beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda SOSOK berita


Minggu, 19 September 2021, 08:00 WIB

Ketangguhan Membaca dan Menulis Seorang Riwanto Tirtosudarmo

SOSOK

Buku karya Riwanto Tirtosudarmo

Oleh: Anggi Afriansyah*

Rabu, 15 September 2021 saya menerima pesan dari Pak Riwanto Tirtosudarmo. Dalam pesan itu ia mengirim sebuah buku Berjudul “Mencari Indonesia 3: Esai-Esai Masa Pandemi”. Ia juga menulis “Tolong anda tulis kritik terhadap buku itu”.

Saya langsung menyanggupi meski sadar bahwa menulis kritik terhadap sebuah buku bukanlah perkara mudah, apalagi buku yang harus dibedah merupakan publikasi terbaru dari salah satu peneliti senior panutan, Riwanto Tirtosudarmo.

Saya memanggilnya dengan sebutan Pak Riwanto sebab Ia merupakan senior yang cukup jauh berjarak secara usia maupun intelektual. Selama di LIPI, saya tidak pernah bersinggungan langsung dengan Pak Riwanto dalam aktivitas penelitian. Saya hanya menyaksikan Pak Riwanto dalam diskusi-diskusi formal maupun informal yang diselenggaran di LIPI beberapa tahun lalu.

Perjumpaan pertama adalah ketika diskusi mengenai teori-teori sosial dengan para senior seperti Pak Dedy Adhuri, Mas Cahyo Pamungkas, Kang Amin Mudzakir, Mba Tine, Kang Ali dan Mas Triyono. Dalam diskusi tersebut saya terpesona dengan penguasaan teori-teori sosial yang disampaikan oleh Pak Riwanto. Tidak ada perjumpaan intens setelah itu selain dari bacaan terhadap beberapa tulisan Pak Riwanto juga esai-esai reflektif yang diterbitkan di kajanglangko.com salah satu portal media online di Jambi.

Menurut Pak Riwanto, Esai-esai yang disampaikan pada Buku “Mencari Indonesia 3: Esai-Esai Masa Pandemi” merupakan catatan yang dibuat di masa pandemi. Di masa pandemi di mana mobilitas dibatasi, Ia lebih banyak berada di rumah dan membaca buku. Selain membaca ia juga memproduksi tulisan-tulisan reflektif terkait dengan buku yang dibaca, mengenang teman yang sudah wafat, pandangan mengenai situasi kebangsaan, dan juga situasi pandemi.

Buku ini juga menjadi buku ketiga yang menggunakan tajuk “Mencari Indonesia” setelah di tahun 2007 terbit Mencari Indonesia: Demografi-Politik Pasca Suharto dan di tahun 2013 Mencari Indonesia 2: Batas-Batas Rekayasa Sosial. Mencari Indonesia, seolah tidak pernah usai, dan menjadi proses yang terus menerus diupayakan. 

Buku ini semacam peneguhan, meskipun Pak Riwanto sudah pensiun, kecakapannya dalam memproduksi tulisan tidak pudar. Keluwesannya dalam mengurai situasi kebangsaan dengan bedahan teori tertentu menjadi kekuatan setiap tulisan-tulisan yang disampaikan pada buku ini.

Selain juga pengalaman panjang berinteraksi dengan berbagai ilmuwan sosial, jurnalis maupun tokoh-tokoh publik berpengaruh menjadi salah satu keunggulan. Ini juga dibahas oleh Ibnu Nadzir dalam prolog di buku ini. Hal tersebut menjadi kemewahan tersendiri dalam proses pergulatan intelektual seorang Riwanto Tirtosudarmo. Ekosistem tersebut tentu tidak bisa dimiliki oleh setiap peneliti, apalagi di era saat ini di mana diskusi reflektif menjadi hal yang sangat langka. Peneliti ditarget berbagai capaian yang harus dipenuhi jika tidak ingin terlempar dari arena penelitian.

