Oleh: Dr. Riwanto Tirtosudarmo*
Azyumardi Azra pernah sebentar bekerja di LIPI, tepatnya di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN). Saat itu direktur LRKN adalah Dr. Alfian, seorang ahli ilmu politik yang menggantikan Dr. Lie Tek Tjeng, seorang sinolog. Jika Pak Alfian mendapatkan gelar doktornya dari Universitas Wisconscin, Pak Lie dari Harvard. Saat itu, sekitar awal tahun 1980an, saya kira Azyumardi Azra juga menjadi staf redaksi, atau paling tidak penulis tetap (wartawan) di Majalah Panji Masyarakat. Ketika mendengar, tidak begitu lama sebelum berita wafatnya yang mengejutkan kita semua itu; dia terpilih sebagai Ketua Dewan Pers; sesuatu yang tidak mengherankan karena pengalamannya sebagai wartawan di samping tentu saja integritas intelektualnya yang tinggi.
Saya bukan orang yang mengenal Azyumardi dari dekat, pengetahuan saya tentang dia sangat terbatas. Jika saya dalam tulisan ini ingin mengingatnya semata karena rasa hormat kepadanya, dan merasa kehilangan karena wafatnya. Saya juga tidak tahu mengapa kemudian Azyumardi memutuskan keluar dari LRKN dan kemudian saya tahu dia menjadi staf pengajar IAIN Syarif Hidayatulah, Ciputat, bekas almamaternya. Saya kira Azyumardi telah mendapatkan tanah yang subur untuk mengembangkan dirinya. Melanjutkan studi di luar negeri dan sejak 1998 hingga 2006 menjadi rektor lembaga pendidikan tinggi Islam yang telah melahirkan para pembaharu itu. Azumardi bisa dianggap sebagai penerus rektor sebelumnya, Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN mampu berpikir kritis dan terbuka. Pengalaman Azyumardi yang sangat singkat di LIPI itu mengingatkan saya pada seorang teman lainnya yang juga seperti Azyumardi hanya mampir sebentar sebagai peneliti di Leknas-LIPI dan kemudian pindah ke UNPAD, dan juga sempat menduduki jabatan sebagai rektor, Profesor Ganjar Kurnia.
Saya bisa membayangkan nasib mereka jika tidak pindah dan tetap di LIPI, jadi peneliti sampai tua dan pensiun. Tidak ada yang mengejutkan, kurang ada drama, dalam hidup sebagai peneliti di lembaga penelitian pemerintah seperti LIPI. Jika mereka masih menjadi peneliti di LIPI, mungkin telah mendapatkan gelar profesor riset yang cukup ditandatangani Kepala LIPI itu; di akhir masa karirnya harus menghadapi kenyataan yang kurang menyenangkan karena dipaksa menjadi BRIN. Kita tahu Profesor Azyumardi Azra salah seorang yang menentang pemaksaan peleburan lembaga-lembaga riset pemerintah ke dalam BRIN. Untunglah beliau sudah dalam posisi sebagai orang luar LIPI yang dengan bebas bisa mengkritik kelahiran BRIN yang dinilai sebagai keinginan pemerintahan Jokowi untuk secara total mengontrol lembaga riset yang seharusnya tetap memiliki kemerdekaan berpikir dan kebebasan akademik.
Dari pengalaman persinggungan saya yang sangat terbatas dengan AzumardiAzra, saya sudah merasakan sikapnya yang terbuka dan pemikirannya yang kritis. Mungkin sekitar pertengahan tahun 1980an atas inisiatif Dr. Mochtar Buchori, Deputi Ketua LIPI Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Kemanusiaan; kami bersama beberapa teman lain seperti Fachry Ali dan Hermawan Sulistyo diundang untuk mengikuti konferensi AASSREC (Association of Asian Social Science Research Councils) di Bali. Soedjatmoko, pemikir terkemuka kita, dalam konferensi itu memberikan pidato kunci dalam konferensi yang membicarakan tentang ilmu-ilmu sosial dan masa depan anak muda. Seingat saya dalam pra-konferensi itu Azyumardi menulis panjang tentang generasi muda. Saat itu, Dr. Mochtar Buchori, seorang ahli pendidikan lulusan Harvard; merupakan pejabat LIPI yang progersif dan aktif mendorong para intelektual, seperti Gus Dur, Dawam Rahardjo, Arief Budiman dan Mubyarto, termasuk generasi mudanya, untuk melakukan penelitian dan diskusi-diskusi yang pada masa itu bisa dianggap sangat kritis. Ketua LIPI saat itu Profesor Dodi Tisna Amijaya, mantan rektor ITB adalah tokoh yang sangat disegani.
