Oleh: Jumardi Putra*
Perang Israel-Palestina kembali terulang. Ribuan nyawa warga sipil melayang, fasilitas medis lumpuh, ruang-ruang publik dipenuh rerutuhan bangunan, dan hampir 1,5 juta orang diperkirakan terusir dari tumpah darahnya. Belum ada pihak yang bisa memastikan kedua negara itu benar-benar berhenti bertikai. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang diharapkan dapat menciptakan situasi perdamaian antara keduanya justru mendapat kecaman publik internasional lantaran gagal menyetop agresi Israel ke Palestina.
Bahkan KTT luar biasa Organisasi Kerja sama Islam (OKI) dan Liga Negara Arab di Riyadh baru saja mengeluarkan resolusi yaitu antara lain mengecam agresi militer Israel ke jalur Gaza terhadap rakyat Palestina di Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur; menolak pembelaan diri Israel; menuntut DK-PBB keluarkan resolusi setop agresi; setop ekspor senjata ke Israel; tuntut DK-PBB keluarkan resolusi usai Israel bom Rumah Sakit; mendukung langkah negara Arab dan Mesir soal bantuan kemanusiaan; meminta Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk menyelesaikan penyelidikan atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina; dan mendukung Palestina seret Israel ke Mahkamah Internasional serta membentuk unit pemantauan media bersama yang mendokumentasikan semua kejahatan Israel di Palestina.
Saat yang sama muncul dukungan diplomatik dari beberapa negara di dunia terhadap Israel yang dinilai perang melawan organisasi “teror” Hamas di Palestina, selain klaim pembelaan diri Israel untuk membentengi kepentingan negara dan kesalamatan warganya. Gayung pun bersambut, dukungan militer (persenjataan) maupun dalam bentuk uang terus mengalir ke Israel.
Saya tidak akan mengupas lebih jauh soal itu. Tetapi sepanjang konflik melanda kedua negara itu, saya menyaksikan betapa nilai-nilai kemanusiaan warga dunia masih ada. Di banyak negara, tidak saja negara berpenduduk mayoritas Islam, mereka melakukan unjuk rasa kemanusiaan menolak tindakan brutal Israel terhadap warga di Palestina, terutama kaum perempuan, anak-anak dan kelompok rentan yang menjadi korban kebanyakan akibat perang tersebut. Mereka juga mengecam para elit di negaranya masing-masing karena membiarkan tragedi kemanusiaan itu terus terjadi di tengah dunia yang disebut-sebut berperadaban tinggi.
Sulit menyangkal bahwa keyakinan terhadap “tanah yang dijanjikan” di sana acapkali menjadi api dalam sekam. Klaim kebenaran yang datang dari masing-masing kelompok dengan atas nama keyakinan yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam, membuat perundingan sulit tercapai. Pun di aras global sekarang ini jelas banyak kepentingan di luar urusan keyakinan itu sendiri, yang beririsan dengan faktor geopolitik antar negara yang berseteru baik langsung maupun sebaliknya.
Saya tidak kuasa melihat korban terus berjatuhan akibat perang hampir sebulan ini. Sebagai warga dunia, saya menginginkan perdamaian segera terjadi antara mereka yang berkonflik di sana. Kedamaian adalah kebutuhan bersama, maka ia perlu diciptakan. Bukan justru memperlebar jurang konflik sehingga membuat pihak yang bertikai makin jauh dari solusi perdamaian.
Konflik Israel-Palestina jauh lebih tua ketimbang usia saya sendiri. Sulit membayangkan betapa warga di sana hidup dalam pertikaian dan menyimpan dendam. Dari generasi ke generasi hidup penuh ketegangan dan nyawa acapkali menjadi taruhan. Jelas itu fakta yang mengiris hati kemanusiaan siapa saja yang merindukan kedamaian dalam kehidupan yang serba sementara ini.
