Oleh: Jumardi Putra*
Siang itu langit kota Jambi berawan cerah. Saya bergegas mengendarai motor dari Jalan Jenderal Ahmad Yani menuju Museum Siginjei di Jalan Urip Sumoharjo, Kec. Telanaipura, Kota Jambi. Pasalnya di Museum yang dulunya bernama Museum Negeri Jambi itu sedang berlangsung Pameran Koleksi Etnografi, rangkaian dari perhelatan Kenduri Swarnabhumi (18/9).
Sudah tidak terbilang kunjungan saya ke Museum Siginjei, entah itu untuk keperluan melihat koleksi buku-buku sejarah di salah satu sudut ruangan bagian belakang dari gedung itu, mencermati keseluruhan koleksi benda bersejarah di ruang utama, melihat proses revitalisasi naskah atau manuskrip kuno, mendampingi beberapa peneliti baik dalam maupun luar negeri yang ingin melihat langsung koleksi Museum, atau sekadar bercakap-cakap dengan sejawat di situ yang bertugas merawat dan memasyarakatkan informasi pelbagai koleksi Museum Siginjei ke khalayak luas tentang benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya dan/atau bukan cagar budaya yang merupakan bukti material hasil budaya dan/atau material alam dan lingkungan di wilayah Provinsi Jambi, yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, teknologi, dan/atau pariwisata.
Galibnya pameran spesifik yang dibuat secara reguler, kali ini Museum Siginjei mengangkat tema Koleksi Etnografi, rekam jejak kekayaan kultural masyarakat di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah untuk pelestarian warisan budaya berkelanjutan. Di tengah globalisasi dengan dukungan teknologi informasi yang begitu cepat, ide menghadirkan pameran ini perlu diapresiasi, selain ke depan perlu juga memikirkan kehadiran pameran secara virtual sehingga dapat diakses oleh publik secara luas. Jelas ini pekerjaan rumah yang mesti diejawantahkan oleh Museum Siginjei seiring flatform media sosial yang mempertemukan individu-individu maupun komunitas serta stakeholder senafas lainnya sehingga dengan cepat dapat mengenalkan budaya Jambi tanpa kendala tapal batas administrasi wilayah.
***
Setiba di Musuem Siginjei, saya langsung masuk ke ruang pameran, sebuah gedung yang biasanya disewa warga sebagai tempat resepsi pernikahan. Artinya, gedung ini memang tidak didesain khusus sebagai galeri untuk pameran, berbeda dengan ruang-ruang pajangan koleksi benda bersejarah di bagian lain di gedung Museum Siginjei itu. Saat yang sama, di luar gedung pameran, tepatnya di laman Museum baru saja usai pembukaan pameran secara resmi oleh Gubernur Jambi, dan galibnya ibu-ibu asyik menyanyi dengan diiringi organ tunggal. Saya tidak ambil pusing melihat fenomena demikian itu, dimana tidak sedikit acara pemerintahan kerap didesain diiringi seremoni yang jumud, repetifif dan membosankan.
Meski sudah berkali-kali melihat koleksi yang sama di waktu dan momen lain, pameran sekarang ini tetap saja menyentuh sisi emosi sekaligus mengakrabi kembali pengetahuan saya sebagai anak dusun yang lahir dan tumbuh besar di sebuah Desa nun jauh dari Kota Bungo, tepatnya di Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, bejarak sekitar 8 sampai 9 jaman untuk sampai ke Kota Jambi, pusat Pemerintah Provinsi Jambi.
Hal pertama yang ingin saya lihat dalam pameran tersebut adalah replika Keris Siginjei dan senjata tajam berukir khas lainnya. Hal itu bukan tanpa sebab, karena sehari sebelum pameran Etnografi dibuka untuk umum, 17 September 2023, saya mendapat kabar sebagian gedung Museum Nasional di Jakarta dilahap si jago merah. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI sudah melaporkan perkembangan kejadian kebakaran yang menimpa Museum Nasional serta dampak yang terjadi terutama keamanan terhadap koleksi benda-benda bersejarah. Alhamdulillah Keris Siginjei tidak terdampak oleh kebakaran tersebut. Sehingga apa yang membuat Keris Siginjei demikian penting bagi masyarakat Provinsi Jambi?