Pembacaan detail terhadap tokoh, intensi perjumpaan, ingatan, dan observasi mendalam menjadi kekuatan Pak Riwanto dalam menuliskan tokoh-tokoh tersebut dan tentu saja itu bukan perkara mudah. Dalam konteks produksi tulisan pun demikian, tidak mudah menulis konsisten dalam rentang waktu yang panjang. Situasi tersebut membutuhkan perkawinan antara keterampilan menulis, kecerdasan, kecermatan, konsistensi dan ketangguhan dalam menyelesaikan tulisan.

Ia juga tidak segan mengkritik tokoh yang ditulisnya seperti pada tulisan “Setelah Puja-Puji Itu”. Tentu ini pelajaran penting bagi peneliti yang baru merintis medan juang dunia penelitian. Di sisi lain, catatan-catatan terkait tokoh yang disajikan dalam buku ini menunjukkan betapa kuatnya daya jelajah membaca, kemampuan membaca peristiwa, dan relasi atau jaringan Pak Riwanto.

Jumardi Putra dalam esainya yang berjudul “Mengenal Riwanto Tirtosudarmo” (https://kajanglako.com/id-12197-post-mengenal-riwanto-tirtosudarmo.html) menyebutkan sudah puluhan tokoh dan intelektual yang ditulis oleh Pak Riwanto. Tokoh-tokoh yang mungkin tak dikenal oleh generasi milenial atau bahkan Z. Saya kutipkan tulisan Jumardi Putra di sini:

“Saya ingin menyebut nama-nama intelektual yang pernah ditulis oleh pak Riwanto di rubrik sosok kajanglako, antara lain yaitu George Junus Aditjondro (pemikir kiri), Bennedict Anderson, Max Lane, Herbet Feith, Takashi Shiraishi, dan Van Vollenhoven (kelimanya adalah indonesianis), Widjojo Nitisastro (arsitek ekonomi era Soeharto), AB. Kusuma (peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara UI), S.K. Trimurti, Dewi Sartika, dan RA Kartini (tokoh perempuan/pahlawan nasional), Soe Hok-Gie, Arief Budiman, Herman Lantang, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, Th. Sumartana, Nono Anwar Makarim, dan Masri Singarimbun (Aktivis 66 hingga peristiwa Malari), Nurcholis Madjid (cendekiawan muslim), Gus Dur (Presiden, Kiai, dan tokoh Prodemokrasi), Sinta Nuriyah Wahid (Istri Gus Dur dan pejuang toleransi), Syafii Ma’arif (Intelektual/Guru Bangsa), K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus (Ulama/Budayawan), Mayling Oey (ahli ekonomi), Mely G. Tan (LIPI/Ahli Tionghoa), Paramitha Abdurachman (Ahli portugis/LIPI), Abdurrahman Surjomihardjo (ilmuwan sosial/LIPI), Abdul Rachman Patji (Antropolog/LIPI), Dawam Rahardjo dan Jalaludin Rakhmat (Intelektual Islam).

