Oleh: Jumardi Putra*
Berkunjung ke kota Padang tidak lengkap rasanya jika tidak menginjakkan kaki di Kota Tua atau kerap disebut Padang Lama oleh warga setempat. Itu kenapa usai melaksanakan kegiatan resmi selama di Padang, saya memantapkan niat mengunjungi lokasi maupun gedung-gedung bersejarah. Terang saja, di Kawasan kota tua ini saya melihat langsung berjejeran bangunan tua dan bekas kantor pemerintahan, perbankan, serta kantor dagang peninggalan VOC.
Saya merasakan nuansa tempo dulu saat menyusuri sehiliran Sungai Batang Arau, yang menandai aktivitas perdagangan yang sangat ramai melalui Pelabuhan Muara. Kawasan bersejarah ini berada di dua kecamatan yakni Padang Barat dan Padang Selatan. Bangunan tua masih berdiri kokoh di kawasan ini karena dikelola dan dilestarikan dengan baik, meski sempat tak terurus pasca gempa melanda kota Padang pada 30 September 2009 lalu. Kini umumnya gedung bekas masa Belanda di Kawasan kini dimanfaatkan sebagai café dan restauran. Saya sendiri memilih makan siang di warung The Soematera Racikan 1956. Selain makanannya enak, harganya juga terjangkau. Salah seorang warga yang saya jumpai mengatakan suasana malam hari di kawasan ini jauh lebih ramai dan asyik.
Usai menikmati tepian sungai Batang Arau, saya menuju jembatan Sitti Nurbaya. Jembatan yang dipercantik dengan dekorasi lampu ini menghubungkan antara pusat kota Padang dengan daerah Seberang Padang yang berlokasi di kawasan Bukit Gado Gado atau dikenal juga dengan Bukit Sentiong yang dipisahkan oleh aliran Sungai Batang Arau yang bermuara ke Samudra Indonesia.
Jembatan Sitti Nurbaya sekarang menjadi salah satu ikon pariwisata Kota Padang yang membentang sepanjang 156 meter dan dengan lebar jembatan 8 meter ini dibangun sejak 1995. Jembatan ini dilengkapi juga dengan trotoar selebar satu setengah meter di kiri dan kanan jalurnya.
Sitti Nurbaya sangat arab di telinga masyarakat Minangkabau terutama di Kota Padang. Sosok yang melegenda ini sarat akan nilai budaya dan historis. Nama Sitti Nurbaya berasal dari cerita sebuah novel karya Marah Rusli dengan judul Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai yang diterbitkan pertama kali tahun 1922 oleh Balai Pustaka. Saya sendiri membaca novel tu saat masih di bangku sekolah dasar.
Ringkasnya, novel tersebut mengisahkan seorang gadis yang dijodohkan paksa dengan pria yang bukan idamannya yaitu Datuk Maringgih. Saking familiar cerita ini, di Sumatera Barat dibuat taman bernama Taman Sitti Nurbaya yang terletak di sebelah barat Kota Padang.
Tersebab penasaran terhadap pusara Sitti Nurbaya yang tak jauh dari jembatan ikonik itu, saya pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi wisata bukit Gunung Padang. Setiba di pintu masuk Gunung Padang, saya terlebih dahulu membayar tiket masuk seharga 10 ribu untuk orang dewasa. Mulanya saya ditawarkan jasa guide atau pemandu wisata, tapi saya memilih sendirian karena ingin benar-benar menikmati suasana bukit, hutan lebat dan deburan ombak pantai yang indah serta laut biru dari ketinggian.
Tak dinyana, sepanjang jalan menuju puncak Gunung Padang dan harus menaiki anak tangga sepanjang 1 km, saya menjumpai peninggalan sejarah zaman kolonial Belanda seperti meriam, bunker maupun benteng pertahanan. Tidak hanya itu, di sepanjang jalan monyet dengan leluasa bergelayut di pohon-pohon dan bahkan beristirahat di pendopo tepian pantai atau sekadar menyantap buah-buahan. Warga setempat berpesan kepada saya untuk tidak membawa makan secara terbuka untuk menghindari monyet yang biasanya mencari makanan. Oleh karena itu, sebelum berkunjung saya makan dan hanya membawa sebotol minuman selama dalam perjalanan.
Kondisi fisik saya sebenarnya tidak sepenuhnya fit, sehingga saya berkali-kali istirahat untuk mengumpulkan energi sebelum melanjutkan langkah kaki ke puncak Gunung Padang. Usai menaiki anak tangga yang panjang, akhirnya saya sampai di sebuah makam Sitti Nurbaya. Letaknya di balik batu besar dengan celah selebar pintu masuk. Makam gadis Minang yang dijodohkan paksa dengan Datuk Maringgih itu dilapisi semen dan ditutupi kain sebagian di atasnya. Di antara celah batu besar dan suasana perbukitan saya mendapati keheningan di sela kicauan burung yang terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Saya sendiri tidak tahu persis apakah pusara tersebut benar-benar Sitti Nurbaya. Sampai sekarang masih beredar luas bermacam pendapat tentang keabsahan makam itu sendiri. Bahkan, makam itu dijadikan sebagai tempat keramat yang kerap didatangi oleh banyak orang dengan bermacam latar belakang kepentingan.
Dari makam Sitti Nubaya saya menaiki tangga sepanjang 100 meter ke atasnya. Di sinilah puncak Gunung Padang, sebuah taman dengan pepohonan rindang. Dari taman ini pula saya melihat pemandangan Kota Padang dan laut birunya. Sungguh indah, sebuah pendakian yang patut saya syukuri sembari menegaskan kemahakuasaan Sang Ilahi.
*Kunjungan penulis ke Kota Tua pada 7 September 2023. Tulisan-tulisan penulis tentang pelbagai topik dapat diakses melalui kanal: www.jumardiputra.com. Dokumen foto di awal tulisan bersumber dari infosumbar.net
Editor. KJ-JP