Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
Psikologi, satu dari sekian banyak disiplin ilmu modern, berciri khas sains, dulunya diidentikkan dengan urusan orang gila. Terlepas definisi yang hingga kini kian kontroversi, gila atau kegilaan sesungguhnya nyata ada sepanjang sejarah kehidupan manusia, baik yang bersifat neurosis, stigma masyarakat, hingga berkait dengan perkara langit.
Psikologi lahir dengan kemasan khas keilmuan sebagai pakem juga penentu patok-patok yang menentukan berbagai identifikasi, batasan, serta siapa yang pantas dianggap gila. Legalisasi kegilaan untuk menunjuk identifikasi terhadap lain sebagai yang waras atau sehat. Namun sasarannya justru kepribadian seseorang atau pribadi.
Psikologi sebagai usaha melegalkan atau sebut istilah legalisasi ketidakwarasan lebih kepada sikap berani dan secara kejiwaan nekat. Sains memasang standar kesehatan dengan indikasi-indikasi terhadap kejiwaan seseorang. Uniknya, lantaran psikologi seolah bertindak sebagai wasit, maka standar ini hanya berlaku di luar mereka atau bukan untuk kalangan internal Psikologi, baik psikolog, praktisi atau akademisinya.
Sebenarnya, sebagai metodologi, analisa kejiwaan bisa didapat dari kejelian berpikir, atau keterampilan, atau kemampuan berpikir ketat sebut nama keilmuan modern juga; Ilmu Filsafat. Namun memang tidak sepopuler keilmuan lain meski secara metodologi bisa saja lebih mendekati kebenaran khususnya analisa terhadap kejiwaan (deskripsi analitis bisa dilihat pada artikel penulis susun sebelumnya tentang Psikoanalisa).
Dikatakan sikap berani tidak semata terkait keterbatasan metode yang digunakan tersebut di atas dalam mengungkap fakta dan kebenaran yang kemudian dilegalisasi sebagai kebanaran (meski sekadar versi sains), namun juga terkait spesifikasi sasaran baik gila/kegilaan dengan pembedaan terhadap yang sehat, juga ternyata terdapat disiplin lain yang punya objek analisa yang sama yaitu seputar kejiwaan.
Berlatar belakang Ilmu Filsafat atau filsafat, penulis justru berusaha menarik sebuah istilah yang sempat disinggung di atas dengan perkara langit. Metode khas sains yang digunakan dalam Psikologi khususnya seperti penjelasan di atas terbatas pada hal yang tampak pada permukaan, tidak menjadikan bagian terdalam atau sebut istilah jiwa sebagai standarnya. Bukankah ini suatu kontradiksi?
Peristiwa langit sebagai inti, atau lebih tepatnya puncak tertinggi pemikiran sekaligus standar dan tujuan dari seharusnya suatu pemikiran dibangun. Termasuk berkait kejiwaan seharusnya mengacu kepada perkara tersebut, dalam arti metode, prosedur dan tujuan-tujuan suatu disiplin atau dibentuk atau konseptualisasi suatu keilmuan.
Sejarah menunjukkan, tudingan gila dari berbagai sisi baik berupa indikasi atau stigma sosial justru sayangnya menyasar orang-orang “suci.” Orang yang bisa dikatakan dekat dengan ranah terkategori suci. Lagi-lagi, secara legalitas adalah terkait perkara langit. Beraninya, tanpa melihatnya sebagai batasan atau sekedar rambu, psikologi menerobos itu semua.
DI akhir artikel ini, terlepas dari pengalaman penulis terlibat aktif dengan dunia kefilsafatan, hendak mengajak untuk dapat menarik hikmah demi hikmah dalam kajian tidak sekedar pemikiran, namun juga diiringi kesungguhan dalam merenungi dan berikutnya mentadabburi kebenaran sejati dari ilahi, tidak lain melalui risalah-risalahNya yang suci.
Segala perkara bukan hanya menjadi mudah dipecahkan juga menemukan jalan keluar, namun juga mendapat balasan berbagai kebaikan di sisiNya. Termasuk perkara kejiwaan, sehat tidak semata menjadi klaim dan menganggap yang lain pada posisi sebaliknya (sakit/gila), namun berikutnya tersingkap hakikat, yang sebelumnya mungkin secara sengaja oleh lembaga, pribadi atau metodologi. Meski tidak harus, tetapi entah kenapa ditutupi?!
*Penulis Lepas Yogyakarta.
Editor. KJ-JP