A. Mukty Nasruddin, dalam bukunya, Jambi Dalam Sejarah Nusantara: 692-1949 (1989:419), mengungkapkan kesaksiannya (kalau bukan ketakjuban) terhadap pusaka Kesultanan Jambi, “Sekarang kami serahkan kepada Bapak sebagai penyerahan tanah dan jiwa rakyat Jambi kepada Pemerintah Republik Indonesia. Keris (Si Ginjei) diangkat oleh pewaris, diserahkan kepada Bapak M. Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia. Banyak orang tua menitikan air mata karena upacara itu membawa kenangan kepada setiap penobatan Rajasari (Raja Sehari) sebagai raja ad interm menjelang penobatan raja esok harinya. Hanya penyerahan keris kali ini tidak diiringi tembakan meriam sebanyak 20 kali. Banyak orang terpesona oleh karena baru mengenal perangkat Kerajaan/Kesultanan Jambi dahulu itu. Penuh kegembiraan bahwa apa yang mereka rasa hilang selama ini, bertemu kembali. …”.
Jauh sebelum itu, G.J.Velds, dalam bukunya, De Onderwerping van Djambi, 1901-1907; Beknopte Geschiedenis Naar Officieele Gegevens. Indisch Militair Tijdscrift, Extra-bijlage 24 (1909: 149), menyebutkan penyerahan regalia Kesultanan Jambi yang berupa keris Si Ginjei dan Senja Merjaya oleh Pangeran Prabu Negara dan Pangeran Ratu kepada asisten Residen O.L. Petri pada tanggal 26 Maret 1904, yang selanjutnya diserahkan kepada Departement van Binnenlandsch Bestuur, dan diteruskan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang kini Museum Nasional.
Penyerahan pusaka yang dihadiri seorang kontrolir, Kemas Kadir, dan Residen Palembang bernama J.A van Rijn Alkemade itu menggambarkan bahwa para pembesar Jambi mengakui secara resmi kekuasaan tertinggi dan langsung atas Jambi telah berpindah ke dalam pemerintah Hindia Belanda. Begitu ringkasan sejarah terkait Keris Siginjei tersebut sehingga samapai saat ini tersimpan aman di Museum Nasioanal.
***
Koleksi etnografi di Museum Siginjei secara umum dibagi ke dalam empat klasifikasi utama yakni piranti saji, permainan tradisional, pembukaan, pengolahan dan hasil pertanian, alat musik tradisional serta budaya berburu. Kesemuanya itu menunjukkan material kebudayaan dari hasil olah pikir dan interaksi masyarakat di Provinsi Jambi dengan alam, lingkungan dan budaya yang melingkupi baik di dalam maupun di luar wilayah kelompok atau komunitas mereka.
Ragam koleksi etnografi tersebut menegaskan bahwa masyarakat Jambi merupakan masyarakat yang heterogen, tumbuh dan berkembang serta berdampingan dengan pelbagai latar belakang masyarakat baik segi keyakinan atau agama, bahasa dan etnis, yang kesemuanya berkewajiban merawat kemajukan dan bebarengan memajukan Jambi dengan prinsip" dimana bumi dipijak-di situ langit dijunjung, di mano tembilang tercacak-di situ tanaman tumbuh, idak membawa cupak dengan gantang".
Melalui Piranti Saji, saya mengenal kembali kuliner dan hal-hal yang melingkupinya. Sejak zaman kerajaan, kegiatan makan bukan sekadar menikmati sajian, tetapi ada jamuan megah dengan perangkat makan lengkap. Perkakas yang dibuat pun tidak lepas dari sentuhan seni seperti anyaman, gerabah, sampai ornamen perak tradisi. Meski dalam intensitas yang rendah, piranti saji itu kini masih dipertahankan, biasanya digunakan sebagai hantaran pernikahan atau wadah makanan dan buah-buahan serta tutup saji dari anyaman yang memiliki motif yang khas. Sebagai generasi kelahiran medio 80-an saya masih melihat piranti saji tersebut, meski harus saya akui makin ke sini perlahan-lahan telah beralih menjadi barang langka atau barang antik, yang berjarak dengan pemikiran dan mentalitas generasi pendukung kebudayaannya sendiri, dimana ia tumbuh, berkembang dan lestari.
Selanjutnya, melalui koleksi permainan tradisional, saya bisa mengetahui fungsinya sebagai alat hiburan (mencari kesenangan), pengisi waktu luang dan sebagai sarana sosialisasi nilai-nilai budaya masyarakat pendukungnya. Saya melihat permainan tradisional untuk anak-anak dan orang dewasa berdasarkan gerak tubuh, seperti kejar-kejaran atau sembuyi-sembunyian. Kemudian ada yang berdasarkan matematika dan kecekatan tangan, seperti menghitung, melempar batu ke satu lubang tertentu atau berdasarkan keadaan untung-untungan.