Ada semacam era keterbukaan dan ilmu-ilmu sosial tumbuh dinamis dengan hilangnya jarak antara peneliti, aktifis dan intelektual antara dari dalam dan dari luar LIPI. LIPI pada saat itu seperti oase di tengah padang pasir kehidupan intelektual yang gersang dan mengalami banyak represi dari rezim yang berkuasa. Beberapa tema penelitian besar digagas saat itu, antara lain tentang Indonesia Timur yang memang menjadi perhatian peneliti senior LIPI seperti Edi Masinambouw dan Adri Lapian mulai digalakkan. Penelitian tentang Indonesia Timur juga menjadi ajang kerjasama peneliti Indonesia dan manca-negara, terutama Belanda, yang memperlihatkan kesetaraan antara peneliti Indonesia dan asing. Selain tentang Indonesia Timur, ada peneltian tentang koperasi dan tentang ulama. Martin van Bruinessen mulai masuk ke Indonesia dan menjadi konsultan penelitian pandangan hidup ulama di LIPI bekerjasama dengan peneliti muda LIPI antara lain Bisry Effendy, Mohamad Sobary dan Anas Saidi. Pada masa yang sama, Hermawan Sulistyo dari LIPI bekerjasama dengan para peneliti dan intelektual muda, seperti Manuel Kaisiepo, Indro Tjahjono dan Moeslim Abdurrahman mengembangkan gagasan tentang ilmu-ilmu sosial transformatif.
Profesor Azumardi Azra, doktor lulusan Columbia University di New York (1992) menulis disertasi tentang jaringan Islam transnasional yang menghubungkan Timur Tengah dan Asia Tenggara. Disertasinya yang kemudian menjadi buku (The Origins of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Malay-Indonesian Ulama in the 17th and 18th Centuries, 2004) bisa dikatakan mendahului kajian Michael Laffan dari Universitas Princeton yang melihat hubungan antara Islam dan nasionalisme (Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds, 2003). Azumardi melihat Islam dalam perspektif yang luas dibandingkan dengan kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan oleh para peneliti Islam manca-negara yang berangkat dari semacam prasangka tentang bahaya dari Islam politik atau politisasi Islam yang akan mengancam perkembangan demokrasi. Disertasinya yang kemudian dibukukan itu membuktikan kemampuannya membaca teks-teks klasik dan melakukan multi-sites fieldwork antara pusat-pusat Islam di Timur Tengah dan Asia Tenggara; dan sudah menunjukkan akar-akar kosmopolitanisme Islam. Belum lama ini John Sidel dari London School of Economics (LSE) menulis buku tentang asal-usul kosmopolitanise dari revolusi di Asia Tenggara, tidak hanya Islam tetapi juga komunisme dan republikanisme (Republicanism, Communism, Islam: Cosmopolitan Origins of Revolution in Southeast Asia, 2021).
