Oleh: Jumardi Putra*
Berjumpa seorang intelektual dan darinya kita bisa bekerja sama sekaligus mendapatkan asupan pengetahuan adalah sesuatu yang membahagiakan. Demikian saya rasakan ketika mengenal sosok Pak Riwanto Tirtosudarmo, ahli demografi yang hari-hari bekerja sebagai peneliti senior di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI).
Kali pertama berjumpa pria berambut putih ini pada tahun 2017 saat saya dan kawan-kawan Seloko Institute membantu menghubungkannya bersama tim, yaitu antropolog Dedi S. Adhuri, mbak Tine Suartine, mas Aliyansyah, mas Saiful Hakam dan Triyono, ke beberapa lembaga di Jambi sekaligus berbagi sumber literatur yang berkaitan dengan subjek penelitian yang mereka kerjakan. Alhamdulillah riset mereka tentang orang Rimba di Jambi berjalan lancar.
Sejak itu komunikasi antara kami boleh dikata intens, dan lebih kepada berbagi pemikiran. Sesekali bila bepergian ke Ibukota saya menyempatkan singgah di LIPI, dan bahkan mengunjungi padepokannya di Tonjong, Bogor, jika tidak di rumahnya di Jakarta Timur.
Saya lupa persisnya. Suatu hari saya menawarkan kepada doktor jebolan universitas Nasional Australia ini menulis artikel di website baru seumur jagung yang digawangi anak-anak muda di Kota Jambi, yaitu kajanglako.com, media online yang tidak saja memuat berita seputar Jambi, tetapi juga menyediakan gelanggang pemikiran.
Muncul pertanyaan di awal kehadiran kajanglako.com, yaitu apakah seluruh gagasan yang dimuat kajanglako mesti tentang daerah yang sekarang disebut sebagai Jambi? Tidak. Terbuka terhadap isu apa saja, lebih-lebih pada isu maupun peristiwa yang abai ditilik oleh media mainstream. Jika pun ronanya memberikan penekanan pada lokal Jambi, itu tak lain kesadaran awak redaksi bahwa minimnya dokumentasi dan publikasi tentang Jambi tersebab lantaran sedikit, kalau bukan sangat terbatas, media yang betul-betul mau menggairahkan studi maupun penulisan tentang Jambi. Dan kajanglako, turut hadir menjadi bagian dari langkah mini menjawab persoalan tersebut.
Ajakan saya tadi itu diamini oleh pak Riwanto dalam bentuk anggukan. Meski saya tidak tahu pasti kapan beliau akan menulis di kajanglako, saya sudah bahagia, apalagi sedari awal saya mengatakan pada beliau bahwa redaksi belum memiliki kemampuan menyediakan saguhati untuk beliau, sebagaimana juga terhadap penulis-penulis lain yang sudi berbagi pemikiran melalui rubrikasi yang sediakan oleh kajanglako.com, seperti artikel, esai, puisi, sosok, wawancara, jejak, resensi buku dan cerita pendek.
Ket: Salah satu karya Dr. Riwanto Tirtosudarmo.
Waktu terus berjalan. Puluhan penulis dari berbagai kampus di tanah air terus hadir menorehkan gagasannya melalui portal kajanglako. Gayung pun bersambut, bersamaan dengan purnatugasnya di LIPI, pak Riwanto memberi kabar akan menulis secara rutin di kajanglako.com. Terang saja saya bersukacita. Sebuah kehormatan bagi kajanglako. Apa sebab? Tadinya saya berharap pada lelaki asal Tegal ini menulis sesempatnya, mengingat kesibukan dirinya di LIPI maupun di organisasi keilmuan di luar LIPI, tetapi nyatanya lebih dari itu. Alhamdulillah.
Obrolan kami kian intensif, dan disepakati pak Riwanto akan menulis setiap hari Senin di rubrik sosok. Sebuah rubrik yang memuat pandangan maupun kesan pak Riwanto terhadap individu-individu berbedikasi di bidangnya, baik itu dalam maupun luar negeri. Tulisan perdana pak Riwanto di kajanglako dimulai pada Senin, 20 Mei 2019.
Kehadiran rubrik ini disambut hangat oleh nitizen dan menambah suplemen bagi pembaca kajanglako yang sebelumnya juga bersukacita atas kehadiran rubrik Telusur, yang memuat tulisan khusus seputar sejarah Jambi dan Sumatra berdasarkan naskah klasik Belanda yang diampu oleh antropolog Frieda Amran, yang telah lama mukim di Belanda.