Itu kenapa hingga sekarang, sekalipun perang masih berkecamuk, seruan kedamaian selain secara formal melalui peran lembaga Negara, juga datang melalui kerja-kerja kesenian dari penduduk bumi di belahan negara manapun di dunia ini. Sebagaimana muncul musisi di banyak negara lain yang menyerukan perdamaian melalui karya musik, di Indonesia juga muncul dukungan artis/seniman menyanyikan lagu sebagai bentuk dukungan untuk rakyat Palestina. Melalui karya seni itu terekam jelas rasa iba sekaligus kecintaan terhadap rakyat Palestina agar mereka segera mendapatkan kemerdekaan sebagai sebuah negara yang berdaulat.
Jauh sebelum sekarang muncul lagu-lagu bertema kemanusiaan, sudah ada Nasida Ria, sebuah grup musik asal Semarang yang ngehits di era 80-90-an, dan sampai kini masih eksis, dan mereka telah lama menyuarakan perdamaian untuk Palestina melalui sebuah lagu. Saya bersukacita mendengar kembali lagu itu sekarang. Bukan saja karena Nasida Ria sebagai sebuah kelompok musik beserta lagu-lagu yang dinyanyikan oleh mereka begitu akrab di telinga orang-orang di kampung saya saat masih di bangku sekolah dasar, tapi substansi dari lirik lagunya yang dapat menangkap ghirah di balik sebuah peristiwa sehingga pesannya pun diharapkan tersampaikan.
Album Volume 12 bertajuk "Tahun 2000", grup kasidah yang semua personelnya digawangi oleh perempaun itu menyanyikan lagu ciptaan H. Abu Ali Haidar berjudul “Damailah Palestina”. Berikut saya sertakan liriknya di sini:
Palestina negeri para Rasul dan para Nabi
Tempat suci umat Yahudi, Nasrani dan umat Islam
Jadi lambang kerukunan semua agama samawi
Tapi kini oh nasibmu sangat menyedihkan
Bumimu panas tersiram darah
Penuh pembantaian dan penculikan
Wanita dan anak-anak yang tak berdosa
Menjadi korban ganasnya perang
Hampir punah oh Palestina.
Reff.
Damailah hai umat Yahudi, Ingatlah petujuk Alloh dalam kitab Suci Taurat
Damailah hai umat Nasrani, Ingatlah petunjuk Alloh dalam kitab suci Injil
Damailah wahai umat Islam, Ingatlah petunjuk Alloh dalam Qur'an
Kembalilah pada Yang Maha Esa
Dunia jangan adu domba Palestina
Bantulah perdamaian Palestina.
Baik si pencipta lagu maupun Nasida Ria yang menyanyikan lagu itu sama-sama memiliki spirit pembebasan. Di balik nuansa religi grup legendaris itu, tersimpan semangat yang luar biasa menyuarakan amanat kemanusiaan. Sampai kini, di tengah perebutan wilayah yang menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel sehingga menjadikannya kontroversi dan kerapkali memicu konflik dengan Palestina, lagu tersebut masih relevan didengarkan untuk menggugah kesadaran bersama. Maka, usaha menerjemahkan lagu itu ke dalam bahasa Inggris perlu dilakukan supaya bisa diakses publik internasional.
Apa sebab sehingga karya musik menjadi perlu di tengah situasi dunia penuh konflik? Musik sebagai bahasa universal yang dapat dipahami oleh semua orang, tanpa memandang asal-usul kultur, agama, dan sosial-politik, semakin sering ditampilkan sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan di perkampungan global sekarang ini. Dengan kata lain, musik diharapkan dapat mencairkan kebekuan antar komunitas internasional dengan segala permasalahan maupun prasangka yang melingkupinya.
Mencermati konflik Israel-Palestina, suara Indonesia dengan jumlah penduduk muslim mayoritas di dunia turut menentukan, karena Indonesia dengan jumlah pulau, etnis, bahasa, dan keyakinan pemeluk agama yang beragam mampu hidup damai. Demikian itu sebaik-baiknya teladan bagi banyak negara-negara lain di muka bumi ini.
*Kota Jambi, 13 November 2023. Tulisan-tulisan penulis tentang pelbagai topik dapat diakses melalui kanal: www.jumardiputra.com
Editor. KJ-JP