Oleh: Asyhadi Mufsi Sadzali*
Revolusi Industri 4.0 telah menggiring kita menjadi manusia multi dimensi, atau malah menjadi trans-dimensi. Dua belas jam perhari kita terhubung dengan berbagai tempat, komunitas, individu, dan berbagai hal di seluruh penjuru dunia. Seoarang tokoh, misalnya Profesor B.J. Habibi, yang kemudian dikenal sebagai “Bapak Teknologi Indonesia” dikenal masyarakat lewat sikap, tindakan dan pemikirannya. Teori dan rancangan pesawat terbangnya menjadi karya dan sumbangsih penting untuk Indonesia sehingga pantas ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Bagaimana dengan tokoh penting dari Jambi, yakni Raden Mattaher yang semasa hidupnya berjuang bersama rakyat Jambi melawan kolonialisme Belanda? Sayangnya, sosok dan kiprah Raden Mattaher belum begitu dikenal oleh masyarakat Jambi, terutama generasi muda.
Raden Mattaher, memang belum sepopuler Sultan Taha Saifuddin yang ditetapkan Pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional sejak 24 Oktober 1977. Keduanya, sejatinya terjalin satu relasi yang kuat, baik secara geneologi, pandangan politik, maupun dalam menyikapi kolonialisme Belanda di negeri Jambi.
Secara silsilah, Raden Mattaher adalah putra dari Raden Kusin gelar Pangeran Joyodiningrat, penguasa tanah ampange di wilayah Sekamis, Soroloangan, Jambi. Raden Mattaher merupakan cucu dari Raden Mochammad, gelar Sultan Mochammad Fachrudin, dengan kata lain, antara keduanya masih sedarah-seketurunan.
Merujuk pada arsip Belanda, Raden Mattaher lahir di Dusun Sekamis, tahun 1871 dari pasangan Raden Kusin dengan Ratu Mas Esa atau dikenal juga Ratu Mas Tija, keturunan bangsawan dari Mentawak, Air Hitam Pauh (lihat Indische Militair Tijdschrift - Extra Bijlagen, 01/01/1911; v. 188/607). Masa kecilnya banya dihabiskan di tanah kelahirannya dengan belajar mengaji kepada beberapa ulama ternama di wilayah Sarolangun, seperti ulama Arab yang tinggal di seberang Pauh dan guru dari Pamenang, Jambi. Sedangkan seni perang dipelajarinya dari Panglima Rio Depati Tabir, Sampena Gelar Panglima Layang-Layang Mandi Mentawak dan belajar ilmu kanuragan dari Panglima Tedung Sungai Tenang Merangin (lebih lanjut baca Raden Syariefs, Riwayat Ringkas Tentang Perjuangan Pahlawan Jambi Raden Mattaher Melawan Belanda. Jambi, 1969 (tidak diterbitkan).
Raden Mattaher oleh lingkungannya ditempa menjadi sosok pemuda cerdas berkarakter kuat, sehingga merasa tidak cukup puas hanya belajar agama, seni perang dan seni beladiri, maka jalan berkelana ke pelosok negeri pun akhirnya dilakoninya. Petualangannya membawanya ke berbagi guru, keberagam sisi kehidupan, serta mengenal beragam karakter manusia; rakyat biasa, orang asing bahkan para bandit anti Belanda. Alhasil Raden Mattaher dikenal dengan banyak nama; Mat Tahir, Singo Kumpeh, dan sederet nama lainnya.
Di dalam Indisch Militair Tijdschrift, Belanda mengakui kehebatan sepak terjang Raden Mattaher dalam menjalankan startegi perang gerilyanya. Termuat juga seperti yang dikutip Mukti Nasruddin dalam bukunya, Jambi dalam Sejarah Nusantara: 692-1949 M” (tidak terbit dalam bentuk buku), disebutkan bahwa “Mattahir onze onverzoenlijkste vijand en de meest gevreesde en actieve der Gouvernments tegenstanders”. Belanda menilai Mattaher sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukkan dan seorang lawan yang gesit dan ditakuti. Raden Syariefs menulis soal karakter Raden Mattaher yang tanpa kompromi terhadap Belanda, tergambar dari keputusannya menolak untuk mengungsi ke Johor-Malaysia agar selamat dari pengejaran pasukan Belanda.