Selain mengampu rubrik sosok, pak Riwanto juga kerap menulis artikel menyoal isu-isu aktual di tanah air, lebih-lebih menyoal keseriusan pemerintah dalam penanggulangan virus corona. Memungkasi tahun 2020, tidak kurang dari seratus tulisan pak Riwanto sudah dimuat kajanglako dalam kurun waktu belum genap dua tahun berjalan. Menimbang produktifitas sekaligus jumlah pembaca tulisan-tulisan pak Riwanto yang terus meningkat, maka redaksi kajanglako bersepekat membuat rubrik Akademia, yang memuat sosok maupun artikel yang merespon isu atau peristiwa aktual di tanah air.
Saya menaruh hormat pada pak Riwanto. Di tengah kesibukannya meneliti dan menulis untuk buku, jurnal dan publikasi internasional, penyuka buku-buku sastra ini masih berkenan menulis artikel di website kajanglako. Melaluinya berdatangan penulis-penulis hebat lainnya di kajanglako, dan tentu saja turut meningkatkan keterbacaan portal kajanglako pada segmen pembaca kelas menengah intelektual di berbagai daerah di tanah air.
Hal lain yang membahagiakan saya sepanjang berinteraksi dengan beliau yaitu sebelum tulisan pak Riwanto dibaca publik, barangkali sayalah orang pertama yang membaca, mengedit (sejauh diperlukan) dan tentu saja memuatnya. Dalam kesempatan inilah saya belajar dengan pak Riwanto. Acapkali kami berdiskusi terlebih dahulu berkaitan substansi maupun teknis penulisan.
Melalui tulisan-tulisan pak Riwanto tampak jelas keluasan pemikiran sekaligus jangkauannya terhadap beragam sumber literatur, meski secara keilmuan beliau memiliki kepakaran di bidang demografi, yang dalam kesempatan bersamaan beliau juga menunjukkan atensi yang begitu kuat terhadap antropologi, sosiologi, dan politik kebudayaan. Ringkasnya, kuatnya kaitan antara demografi, politik, dan sosial. Apatahlagi struktur demografi berpengaruh pada perubahan politik di sebuah negara.
Di samping itu, melalui sosok-sosok yang ditulisnya saban Senin di kajanglako, pembaca bisa mengetahui corak pengetahuan, orang-orang yang turut mewarnai intelektualitas sekaligus karirnya di LIPI yang pernah menjadi “kiblat” ilmu sosial, serta kiprah sekaligus pemikiran beragam intelektual baik yang ia baca maupun yang berinteraksi langsung dengan dirinya. Intelektual-intelektual yang ditulisnya datang dari beragam ideologi pemikiran, disiplin ilmu, profesi, agama, gender, dan usia. Andaipun yang mempertemukan dari keseluruhan sosok yang majemuk itu, mulai dari yang paling baheula hingga yang kiwari, demikian itu adalah mereka yang bertungkus lumus di dunia pergerakan, pemikiran (pengetahuan) dan memiliki kegelisahan yang besar terhadap perbaikan negara dan bangsa ini, terutama soal HAM, kebinekaan, toleransi dan hubungan antar agama, budaya penelitian, oligarki dan korupsi, politik kebudayaan, dan ketimpangan sosial imbas penetrasi neoliberalisme.
Saya ingin menyebut nama-nama intelektual yang pernah ditulis oleh pak Riwanto di rubrik sosok kajanglako, antara lain yaitu George Junus Aditjondro (pemikir kiri), Bennedict Anderson, Max Lane, Herbet Feith, Takashi Shiraishi, dan Van Vollenhoven (kelimanya adalah indonesianis), Widjojo Nitisastro (arsitek ekonomi era Soeharto), AB. Kusuma (peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara UI), S.K. Trimurti, Dewi Sartika, dan RA Kartini (tokoh perempuan/pahlawan nasional), Soe Hok-Gie, Arief Budiman, Herman Lantang, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, Th. Sumartana, Nono Anwar Makarim, dan Masri Singarimbun (Aktivis 66 hingga peristiwa Malari), Nurcholis Madjid (cendekiawan muslim), Gus Dur (Presiden, Kiai, dan tokoh Prodemokrasi), Sinta Nuriyah Wahid (Istri Gus Dur dan pejuang toleransi), Syafii Ma’arif (Intelektual/Guru Bangsa), K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus (Ulama/Budayawan), Mayling Oey (ahli ekonomi), Mely G. Tan (LIPI/Ahli Tionghoa), Paramitha Abdurachman (Ahli portugis/LIPI), Abdurrahman Surjomihardjo (ilmuwan sosial/LIPI), Abdul Rachman Patji (Antropolog/LIPI), Dawam Rahardjo dan Jalaludin Rakhmat (Intelektual Islam).
