beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda SOSOK berita


Rabu, 21 Oktober 2020, 07:17 WIB

Hairus Salim

SOSOK

Hairus Salim. Sumber: FB

Oleh: Jumardi Putra*

Gayung bersambut, sehari sebelum buku kumpulan esai berjudul Negara Melodrama (Gading, 2019), karya sineas Garin Nugroho kudapatkan di kantor Yayasan LKiS, wadah kelompok intelektual muda Islam pada era 1990-an hingga 2000-an di Yogyakarta, saya berkunjung ke rumah direktur Gading Publishing, mas Hairus Salim Hs, penulis dua judul buku esai yang terbit belum lama ini, yaitu Gus Dur, Sang Kosmopolit (EA Books, 2020) dan Tuhan Yang Tersembunyi: Renungan dari Balik Aksara (Mojok, 2019).

Dari dua buku tersebut saya menemukan tiga hal sekaligus, yakni kekhasan sudut pandang Mas Hairus Salim baik sebagai pekerja budaya, peneliti, peterjemah, dan satu lagi, santri; strategi literer sehingga perkara berat mampu ditulis ringan dan mengalir; dan penguasaan literatur yang beragam, utamanya yang bertitimangsa pada ranah-ranah kebudayaan, sastra (prosa) salah satunya.

Khusus dari buku Gus Dur, sang Kosmopolit, pembaca menjadi mengerti, sebagaimana diakui penulis dalam kata pengantar, kedekatan dirinya baik secara emosional maupun intelektual dengan sosok karismatik K.H. Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, Presiden keempat RI yang juga penulis hebat. Sebuah perjumpaaan yang tidak banyak orang dapatkan di republik ini.

Mas Hairus Salim ini, selain kakak tingkat beda jurusan di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga senior saya di ARENA, lembaga Pers Mahasiswa (Persma) UIN Sukijo yang terbentuk pada 10 Januari 1975. Dalam masa keemasannya, Goenawan Mohammad menjuluki ARENA sebagai TEMPO kecil (1977), karena format dan isi penerbitan yang ditampilkan hampir sama dengan TEMPO, lebih menekankan pada investigative reporting. Sekarang, masihkah demikian? Wah saya tak bisa menjawab pasti, tapi yang jelas saya bersyukur pernah ditempa di LPM ARENA.hehe

Hasil riset, terjemahan dan tulisan-tulisan populer Mas Hairus Salim terbit dalam bentuk buku dan tersiar di media cetak maupun online, dan tiga tahun belakangan ini, membersamai massifnya penggunaan media sosial, tulisan-tulisan mas Salim mudah dijumpai di portal pemikiran yang lagi naik daun, sebut saja seperti Indoprogress, Mojok, Alif.id, Basabasi, ibtimes, dan beberapa tulisan beliau pernah saya minta untuk dimuat di kajanglako.com. Selain itu, bila luang, coba teman-teman berkunjung ke laman blog pribadi mas Salim di alamat https://haisa.wordpress.com. Di laman tersebut kita bisa melacak tulisan-tulisan salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta ini yang terbit di koran, majalah dan forum-forum diskusi. Umumnya tulisan-tulisan Mas Salim bertitimangsa pada masalah-masalah agama (bukan dalam pengertian formal), jurnalisme, kebudayaan, dan politik kebudayaan.