Begitu juga bahan yang digunakan untuk membuat alat permainan tradisional, lazimnya diperoleh dari bahan yang terdapat di sekitar kehidupan manusia, seperti biji durian (adu taji), meriam (bedil bambu), buah pinang (gasing), biji karet, dan catur (pengaruh Cina). Itu semua masih saya jumpai dan pernah menggunakannya saat bermain sesama teman sebaya di kampung halaman. Akan tetapi, hal itu kini perlahan-lahan telah berganti dengan permainan kekinian yang sarat teknologi dan menawarkan pelbagai fitur yang menggiurkan.
Sekira lima tahun yang lalu (2018), dalam sebuah dialog publik yang diselenggarakan Museum Siginjei, saya membentangkan kertas kerja tentang problematika sekaligus tantangan zaman dalam melestarikan permainan tradisional Jambi sesuai dengan perwujudan dan mekanismenya. Sulit menyangkal bahwa permainan tradisional ada di antaranya yang sedang bergeser ke arah bentuk baru yang beradaftasi dengan pengaruh dan perkembangan sosial budaya, bahkan ada yang berganti sebagian fungsinya. Demikianlah budaya memiliki watak yang dinamis. Ia selalu hadir bak dua sisi dalam satu mata uang.
Melalui pembukaan, pengolahan lahan dan hasil pertanian, saya mengenal tipologi dan karakter daerah Provinsi Jambi yang termasuk hutan tropis. Pada umumnya masyarakat hidup bertani, dan mereka telah mengenal bentuk dan cara bercocok tanam yaitu dengan berladang dan bersawah. Pada pertanian ladang sebelum petani memiliki sebidang tanah yang digarap untuk berladang, terlebih dahulu mereka melakukan pembukaan lahan pertanian baru dengan cara membersihkan semak belukar dan menebang pohon kecil atau besar dengan peralatan parang dan beliung. Untuk pohon besar mereka kerap menggunakan selampah, tukik dan paro sejenis tangga. Sedangkan pengolahan lahan untuk pertanian di ladang/kebun pada masa lalu lazimnya masyarakat menggunakan alat yang sangat sederhana seperti cangkul, tuai, imbeh, cangkul, tancap, tugal, genta, keruntung benih, tapak kijang dan tugal ruyung.
Melalui sajian pameran etnografi itu, saya juga kembali mengakrabi pelbagai istilah yang dulunya familiar bagi generasi seusia saya yaitu perelak, kebun di sekitar pedesaan. Galibnya ditanami dengan kebutuhan sehari-hari buat keluarga seperti tomat, cabai, kunyit dan sebagainya. Adapun kebun mudo merupakan kebun yang ditanami oleh pohon pisang, ubi, dan diselingi dengan tanaman lain seperti kedelai dan kacang tanah. Begitu juga umo renah adalah kebun pada tanah yang subur dan rata, di pinggir sungai atau lereng pegunungan. Biasanya ditanami jenis padi, kentang, labu dan sebagainya.
Sedangkan umo talang adalah kebun yang jauh dari pedesaan atau kampung, umumnya umo sejenis ini ditaman padi. Untuk mengolah sawah mereka hanya mempergunakan parang dan alat untuk merata tanah dengan menggunakan sikat dan bajak yang dibantu sapi dan kerbau.
Salah satu alat pertanian yang membuat saya termenung lama saat mencermati satu per satu koleksi pameran etnografi adalah ani-ani atau alat penuai padi. Ia adalah alat tuai yang terdiri dari mata besi silet, kedua ujung tuai melengkung ke atas dan badan alatnya terbuat dari bahan bambu dan kayu, serta ujungnya merupai paruh burung. Alat tuai tersebut membawa saya pada peristiwa 35 tahun yang lalu saat masih di bangku sekolah dasar. Saya menggunakan alat itu persis seperti bentuk alat yang disajikan dalam pameran kali ini. Dulu saya ikut membantu orang tua sambal bermain di sawah saat memanen padi. Namanya juga anak-anak sehingga butuh waktu belajar menggunakannya sampai saya benar-benar bisa menuai padi menggunakan alat tersebut. Tidak saja ani-ani, melalui sajian pameran kali ini saya juga mengenang kembali tentang ambung, kiding, parang, lesung dan alat-alat tradisional lainnya yang digunakan sehari-hari oleh warga di kampung halaman saya. Ringkasnya, saya merasa sedang berjalan pulang ke akar kebudayaan, kampung halaman sendiri, sesuatu yang patut saya rayakan di tengah kehidupan hari-hari ini yang menghendaki kecepatan, hal-hal instan dan hal-hal yang menggiurkan dengan atas nama mengejar kemajuan sehingga puncaknya kehilangan ruang yang cukup untuk berkontemplasi dan merefleksikan capaian yang didapatkan beserta problematika dan tantangannya.