Semangat perjuangan dan anti kompromi terhadap Belanda menjadi nilai penting yang dimiliki sosok Raden Mattaher, namun terdapat satu keunikan lain yang lahir dari kepandaian mengatur strategi perang yang tidak dimiliki pejuang manapun, yakni strategi gerilya sungai. Bila Jenderal Besar. Dr. A.H Nasution merumuskan konsep strategi gerilya di hutan dalam bukunya; Pokok-Pokok Gerilya terbit tahun 1953, dan dianggap efektif dalam pertempuran masa kemerdekaan, maka Raden Mattaher, punya strategi orisinal yakni strategi gerilya sungai yang terbukti ampuh sehingga membuat Belanda hampir bangkrut dan nyaris kalah.
Serangan Raden Mattaher bersama para pengikutnya, dalam beberapa arsip Belanda, surat kabar, dan juga dituturkan oleh masyarakat, secara eksplisit terangkum dalam rangkaian serangan Raden Mattaher, berikut; Pada tahun 1895, Raden Mattaher menyerang kapal-kapal Belanda yang melintas di Sungai Kumpeh, dan menewaskan semua pasukan Belanda. Pada tahun 1900, menyerang jukung-jukung berisi pasukan dan perbekalan Belanda yang ditarik oleh kapal uap, saat melintas di Sungai Batanghari, dekat Desa Tanjung Penyaringan, Kabupaten Batanghari. Pada tahun 1901, menyerang kapal Belanda yang mengangkut logistik, senjata dan serdadu saat melintas di Sungai Bengkal. Pada April tahun 1901, menyerang Kapal Uap ‘Musi’ milik Belanda yang melintas di sungai Batanghari dekat wilayah Singkut- Tanjung Gagak. Semua pasukan Belanda tewas dan logistik serta persenjataan dirampas oleh Raden Mattaher. Pada tahun 1902, menyerang 30 jukung yang mengangkut logistik dan seradadu Belanda saat melintas di Sungai Alai-Tanjung Gedang-Kab. Tebo. Pada Juli 1903, menyerang pos pasukan Belanda di Lubuk Kepayang, Sarolangun. Pada tahun 1905, menyerang pasukan Belanda saat melintas di wilayah hulu Batanghari, dekat wilayah Ketalo, Sarolangun. Pada tahun 1906, Raden Mattaher kembali menyerang kompoi Jukung Belanda saat tengah melintas di Sungai Kumpeh dan membunuh semua awak kapal dan pasukan, kecuali insiyur kamar mesin bernama Wanoik. (Baca: Data serangan Sungai oleh Raden Mattaher dikumpulkan dari berbagai sumber, yakni; Indische Militair Tijdeschrift – Extra Bijlagen (1911), Makalah Raden Syarif (1969), makalah Dr. Wiwik Anastasya (2019).
Strategi gerilya sungai yang dipakai Raden Mattaher, apabila ditinjau dalam kaca mata teori ‘Arena’ Pierre Bordieau, dalam Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1997, menunjukkan bahwa terciptanya suatu fenomena atau inspirasi besar meruapakan hasil akumulasi dari Habitus (kebiasaan) – Modal (posisi dalam kelas sosial) – Arena (tempat para aktor/pelaku).
Interpretasi yang muncul atas staregi sungai yang diciptakan oleh Raden Mattaher, lahir dari habbit atau kebiasaannya berpetualang di belantara Jambi dalam menuntut ilmu. Habitus atau kebiasaan ini juga mengenalkannya kepada banyak orang dari berbagai lapisan sosial. Pada akhirnya membawanya pada satu titik pemahaman mendalam terhadap bentang alam Jambi dan sekitarnya; bahwa sungai tidak hanya sebagai sarana trasnportasi namun juga medan tempur yang dapat dimanfaatkan dengan baik.