Selain dua buku tersebut di atas, saya juga mengoleksi buku lulusan pascasarjana antropologi UGM ini, yaitu Politik Ruang Publik: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta (ditulis bersama Najib Kailani dan Nikmal Azekiyah, CRCS, 2011) dan Krisis Keistimewaan: Kekerasan Terhadap Minoritas di Yogyakarta (ditulis bersama Iqbal Ahnaf, CRCS, 2017). Dua buku tersebut menjadi rujukan alternatif mengenai perkembangan keragaman di Sekolah-sekolah Menengah Umum dan tentang Yogyakarta, Kota bergelar pendidikan dan budaya mutakhir. Bukunya yang lain, yaitu Amuk Banjarmasin (Ditulis bersama Andi Achdian, YLBHI, 1997), Modul Belajar Bersama: Membangun Pluralisme dari Bawah (Ditulis bersama Suhadi, CRCS UGM, 2007), Kelompok Paramiliter NU (Tesisnya di Antropolgi UGM yang diterbitkan menjadi buku oleh LKiS, 2004), Berlayar di Tengah Badai: Misbach Thamrin dalam Gemuruh Politik-Seni (Ditulis bersama Hajriansyah, Gading, 2015) dan kumpulan cerita pendek berjudul Matilda, Lelaki Izrail, dan Seorang Perempuan di Masjid Kami (2012). Khusus Kumcernya itu saya dapatkan langsung dari penulis ketika dirinya berkunjung ke Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, delapan tahun yang lalu.

Bukan Mas Hairus Salim namanya jika tidak muncul hal-hal segar dari diri pria kelahiran Tabalong, Kalimantan Selatan, dari campuran darah Banjar-Dayak Bakumpai ini. Ora umum! Demikian para sejawatnya dalam percakapan media sosial menyebut mas Hairus Salim bila menulis sebuah topik atau menyoal isu yang lagi aktual. Belakangan, seolah menyadari terjadinya perubahan drastis umat manusia di planet bumi ini dalam mengakses maupun berbagi informasi, lebih-lebih yang lagi ngetren sekarang ini, yaitu membuat konten melalui kanal youtube. Agaknya mas Hairus Salim secara sadar ingin menjadi bagian positif dalam arus perubahan abad teknologi tersebut, sesuatu yang sama sekali baru baginya, yang selama ini lebih banyak bersentuhan dengan dunia penelitian dan kepenulisan. Sebuah dunia sunyi, jauh dari kilatan kamera maupun panggung-panggung yang menomorsatukan bungkus ketimbang isi.

Saya pikir pilihan mas  Hairus Salim “turun gunung” membuat program dialog literasi #TalkingThirtyMinutes di kanal youtube miliknya (di sini: https://www.youtube.com/channel/UCtScm-BQ5pqA2KPuVwjKiYQ), selain menjawab keperihatinan kita bersama terhadap banyak acara-acara yang tuna-pemikiran (asal mengejar jumlah penonton dan subscribe), juga memberi tempat bagi mereka yang bertungkus lumus dalam bidang atau profesi masing-masing dan memberi manfaat bagi publik luas, yang mungkin selama ini jauh dari amatan kamera televisi, jurnalis maupun youtubers. Sejauh keikutsertaan saya menyaksikan sosok-sosok yang hadir di kanal youtube Mas Salim itu, saya semakin yakin, bahwa hal demikian yang kita butuhkan untuk bersetia menjadi bagian dari komunitas pembelajar, yang tiada henti memperkaya khazanah pengetahuan, meluaskan perspektif, dan menumbuhkan kecintaan pada kedalaman dan menolak segala bentuk kedangkalan, lebih-lebih di era tumpahruah informasi sekarang ini.

**

Kembali ke awal. Maret 2019.

Sesampai di kediaman Mas Hairus Salim, saya langsung diajak ke sisi kanan rumahnya. Pekarangan yang tidak begitu luas, tetapi cukup sebagai tempat kongkow bersama kawan-kawan dekat. Posisinya bersebelahan dengan ruang tengah keluarga dan tepat menghadap ke kamar kerja Mas Salim, yang tentu saja di dalamnya banyak buku. Saya sempat melihat-lihat ke dalamnya. 