Begitu juga sosok Taufik Abdullah, Adrian B. Lapian, Asvi Warman Adam, dan Ong Hok Ham (keempatnya Sejarawan), Sajogyo dan Gunawan Wiradi (Intelektual dan pejuang agraria/IPB), Karlina Supelli (Filusuf/STF Driyarkara), Toeti Heraty (UI/Filusuf), Franz Magnis Suseono (Pilusuf/STF Driyarkara), Goenawan Mohamad (Jurnalis Tempo/Budayawan), Toeti Soewarti Kakiailatu (Jurnalis), Jakob Oetama (Jurnalis/Pendiri Kompas), Bisri Efendy (LIPI/Budayawan), Manuel Kaisiepo (Intelektual), Sangkot Marzuki (Ahli bioginesis dan kelainan genetik manusia), Bambang Hidayat (Ahli astronomi/ITB), Adnan Buyung Nastion (Pengacara/Pendiri LBH), Edy Sediawaty (Arkeolog/Penari/Dirjen Kebudayaan Kemdikbud), Yudi Latif (AIPI/Intelektual), Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Adji Darma, NH. Dini, Ayu Utami, dan Laksmi Pamuntjak (kelimanya sastrawan), Iti Ningsih (Guru Riwanto Tirtosudarmo saat SMA dan istri dari penyair angkatan 66 yaitu Piek Ardijanto Soeprijadi), Mariane Katoppo (Pendeta), Jo Rumeser (aktivis 1970-an), Sumarsih (peserta aksi kamisan yang menuntut pengadilan atas kejahatan penculikan terhadap tokoh dan mahasiswa saat reformasi), Gunarti (Tokoh perempuan Sedulur Sikep), Asfinawati (Tokoh LBH), Anis Hidayah (Aktivis HAM/Migrant Care), Raden Saleh, Semsar Siahaan dan Dolora Sinaga (ketiganya Perupa), Garin Nugroho (Sineas), Luhut Binsar Pandjaitan (Politisi), Mundarjito (Arkeolog), dan Pengendum Tampung (Tokoh muda Orang Rimba di Jambi).”

Di dalam buku ini disajikan puluhan tulisan yang merupakan refleksi mendalam dari Pak Riwanto. Ada ragam tema yang dituliskan dalam rentang masa pandemi. Ketika membaca buku ini saya kesulitan untuk menemukan titik kritik yang bisa saya tuangkan dalam tulisan ini. Yang bisa saya dapatkan justru pelajaran menulis esai pendek tetapi kokoh secara argumen. Jadi tulisan yang saya buat ini akhirnya tidak bisa menyampaikan kritik yang utuh terhadap buku karya Pak Riwanto. Tetapi, karena diminta mengkritik, kritik saya hanya satu, di dalam buku ini tidak ada pembabakan tulisan secara khusus dan juga jahitan benang merah yang menunjukkan keterkaitan antara satu tulisan dengan tulisan lain. Jika kita baca, setiap tulisan berdiri sendiri.

Tetapi memang sejak awal buku ini memang kumpulan esai, jadi sudah pasti ada kesulitan tersendiri dalam membabakan setiap tulisan dan menjahit keterkaitan satu dengan lainnya. Meski demikian sebagai kumpulan esai, buku ini bisa dibaca secara acak. Pembaca dapat membaca beberapa tulisan yang menarik perhatian masing-masing tanpa khawatir kehilangan konteks seluruh tulisan.

Di tiap esai Pak Riwanto mempertanyakan berbagai hal yang sudah mapan dan mengaitkannya dengan ragam peristiwa dan teori. Kelihaian dalam menilik peristiwa aktual dan mengaitkan dengan berbagai teori sosial menjadi salah satu bukti pengalamannya di dunia akademika. Sebagai contoh saja misalnya: Soal reorganisasi kekuasaan, reorientasi struktur sosial dan kesadaran baru tentang makna pembangunan dalam esai Bias Kelas Covid-19 (hlm. 5-8); relasi COVID-19 dengan politik, kerjasama aktif dan kreatif masyarakat, dan model gaya kepemimpinan dalam esai COVID-19 dan Kepemimpinan Baru (hlm. 13-19); reorganisasi, rekonstruksi dan restrukturasi dalam konteks kebangkitan bangsa dalam membicarakan normal baru dalam esai Kebangkitan Nasional dan New Normal (hlm. 15-19); atau kritiknya terhadap PSBB sebagai bentuk forced migration yang hanya relevan untuk kelas menengah dalam esai PSBB, Forced Migration dan Normal Baru.

Poin menarik yang juga disajikan dalam kumpulan esai ini adalah tinjauan singkat terhadap buku-buku yang dibaca oleh Pak Riwanto. Beberapa buku yang aa tulis tinjauaun singkatnya antara lain buku “Wawasan Pancasila” Yudi Latif, “Kekasih Musim Gugur” Laksmi Pamuntjak, “Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan” Syafaatun Almizanah, “Man of Contradictions” Ben Bland, dan “Berhala-Berhala Infrastruktur: Potret dan Paradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus” I Ngurah Suryawan dan Muhammad Azka Fahriza (editor), “How Democracies Die” Steven Levitsky and Daniel Ziblatt.

