beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda AKADEMIA berita


Sabtu, 08 Juli 2023, 09:36 WIB

Mochtar Pabottingi

AKADEMIA

Prof. Mochtar Pabottingi

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Tahun 1980 ketika saya mulai bekerja di Leknas-LIPI, Bung Mochtar Pabottingi, sedang sibuk mempersiapkan diri untuk test program pasca saarjana ke Amerika Serikat. Yang saya ingat, ada test kalau nggak salah disebut G-Math, semacam test matematik barangkali, yang buat Bung Mochtar yang lulusan Sastra Inggris itu agak menakutkan. Tidak lama kemudian memang Bung Mochtar berhasil meneruskan pendidikan Pascasarjana di negeri Paman Sam seperti yang menjadi cita-citanya. Awal tahun 1980an itu dunia ilmu-ilmu sosial masih belum seluas dan serame sekarang. Saat itu, Leknas-LIPI boleh dikatakan menjadi salah satu pusat ilmu-ilmu sosial karena di sana bekerja para tokoh ilmu sosial papan atas seperti Alfian (politik), Thee Kian Wie (ekonomi), Taufik Abdullah (sejarah),  Mely G Tan (sosiologi), EKM Madinambow (etnolinguistik), Abdurachman Surjomihardjo (sejarah) dan Adri Lapian (sejarah maritim). Selain tokoh-tokoh senior itu, ada staf peneliti yang tergolong muda seperti Bung Mochtar, Nurcholish Madjid, mantan ketua HMI yang kemudian memilih masuk Leknas-LIPI, dan juga Ninuk Kleden (saat itu masih Ninuk Probonegoro), Rusdi Muchtar, Miftah Wirahadikusumah serta yang lain-lain.

Ketika saya masuk, tahun 1980 itu, Direktur Leknas-LIPI adalah Dr. Suharso, seorang ahli geografi-sosial, belum lama menggantikan Dr. Taufik Abdullah yang dipecat karena ikut menandatangani Surat Keprihatinan bersama tokoh-tokoh intelektual lain seperti Adnan Buyung Nasution dan WS Rendra. Surat Keprihatinan yang ditandatangani oleh para intelektual itu, selain Taufik Abdullah, Thee Kian Wie dan Mely G Tan dari Leknas-LIPI  ikut tanda tangan; merupakan protes terhadap kebijakan pemerintahan Suharto yang dianggap semakin tidak mencerminkan kepentingan rakyat banyak. Pemerintahan Suharto yang mulai berkuasa pasca peristiwa 1965 yang ditandai oleh kejatuhan pemerintahan Sukarno dan pembantaian terhadap mereka yang dituduh PKI,  mengubah secara total Indonesia dari negeri yang semula berwatak sosialis menjadi kapitalis. Aksi protes terhadap pemerintahan Suharto yang mulai memperlihatkan wajahnya yang anti rakyat itu mulai pecah dengan apa yang disebut Malari tahun 1974. Aksi mahasiswa itu berhasil diredam dan beberapa pemimpin mahasiswa antara lain Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, diadili dan dipenjara. Tahun 77-78 kembali muncul gelombang protes dari para mahasiswa dan kaum intelektual, antara lain yang diekspresikan dalam Surat Keprihatinan itu.

Dibandingkan dengan situasi hari ini, dimana hampir setiap saat ada petisi dan ekspresi keprihatinan terutama dari para akademisi sebagai protes terhadap pemerintah yang dianggap tidak adil, apa yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an itu, sungguh sangat berbeda. Saat itu pemerintah Suharto sangat represif dan menganggap kritik sekecil apapun sebagai ancaman yang harus diberangus. Saat ini berbagai petisi dan Surat Keprihatinan dianggap sebagai angin lalu saja, kebanyakan tidak digubris oleh pemerintah. Pemerintah saat ini, meskipun boleh dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak lagi dikuasai oleh militer, melalui berbagai cara dan strategi terbukti mampu mengkooptasi  mereka yang memiliki potensi menjadi pusat kritik, seperti dunia kampus atau lembaga-lembaga non pemerintah (NGO/LSM). Apakah artinya demokrasi melalui sistem multipartai sudah dianggap berhasil menyuarakan kepentingan rakyat? Ternyata tidak juga, karena dunia politik Indonesia dinilai menjadi sangat transaksional dimana kekuasaan dipegang oleh para oligark dan pemilik modal. Ketimpangan pendapatan sejak tahun 70an terus menganga dan semakin lebar, kapitalisme dan neo-liberalisme telah begitu dalam mencengkeram, seperti tertutup kemungkinan adanya upaya untuk mengubahnya.