Begitu juga sosok Taufik Abdullah, Adrian B. Lapian, Asvi Warman Adam, dan Ong Hok Ham (keempatnya Sejarawan), Sajogyo dan Gunawan Wiradi (Intelektual dan pejuang agraria/IPB), Karlina Supelli (Filusuf/STF Driyarkara), Toeti Heraty (UI/Filusuf), Franz Magnis Suseono (Pilusuf/STF Driyarkara), Goenawan Mohamad (Jurnalis Tempo/Budayawan), Toeti Soewarti Kakiailatu (Jurnalis), Jakob Oetama (Jurnalis/Pendiri Kompas), Bisri Efendy (LIPI/Budayawan), Manuel Kaisiepo (Intelektual), Sangkot Marzuki (Ahli bioginesis dan kelainan genetik manusia), Bambang Hidayat (Ahli astronomi/ITB), Adnan Buyung Nastion (Pengacara/Pendiri LBH), Edy Sediawaty (Arkeolog/Penari/Dirjen Kebudayaan Kemdikbud), Yudi Latif (AIPI/Intelektual), Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Adji Darma, NH. Dini, Ayu Utami, dan Laksmi Pamuntjak (kelimanya sastrawan), Iti Ningsih (Guru Riwanto Tirtosudarmo saat SMA dan istri dari penyair angkatan 66 yaitu Piek Ardijanto Soeprijadi), Mariane Katoppo (Pendeta), Jo Rumeser (aktivis 1970-an), Sumarsih (peserta aksi kamisan yang menuntut pengadilan atas kejahatan penculikan terhadap tokoh dan mahasiswa saat reformasi), Gunarti (Tokoh perempuan Sedulur Sikep), Asfinawati (Tokoh LBH), Anis Hidayah (Aktivis HAM/Migrant Care), Raden Saleh, Semsar Siahaan dan Dolora Sinaga (ketiganya Perupa), Garin Nugroho (Sineas), Luhut Binsar Pandjaitan (Politisi), Mundarjito (Arkeolog), dan Pengendum Tampung (Tokoh muda Orang Rimba di Jambi).
Keseluruhan invidividu-individu itu oleh pak Riwanto tidak dihadirkan sebagai artefak ataupun bersifat informatif belaka, melainkan mengetengahkan goresan pemikiran maupun jejak pergerakan mereka yang benang merahnya memiliki relevansi dengan problem kultural maupun struktural yang dihadapi oleh Indonesia sekarang ini. Meski tidak mendalam sebagaimana tulisan di jurnal-jurnal, tentu artikel pak Riwanto bisa menjadi pintu pembuka bagi usaha-usaha lanjutan untuk menelusuri lebih jauh tentang pemikiran maupun sepak terjang sosok-sosok tersebut dalam bingkai keindonesiaan.
Kemarin malam Pak Riwanto mengirimkan pesan melalui aplikasi perpesanan whatsapp bentuk logo kampung Limasan, Tonjong, yang dibawahnya tertulis “di mana biji ditanam dan tumbuh kuat.” Saya merasakan pesan yang begitu kuat dari situ, selain sebagai pijakan juga sebagai bekal menyongsong hari-hari depan bagi sebuah generasi. Di situlah kiranya kawah candradimuka, yang secara sadar digagas oleh pak Riwanto, selain mengisi hari-hari dalam masa purnatugasnya, juga menjadi titik temu orang-orang yang dengan penuh kebesaran jiwa dan ketulusan hati sekaligus kesungguhan berbagi oase dan pemikiran bagi generasi yang ingin berbuat yang terbaik untuk kehidupan, tidak terkecuali untuk bangsa tercinta ini, tanah air Indonesia.
Terima kasih pak Riwanto. Semoga senantiasa sehat sehingga kami bisa membaca tulisan-tulisan bapak.
*Kota Jambi, 20 Desember 2020.
Editor. KJ-JP