Beberapa arsip mencatat, Raden Mattaher kerap melakukan serangan kepada kapal-kapal Belanda yang melintas di Sungai Batanghari, Indragiri, anak sungai Musi, di pagi hari. Raden Mattaher menguasai dengan baik ilmu klimatologi lingkungan sungai Batanghari, dimana kala pagi, kabut tebal turun, sehingga Raden Mattaher mampu melompat dari tebing sungai ke kapal tanpa diketahui musuh. Dalam sekajap, di antara tebalnya kabut sungai, Raden Matther memulai serangan dahsyatnya dengan teriakan “Allahu Akbar’. Tak satu pun serangan yang gagal. Ia berhasil menewaskan seluruh pasukan Belanda dan merampas persenjataan serta uang yang dibawa di dalam kapal Belanda. Strategi perang Gerilya Sungai yang digunakan Raden Mattaher, polanya acak, dengan kata lain, tidak dapat ditebak di sisi sungai bagian mana Raden Matther dan pasukannya tengah mengintai dan akan menyerang Kapal Belanda. Raden Matther juga nampaknya paham betul mengenai arus sungai, sehingga memanfaatkannya agar bisa dengan mudah menyusup diam-diam ke kapal Belanda.
Kedekatan Raden Mattaher dengan segala lapisan masyarakat, tidak terlepas dari ‘modal’ yang ia miliki sebagai seoarang bagsawan, Masyarakat menyenanginya, terlebih lagi sikapnya yang egaliter. Betul apa kata Piere Bourdiue, modal dalam posisi kelas sosial berperan penting untuk mempengaruhi yang lain, walaupun pada posisi yang egaliter. Kebangsawanan Raden Matther tidak sertamerta luntur dikarenakan sikap egaliternya, malah justru semakin meningkatkan rasa hormat masyarakat awam kepadanya. Hal ini kemudian berperan penting mensukseskan gerilya sungainya, dimana informasi keberadaan kapal Belanda yang sedang berlayar di sungai langsung dilaporkan ke Raden Mattaher. Ibarat kata, sepanjang sungai terdapat mata-mata Raden Mattaher.
Taktik gerilya sungai ini juga dilahirkan dari field atau ‘Arena’ tempat pertarungan tokoh, yakni wilayah Jambi dan sekitarnya, yang dialiri ratusan anak sungai, sebagaimana yang disampaikan William Marsden dalam Buku ‘History Of Sumatera” bahwa tidak ada tempat lain di dunia ini seperti Sumatera yang dialiri ribuan sungai. Ketiga konsep tersebut diakumulasikan oleh Raden Matther, yang kemudian melahirkan ide cemerlang ‘staregi gerilya sungai’, yang membawa Raden Matther ditakuti lawan dalam julukan ‘Singo Kumpeh’ dan sangat disegani kawan ‘sebagaimana dia adalah seoarang Raden’. Gerilya sungai yang dilakoni Raden Mattaher setidaknya berlangsung selama sepuluh tahun, dengan catatan keberhasilan yang gilang-gemilang, hingga membuat Pemerintah Belanda menghsbiskan jutaan Gulden dan mengirimkan ratusan pasukan dari Jawa, Ambon, dan pasukan khusus ‘Marsose’ untuk menghentikan perlawanan Raden Matttaher.