Tinjauan buku ini menunjukkan satu poin penting, bahwa membaca adalah proses intelektual tanpa henti meski secara formal ada masa pembatasan usia pensiun. Meksi sudah pensiun, membaca adalah sesuatu yang krusial yang harus dilakukan oleh seorang cendikia.

Ada banyak esais yang saya gemari, Pak Riwanto salah satunya. Menulis esai bukan perkara mudah dan hal yang digemari oleh para peneliti. Sehingga, ketika seorang peneliti senior memberi contoh bagaimana menulis esai, tentu ini menjadi poin positif. Ketika seorang akademika secara cepat namun tetap cermat membaca suatu peristiwa dan memberikan pandangannya untuk publik. Esai ringkas namun padat menjadi salah satu hal yang penting untuk tetap disajikan di tengah banjir informasi yang begitu dahsyat. Di tengah situasi matinya kepakaran seperti yang dituliskan oleh Tom Nichols (2017) dalam The death of expertise: the campaign against established knowledge and why it matters. Esai-esai segar, kritikal dan reflektif dipelukan agar bangsa ini tetap awas dan waras.

Setelah membaca esai-esai karya Pak Riwanto saya jadi teringat “Buku Inilah Esai” Muhidin M. Dahlan. Apa itu esai? Esai adalah cerminan, mediasi, percobaan pengungkapan gagasan yang diekspresikan secara licin dengan bahasa yang lentur sebut Montaigne (Dahlan, 2016). Maka, esai-esai yang disajikan dalam buku ini merupakan cerminan, mediasi dan pengungkapan gagasan dari seorang Riwanto Tirtosudarmo yang diekspresikan secara licin dan dalam bahasa yang lentur.

Akhirul kata, saya mengapresiasi atas terbitnya buku ini. Buku ini menjadi penanda jejak langkah dari sosok intelektual yang perlu dicermati bersama. Buku ini semacam rekaman memori yang tertulis dari sosok yang tangguh membaca dan menulis. Selamat dan salam hormat dari saya.

*Penulis adalah peneliti Pusat Riset Kependudukan- BRIN.

Editor. KJ

TAGAR: #Sosok#Riwanto Tirtosudarmo#Pandemi Covid19#Mencari Indonesia

indeks berita Sosok
SOSOK Senin, 19 September 2022, 14:59WIB
Sumbangan Pemikiran Prof. Azyumardi Azra

Oleh: Jumardi Putra* Sungguh mengejutkan, lebih-lebih dalam kondisi kesehatan saya belum pulih benar, tiba-tiba mendapat berita Prof. Azyumardi Azra wafat di Rumah Sakit Serdang, Selangor, Malaysia, Minggu, 18......

SOSOK Selasa, 13 April 2021, 16:09WIB
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan

Oleh: Fridiyanto* Daniel Dhakidae, seorang begawan ilmu sosial yang mungkin menurut saya tidak terlampau banyak dikenal di kalangan akademisi perguruan tinggi islam. Setidaknya ini saya amati di beberapa grup......

SOSOK Rabu, 30 Desember 2020, 07:53WIB
Gus Dur, Santri Par Exellence

Oleh: Jumardi Putra* Gus Dur, sosok yang kerap melontarkan ungkapan “Gitu Aja Kok Repot” ini kerap disematkan sebagai santri neo modernis par excellence. Sebutan demikian rasanya tak berlebihan bila......

SOSOK Minggu, 20 Desember 2020, 19:56WIB
Mengenal Riwanto Tirtosudarmo

Oleh: Jumardi Putra* Berjumpa seorang intelektual dan darinya kita bisa bekerja sama sekaligus mendapatkan asupan pengetahuan adalah sesuatu yang membahagiakan. Demikian saya rasakan ketika mengenal sosok Pak......