Pria yang konon lahir persis pada tanggal 17 Agustus 1945, tapi memilih mengubahnya menjadi 17 Juli itu, dikenal sebagai seseorang yang selalu tampil sederhana tapi anggun, santun namun kuat dalam menjaga integritasnya sebagai intelektual sejati. Mochtar Pabottingi boleh dikatakan sebagai seorang akademisi dan intelektual yang konsisten dengan sikap kritisnya terhadap pemegang kekuasaan sejak tahun 80an hingga hari ini, tahun 2023. Jalan akademia dan jalan intelektual dipilihnya untuk menyalurkan sikap kritisnya melalui tulisan-tulisannya yang secara konsisten muncul, praktis tanpa jeda; setidak di tiga media: Jurnal Prisma, Mingguan Tempo dan Harian Kompas. Esai-esai Mochtar Pabottingi memiliki gaya yang khas: tajam, menukik penuh erudisi dengan perspektif keilmuan sekaligus kebudayaan yang kuat. Bahasanya sering terasa lugas tanpa ada upaya menghalus-haluskan, meskipun selalu disampaikan melalui pilihan kata yang kental makna dan ditulis dengan bahasa sastrawi yang indah. Jika ada fokus yang selalu menjadi pusat perhatiannya, mungkin tidak jauh dari tema disertasi doktor ilmu politik yang di raihnya di Universitas Hawaii, Amerika Serikat, yang berjudul Nationalism and Egalitarianism in Indonesia 1908-1980.

Sepulang dari menyelesaikan program doktornya, Leknas-LIPI telah direorganisasi. Sejak tahun 1986 Leknas-LIPI dan LRKN-LIPI dilebur dan dipecah menjadi empat Pusat Penelitian: Politik, Ekonomi, Kependudukan dan Kemasyarakatan-Kebudayaan. Bung Mochtar rupanya memilih masuk ke Pusat Peneltian Politik yang saat itu dipimpin oleh Dr. Alfian. Ketika Dr. Alfian wafat Bung Mochtar menggantikannya sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik. Saya sendiri sepulang dari menyelesaikan program doktor di Australian National University (ANU), Canberra, Australia tahun 1990 menjadi peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan, dan pada tahun 1998 diminta menjadi Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI. Era tahun 1990-an adalah era yang mulai penuh gejolak, dan sebagai peneliti sosial di LIPI kami seperti diuji loyalitas dan integritasnya sebagai peneliti  yang tetap selalu menjaga independensi dan otonomi sebagai insan akademik. Harus diakui bahwa teladan para senior seperti Pak Taufik Abdullah, Pak Thee Kian Wie dan Bu Mely G. Tan memiliki pengaruh besar pada kami generasi yang lebih muda. Dalam alih generasi ini Bung Mochtar Pabottingi bisa dikatakan sebagai teladan kami yang lebih muda.

Ketika Bung Mochtar menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik itulah negerinya kembali berada dalam tikungan sejarah yang genting. Suharto yang telah berkuasa sebagai presiden selama lebih dari tiga puluh tahun sejak 1966 menghadapi krisis ekonomi-politik yang tak mampu dikendalikannya. Gelombang protes mahasiswa dan krisis ekonomi yang akut telah memaksanya turun dari tahta kekuasaan yang telah lama dikangkanginya. Dalam situasi krisis politik sekitar1998-1999 itu, sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Bung Mochtar terlibat aktif memberi arah reformasi politik yang telah menjadi keniscayaan itu. Saat itu Pusat Penelitian Politik LIPI dipercayai sebagai tuan rumah sebuah konferensi internasional yang penting, ketika ahli-ahli politik tingkat dunia, terutama dari Amerika Serikat seperti Juan Linz, Donald Horowitz, Daniel Lev dan Bill Liddle; atas dukungan Ford Foundation mendiskusikan bersama tokoh-tokoh Indonesia seperti Daniel Dhakidae, Adnan Buyung Nasution, Mirjam Budiardjo, Juwono Sudarsono; arah politik Indonesia ke depan.

Selain menulis esai-esai politik dan kebudayaan, Bung Mochtar boleh dibilang juga sebagai seorang penyair, yang selalu menulis puisi-puisi, yang suatu saat dikatakannya sebagai upayanya untuk tetap menjaga kewarasan. Buku kumpulan puisinya antara lain yang berjudul Dalam Rimba Bayang-Bayang, diterbitkan oleh Penerbit Kompas tahun 2003. Pada tahun 2013 Bung Mochtar menerbitkan memoarnya, yang diberi judul Burung-Burung Cakrawala, diterbitkan oleh KPG. Kecenderungan berpikirnya yang eklektik sekaligus total itu mungkin berhubungan dengan rekam jejak pendidikan formalnya yang tidak linier, sesuatu yang saat ini diharamkan oleh dunia akademia di Indonesia. Bung Mochtar mendapatkan gelar S1 Sastra Inggris dari UGM, S2 Sosiologi dari Universitas Massachusetts di Amherst dan S3 dari Universitas Hawaii, keduanya di Amerika Serikat. Jika ada negeri lain yang dekat dengan hatinya saya kira Amerika Serikat, dan kedekatan itu bisa dibaca dalam memoar yang ditulisnya dengan sangat bagus. Selain Amerika Serikat negeri lain yang dia suka saya kira adalah Jepang dimana Bung Mochtar cukup lama tinggal ketika menjadi visiting fellow di CSEAS (Center for Southeast Asian Studies) Kyoto University. Dalam sebuah pembicaraan Bung Mochtar mengagumi Jepang karena kemampuannya menjaga tradisi sekaligus terus berkembang sebagai negara modern.