Galibnya pegiat budaya, plus santri, obrolan berlangsung santai. Mas Hairus Salim hanya memakai sarung dan berkaos oblong. Tanpa peci. Sesekali ia bersenda gurau dengan Hayat, anak bungsunya yang lagi gemes-gemesnya. Saya lebih banyak melempar pertanyaan ke Mas Salim. Dalam silaturahmi itu saya tidak sendirian karena dalam waktu bersamaan, juga datang tamu, karibnya mas Salim dari Ibukota. Tema obrolan pun beragam, antara lain yang kuingat tentang fenomena keterbelahan politik pasca Pemilu Presiden (lebih mudahnya antara cebong-kampret), persekusi yang kian marak di tanah air, lebih-lebih dalam soal toleransi dan pluralisme; semburan penyimpangan informasi di era post-truth (hoax dan ujaran kebencian), dan satu lagi, maraknya karya tulis yang datang dari kaum santri NU atau pesantren. Soal yang terakhir ini, untuk ukuran Pulau Jawa, tentu saja ini kabar yang membahagiakan, meski juga bukan hal baru, tetapi tidak di Jambi dan daerah-daerah lain di Sumatra, pikirku sekenanya ketika itu.

Obrolan kami tak berhenti di sini, karena oleh tuan rumah, saya dan kawan-kawan diajak santap malam di warung milik sahabatnya yang berlokasi di jalan Pura 203 Sorowajan, Banguntapan, Manggisan, Baturetno, Banguntapan, Bantul, tak jauh dari kediaman Mas Hairus Salim. Usai dari situ kami kembali ke rumahnya melanjutkan percakapan. Ngalor-ngidul lagi. Tetiba sebelum pamit, saya dihadiahi novel terjemahan Gading berjudul “Namaku Asher Lev” karya penulis Chaim Potok (1929-2003). Sebuah novel bermutu yang mengisahkan pergumulan iman dan kehidupan dengan latar belakang keluarga Yahudi Hasidik yang ortodoks.

Novel Namaku Asher Lev ini diakui mas Hairus Salim merupakan bacaan favorit mendiang Gus Dur, dan belum banyak diketahui publik sastra tanah air. Pilihan menerbitkan novel terjemahan berkualitas seperti buku ini, untuk menyebut contoh, dirasa selain beresiko rendahnya serapan pasar, juga terbatasnya peminat. Tetapi saya percaya pandangan demikian tidak sepenuhnya benar, karena buku-buku berkualitas akan selalu menemui pecintanya. Mau tahu apa saja judul-judul buku keren terbitan Gading, sila teman-teman telusuri di alamat web https://gadingpublishing.co.id. Saya jamin memberikan alternatif sumber bacaan bagi tuan dan puan, khususnya buku-buku ilmu sosial hasil riset mendalam dan karya sastra, baik itu karya penulis Indonesia maupun luar negeri (terjemahan).

***

Ngomong-ngomong soal Jambi, mas Hairus Salim pernah berkunjung ke kota Jambi pada 22-24 September 2012. Direktur Yayasan LKiS ini diundang mengisi seminar di kampus UIN STS Jambi. Adapun substansi bahasan mas Hairus Salim di UIN STS Jambi, saya kira Abid, karib saya di Seloko Institute yang lebih tahu. Bahkan, Mas Hairus Salim sempat jalan-jalan menyusuri Kuala Tungkal, menapak jejak-jejak warga dan ulama asal Banjar yang memilih bermigrasi dari Kalimantan Selatan ke Kuala Tungkal di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi, daerah berkultur tua dengan motto Serengkuh Dayung Serentak Ketujuan, berjarak 125 KM dari Ibukota Provinsi Jambi.

