke tingkat provinsi.

Menangnya Prabowo Subianto, mantan menantu Presiden Suharto, yang sempat diberhentikan sebagai militer karena dianggap terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan sumpah prajurit (Sapta Marga), sebagai presiden terpilih dalam Pemilu 2024 menandai kembali menguatnya militerisme di negeri ini. NKRI Harga Mati akan menjadi mantra sakti, mitos nasional sekaligus praktek dasar negara dan tameng utama dari kritik-kritik terhadap berbagai kebijakan negara yang hanya menguntungkan para oligark dan terus meminggirkan warganegara di tanah airnya sendiri. Perluasan Komando Daerah Militer mengukuhkan militerisme telah mengalami “full circle’ dalam sejarah politik negeri ini.

Selain kebijakan-kebijakan yang dari luar terlihat seperti wujud kebijakan yang pro-rakyat, melalui dibentuknya Kementrian Kebudayaan secara sistematis sedang dirancang narasi-narasi publik yang bertujuan melegitimasi militerisme. Penugasan sejumlah sejarawan oleh Menteri Kebudayaan untuk menulis kembali sejarah nasional akan menjadi bukti dihaluskannya berbagai bentuk kekerasan yang militeristik dari negara sepanjang sejarah politik Republik ini. Puncak dari kembalinya militerisme dengan mantra NKRI Harga Mati adalah akan dikukuhkannya Jendral Suharto sebagai pahlawan nasional dalam waktu dekat ini.

 

*Peneliti independent, Tonjong Bogor, 3 November 2025.

TAGAR: #

indeks berita Perspektif
PERSPEKTIF Sabtu, 29 Maret 2025, 18:43WIB
Menavigasi Visi APBD Jambi Pasca Efisiensi

  Oleh: Jumardi Putra* Alih-alih meningkatkan pendapatan daerah, APBD Provinsi Jambi TA 2025 justru terkoreksi. Merujuk Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 TA 2025, pendapatan daerah Jambi yang......

PERSPEKTIF Kamis, 16 November 2023, 09:46WIB
Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024

Oleh: Jumardi Putra* November tahun depan bakal berlangsung pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi. Itu artinya kepemimpinan Al-Haris-Abdullah Sani tersisa satu tahun lagi terhitung dari sekarang. Publik......

PERSPEKTIF Sabtu, 04 November 2023, 18:06WIB
Saya, Indonesia dan Duka Palestina

Oleh: Jumardi Putra* Di sini, full 24 Jam, orang-orang begitu getol membicarakan Copras-Capres, sementara di belahan bumi nun jauh di sana, di Palestina, ribuan warga terluka dan terbunuh akibat konflik militer......