Beberapa tahun terakhir saya tahu Bung Mochtar berusaha menyelesaikan terjemahan disertasi doktornya ke dalam bahasa Indonesia. Saya tahu sebelumnya sudah ada kolega di LIPI yang telah menterjemahkannya, tapi Bung Mochtar tidak puas dengan terjemahan itu, dan memutuskan untuk menterjemahkannya sendiri. Bung Mochtar ternyata tidak hanya menterjemahkan tetapi juga ingin memperbaharuinya dengan membaca kembali buku-buku penting yang dianggap layak untuk menjadi acuannya. Sebagai teman jalan kaki pagi, karena rumah kami berdekatan di Kampung Ambon Jakarta Timur, salah satu topik pembicaraan kami adalah tentang penerjemahan dan pembaharuan disertasi doktornya itu. Saya memang sempat diminta membaca draftnya dan saya menyarankan untuk menambah seperlunya saja di bagian kesimpulan. Tapi di sinilah saya bisa memahami betapa sangat seriusnya Bung Mochtar dalam memikirkan sesuatu yang dianggapnya penting. Saya kira Bung Mochtar tidak bisa menahan diri untuk terus membaca buku-buku yang dinilainya relevan untuk memperbaharui tesisnya. Saran saya untuk cukup memperbaiki bagian kesimpulan seperlunya, dia iyakan, tapi sukar untuk dipraktekkan, Bung Mochtar selalu ingin membaca buku lebih jauh dan dalam, sebuah kegiatan yang bisa berujung tanpa akhir.

Hal lain yang ikut memperlambat penerbitan buku terjemahan disertasinya selain sulitnya menahan diri untuk terus membaca adalah panggilannya sebagai seorang intelektual sejati untuk setiap kali merasa harus menyuarakan sikap kritisnya terhadap situasi politik nasional yang dianggapnya penuh carut marut dan melenceng dari cita-cita kemerdekaan. Hal ini juga sering Bung Mochtar keluhkan di tengah kegiatan jalan kaki pagi memutari kompleks perumahan Pasadenia di dekat Lapangan Pacuan Kuda Pulo Mas, Jakarta Timur, tidak jauh dari rumah kami. Sebagai penulis opini di Harian Kompas Bung Mochtar sulit untuk menolak permintaan redaksi opini Kompas untuk menulis tentang isu politik tertentu yang sedang hangat. Bagi Bung Mochtar menulis esai haruslah dengan total sepenuh hati dan pikiran, tidak boleh tanggung-tanggung dan karena itu tidak mungkin pendek dan asal jadi, kalau bisa satu halaman penuh.

Saya kira setiap pembaca Kompas yang tidak pernah melewatkan halaman opini tahu bagaimana gaya dan isi tulisan Bung Mochtar Pabottingi. Sebagian menyukainya tapi sebagian juga merasa kesulitan mengikuti jalan pikiran Bung Mochtar karena tulisannya dianggap rumit dengan bahasa yang kental penuh makna dan bisa menjangkau banyak hal sekaligus. Selain selalu ada kutipan dari pemikir dan penulis buku-buku penting, opininya selalu berjangkar kuat pada sejarah bangsa yang sangat dicintai dengan sepenuh hatinya. Opininya selalu mengingatkan pembaca betapa jauh pemerintah yang berkuasa sesungguhnya telah mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa yang sangat dihormatinya.

* Jl. Tembok 18 Kampung Ambon Jakarta Timur, 26 April 2023.

Editor. KJ-JP

TAGAR: #akademia

indeks berita Akademia
AKADEMIA Senin, 04 Desember 2023, 08:51WIB
Memasuki Alam Rupa

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Bagi saya, seorang amateur dalam dunia seni, perlu memilik keberanian untuk menerima resiko dicemooh ketika diminta untuk menulis pengantar sebuah pameran seni rupa. Apalagi pameran......

AKADEMIA Senin, 04 Desember 2023, 08:41WIB
Sriti dan Indahnya Gerak Kehidupan

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Buku terbaru buah karya Romo Kirjito ini sangat unik. Sriti, burung kecil yang tampak berwarna hitam gelap yang sering kita lihat terbang di angkasa namun tak pernah kita hiraukan......

AKADEMIA Minggu, 05 November 2023, 07:45WIB
Jokowi, IKN dan Masa Depan Kita

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Pada 11 Mei 2019 kira-kira setahun sebelum Covid-19 melanda Indonesia dan dunia saya menulis esai pendek yang isinya mendukung gagasan rencana pemindahan ibukota......