Dikutip dari beberapa lembar arsip Indisch Militair Tijdschrift-Extra Bijlagen, maupun dalam Staatblad van Nederlandsch-Indisch, tercatat bahwa militer Belanda pernah mengirimkan 40 pasukan Sunda yang kuat dilengkapi persenjataan perang lengkap dipimpin seorang perwira untuk melakukan pengejaran Raden Mattaher, namun tidak berhasil. Kemudian pasukan kedua dibentuk dengan kekuatan 90 pasukan bersenjatakan karabin lengkap dengan bayonet, mengejar Raden Mattaher dari wilayah Tebo hingga ke Batanghari, namun tidak juga berhasil, hingga akhirnya komando militer pusat di Batavia, mengeluarkan surat penghentian pengejaran pada bulan Januari tahun 1907 (lihat Indische Militair Tijdeschrift – Extra Bijlagen, 01/01/1911; v. 134/607). Namun pada tanggal 26 September 1907, komandan pasukan Marechaussee, Kapten F. Darlang, menerima laporan dari intelejen rahasia Belanda, bahwa Raden Mattaher sedang berkunjung di kediaman saudaranya, di Dusun Muaro Jambi. Mengmbil tindakan cepat, otoritas tinggi militer segera mengerahkan pasukan yang terdiri dari dua kompi pasukan Ambon, dan satu kompi pasukan khusus marsose atau Marechausse, segera bergerak menangkap Raden Mattaher (lihat Indische Militair Tidescrift –Extra Bijlagen, 01/12/1930; v. 42/86).
Pada tanggal 1 Oktober tahun 1907, di bawah pimpinan Letnan Geldrop, dua kompi pasukan Ambon, dan satu kompi pasukan khusus marsose mengepung rumah persinggahan Raden Mattaher di Dusun Muarajambi. Pada peristiwa penangkapan itu, Raden Mattaher tengah bersama dengan saudara laki-lakinya Raden Achmad, dan lima orang pengikutnya. Tawaran untuk menyerah ditolak mentah-mentah oleh Raden Mattaher, alhasil pertempuran sengit tak seimbang pun terjadi, sehingga dalam peristiwa heroik itu Raden Matthaer gugur, bersama saudara laki-lakinya dan lima pengikut setianya (Lihat Indische Militair Tijdeschrift – Extra Bijlagen, 01/12/1930; v. 43/86).
Gugurnya Raden Matther membawa duka mendalam bagi negeri Jambi, namun berita gembira bagi Belanda. Surat kabar lokal Belanda selama berhari-hari terus memberitakan kabar gugurnya Raden Matther, semisal dalam koran De T?d: godsdienstig-staatkundig dagblad tangggal 2 Oktober 1907 danArnhemsche courant, tertanggal 30 Oktober1907, yang berbunyi; “Nadat in September 1907 Raden Mattaher, nau van Taha verwant en de meest gevreesde en actieve der gouverne ments tegenstaders, na en rusteloze achtervolging was gesneuveld. Was het verzet gebroken.” Dalam terjemahannya, bulan September tahun 1907 Raden Mattaher, yang juga keluarga dekat Sulthan Thaha Saifudin dan panglima perang yang paling ditakuti militer Belanda. Setelah dikejar terus menerus gugurlah Raden Mattaher dalam pertarungan dengan pasukan Belanda.
Raden Mattaher telah gugur 103 tahun yang lalu, namun semangat perjuangan dan anti kompromi terhadap bangsa penjajah tetap membara dalam sanubari masyarakat Jambi. Buah pemikiran cemerlangnya terwujud dalam strategi gerilya sungai yang terbukti dan teruji efisien melawan kekuatan musuh yang menang dari segi jumlah dan teknologi. Strategi gerilya sungai itu, hanya Raden Mattaher pemiliknya, adalah buah pemikirannya, satu-satunya dan tiada duanya. Jenderal Besar A.H Nasution berkata “Perang Gerilya adalah perang Rakyat Semesta. Si Gerilya harus bertempur sungguh-sungguh dengan efisien” (lebih lanjut baca: A.H. Nasution. 2012. Pokok-Pokok Gerilya. Pennerbit Narasi. Yogyakarta).
*Penulis adalah Dosen Arkeologi Universitas Jambi, dan Perumus Pembentukan Masyarakat Sejarawan Indonesia Wilayah Jambi.