Melalui sajian berburu, salah satu cara pertama kali manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan, karena dengan berburu mereka dapat untuk mempertahankan hidup, saya mengetahui bahwa berburu pada masa lalu di Jambi menjadi pekerjaan utama bagi sekelompok warga untuk menghidupkan keluarga. Kini berburu telah beralih menjadi pekerjaan sampingan atau sekadar kesenangan semata, bukan lagi sebagai kebutuhan utama untuk memenuhi segala kebutuhan sehari-hari.
Di Jambi, biasanya berburu dilakukan pada hari tertentu karena memerlukan banyak tenaga manusia dengan lokasi tertentu pula, pelaksanaanya dipilih waktu sengang misalnya saat panen padi atau sesudah menyelesaikan pekerjaan berat di sawah, seperti hutan atau yang masih banyak binatangnya. Sasaran buruan adalah binatang hama yang sering merusa tanaman mereka dan juga buruan yang bisa untuk dimakan. Dalam berburu, warga mempergunakan alat dari batu, tombak jerat rusa, jerat ayam, panah dan untuk burung mereka menggunakan pemikat burung. Kini, perkembangan kehidupan dan teknologi yang terus maju telah mendorong terjadinya perkembangan peralatan berburu.
Terakhir, melalui sajian alat musik tradisional, saya dapat mengetahui bahwa pada masa prasejarah Jambi sudah mengenal musik. Hal itu dapat dicermati pada bukti peninggalan arkeologi yang terdapat pada batu silindrik, batu gong dan gong Cina yang terdapat di daerah Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci serta kawasan percandian Muara Jambi. Pada masa perkembangan selanjutnya pengaruh agama Hindu, Budha, Islam (Timur Tengah) dan Eropa di Indonesia menjadikan alat musik terus berkembang dengan pesat sampai sekarang.
***
Pelbagai bentuk peralatan dan benda yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat di Provinsi Jambi pada kurun waktu yang lampau, dari generasi ke generasi, merupakan buah dari ide dan pemikiran serta kearifan masyarakat tempo dulu yang memiliki keunikan tersendiri dan karenanya menjadi kekayaan kultural Jambi yang harus terus lestari.
Sebelum meninggalkan pemeran etnografi tetiba saya teringat ungkapan bernas dari Karen Armstrong dalam bukunya berjudul 'Compassion' berikut ini: “Tradisi budaya, etika, agama, dan intelektual kita semuanya telah sangat dipengaruhi oleh bangsa lain. Kita menganggapnya sebagai milik kita, tetapi mungkin pada masa lalu telah sangat dipengaruhi oleh nenek moyang mereka yang kita sekarang anggap sebagai musuh. Kita menjadi kita kini sebagai buah dari kerja keras, wawasan, dan prestsi orang lain yang tak terhitung jumlahnya. Maka, jangan ikatkan dirimu pada satu kredo tertentu dengan begitu eksklusif sehingga engkau menafikan yang selebihnya; jika tidak engkau akan kehilangan banyak kebaikan”.
Itu artinya, hemat saya, kekayaan material kebudayaan masyarakat Jambi, selain karena buah kerja pemikiran dan kreatifitas masyarakat pada masanya, adalah juga menunjukkan telah terjadi perjumpaan antara mereka di Jambi dengan masyarakat dari banyak tempat di wilayah lainnya di luar Jambi, yang bisa jadi ikut mewarnai baik secara gagasan maupun kekaryaan melalui pelbagai medium pada masanya.
Demikian kebudayaan Jambi dalam pandangan saya, sesuatu yang tidak bersifat statis, melain terus tumbuh dan berkembang, dan karenanya akan terus berkontribusi bagi peradaban.
*Kota Jambi, 25 September 2023. Tulisan-tulisan penulis tentang pelbagai topik bisa diakses melalui kanal: www.jumardiputra.com
Editor. KJ-JP