Mas Hairus Salim menemukan bukti bahwa orang Banjar telah cukup lama berdiam di Kuala-Tungkal. Jalur migrasi dari Kalimantan Selatan setidaknya: Pertama, sewaktu Tuan Guru Abdurrahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat) yang berasal dari Banjar menjadi mufti di Indragiri, banyak orang Banjar yang kemudian ikut migrasi ke sana, termasuk ke Kuala Tungkal yang secara geografis satu jalur perairan dengan Indragiri. Kedua, orang Banjar awalnya pergi ke Johor Malaysia, dan dari sana kemudian menyeberang ke Kuala Tungkal. Karena itu, menurutnya beberapa daerah di Kuala Tungkal memiliki nama yang sama dengan di Johor. Orang Banjar sendiri meyakini, jauh sebelum migrasi dua jalur itu, mereka juga sudah banyak yang menetap di Kuala Tungkal dan sekitarnya.

Usai membentangkan kertas kerja di UIN STS Jambi dan telusur jejak leluhur di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, mas Hairus Salim mengisi diskusi bertajuk Menggairahkan Studi Tentang Jambi di kantor Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi) di Kotabaru. Pengalaman panjang mas Hairus Salim dalam dunia penelitian dan kepenulisan bermanfaat bagi teman-teman di Jambi, lebih-lebih dirinya menunjukkan minat dan ketertarikan terhadap kajian kebudayaan dan pelestarian situs-situs cagar budaya di tanah air melalui Lumbung Informasi Kebudayaan Indonesia (LIKE Indonesia), sebuah jaringan pekerja kebudayaan.

Kehadiran Mas Hairus Salim di Uncang Budaya DK-Jambi melengkapi nama-nama intelektual baik sebelum maupun sesudahnya, yaitu jurnalis dan sastrawan Elisabeth D. Inandiak (Prancis), antropolog Dr. Jonathan Zilberg (University of Illinois at Urbana-Champaign, USA), antropolog Dr. Adi Prasetidjo (Yogyakarta), antropolog Prof. Muthalib (UIN STS Jambi, peneliti sejarah Tanjung Jabung Barat, Syamsul Bahri, pengacara senior kelahiran Tungkal, Kamal Firdaus (kini mukim di Yogyakarta), aktivis INSIST, pak Roem Topatimasang, dan Prof. Moh Wan Daud dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia.

Demikian. Nah, penjabaran ontran-ontranan Garin Nugroho dalam buku Negara Melodrama segera menyusul setelah tulisan ini.

 

*Penulis adalah pecinta buku dan budaya. Kini bekerja dan tinggal di Kota Jambi.

Editor. KJ-JP

TAGAR: #Sosok#Gading Publishing#LKiS#ARENA#Hairus Salim#Kebudayaan

indeks berita Sosok
SOSOK Senin, 19 September 2022, 14:59WIB
Sumbangan Pemikiran Prof. Azyumardi Azra

Oleh: Jumardi Putra* Sungguh mengejutkan, lebih-lebih dalam kondisi kesehatan saya belum pulih benar, tiba-tiba mendapat berita Prof. Azyumardi Azra wafat di Rumah Sakit Serdang, Selangor, Malaysia, Minggu, 18......

SOSOK Selasa, 13 April 2021, 16:09WIB
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan

Oleh: Fridiyanto* Daniel Dhakidae, seorang begawan ilmu sosial yang mungkin menurut saya tidak terlampau banyak dikenal di kalangan akademisi perguruan tinggi islam. Setidaknya ini saya amati di beberapa grup......

SOSOK Rabu, 30 Desember 2020, 07:53WIB
Gus Dur, Santri Par Exellence

Oleh: Jumardi Putra* Gus Dur, sosok yang kerap melontarkan ungkapan “Gitu Aja Kok Repot” ini kerap disematkan sebagai santri neo modernis par excellence. Sebutan demikian rasanya tak berlebihan bila......

SOSOK Minggu, 20 Desember 2020, 19:56WIB
Mengenal Riwanto Tirtosudarmo

Oleh: Jumardi Putra* Berjumpa seorang intelektual dan darinya kita bisa bekerja sama sekaligus mendapatkan asupan pengetahuan adalah sesuatu yang membahagiakan. Demikian saya rasakan ketika mengenal sosok Pak......