Sejak dari studi untuk disertasinya di Columbia University yang diselesaikannya tahun 1992 Azumardi telah melihat Islam sebagai sebuah kekuatan yang mampu melakukan transformasi sosial politik yang bersifat transnasional. Dengan cara pandang seperti ini Azyuumardi telah meletakkan Islam tidak hanya merupakan referensi teologis bagi para penganutnya tetapi sebagai kekuatan yang mampu menciptakan sebuah peradaban (civilization) baru yang bersifat global. Jadi tidak perlu heran jika Samuel Huntington, seorang ahli ilmu politik dari Harvard, telah meramalkan pada tahun 1992 akan terjadinya "new order" dan "clash of civilization" pasca runtuhnya Tembok Berlin yang mencerminkan pudarnya komunisme dalam panggung politik dunia. Apa yang dikhawatirkan oleh Samuel Huntington sebagai "the new contending global power" bagi barat (liberalisme, kapitalisme, demokrasi) setelah kegagalan sosialisme dan komunisme, tidak lain adalah Islam, meskipun dalam tulisannya yang kemudian dikembangkan menjadi buku (The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. 1996), selain Islam disebutkan agama dan filsafat timur lainnya, seperti budhisme dan konfusianisme. Pikiran dan pandangan Samuel Huntington segera memancing reaksi pro dan kontra dari para pemikir, analis politik, ahli hubungan internasional dan para konsultan keamanan pemerintahan maupun dari berbagai Think Tank; karena spekulasi implikasi politik global yang bakal ditimbulkannya. Peristiwa serangan terhadap gedung Twin Tower di New York yang dikenal sebagai 9/11, 2001 dari kelompok teroris Islam yang mengejutkan seluruh dunia itu seperti membenarkan ramalan Huntington tentang "clash of civilization", meskipun yang terjadi sesungguhnya sesuatu yang jauh dari itu.
Islam dalam konteks global dan transnasional saya kira menjadi perhatian utama dari Azumardi, meskipun sebagai seorang intelektual dirinya tidak mungkin menghindar dari persoalan Islam dan politik yang bersifat domestik bahkan lokal. Makalah yang sedianya akan dibentangkan dalam perhelatan antarbangsa di Malaysia memperlihatkan perhatiannya tentang kosmopolitanisme Islam yang telah lama digelutinya itu. Persoalan Islam dan politik yang boleh dikatakan semakin menjadi isu yang semakin menyita perhatian dan energi publik kita itu, pastilah mendorongnya untuk tampil lebih aktif dalam ruang publik yang riuh rendah itu. Bersamaan dengan perubahan politik pasca 1998 itu, Azyumardi telah membuktikan dirinya sebagai juru bicara suara jernih dari perspektif Islam. Sulit untuk mengatakan bahwa Azyumardi telah berhasil menempatkan dirinya sendiri sebagai pemikir pembaharuan Islam tanpa dibayang-bayangi oleh para pendahulunya seperti Nurcholis Madjid, Gus Dur atau Imaduddin Abdurachim, untuk menyebut beberapa tokoh intelektual Islam yang penting dan kontroversial.
Dibandingkan dengan ketiga tokoh intelektual Islam yang saya sebutkan di atas, Azyumardi terkesan bukan tokoh kontroversial. Prestasinya sebagai Rektor IAIN Syarief Hidayatullah yang cukup lama (1998-2006) memperlihatkan kekuatan dari daya persuasi dan negosiasinya sebagai seorang manajer pendidikan yang handal. Periode jabatannya yang berlangsung bersamaan dengan transisi demokrasi di negerinya memberikan peluang yang besar untuk mengembangkan kampus yang dipimpinnya sebagai tempat persemaian kader-kader pemikir Islam yang berpikiran terbuka, sebuah sumbangan yang penting dari Azyumardi bagi bangsanya. Kampus di bawah kepemimpinan Azyumardi tidak sekedar untuk mencetak sarjana tetapi aktifis dan penggerak perubahan masyarakat. Selama saya bekerja di LIPI, Azyumardi Azra termasuk yang sering diundang ke LIPI sebagai narasumber terutama untuk kajian-kajian yang berkaitan dengan agama. Dalam beberapa kesempatan Azumardi juga menjadi pembahas hasil kajian Tim Penelitian Agama di LIPI. Dari pembahasannya saya melihat pandangannya yang sangat terbuka bahkan dari cara pandang dan sikapnya itu sering membuat teman-teman saya di LIPI sendiri yang justru terkesan lebih tertutup.
Kemampuan mengelola lembaga pendidikan tinggi, seperti IAIN Ciputat, memperlihatkan kelebihannya dari intelektual Islam lainnya karena tidak hanya menunjukkan kekuatannya sebagai pemikir namun sekaligus sebagai pengubah keadaan. Azyumardi juga memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan para pemikir Islam lainnya di Indonesia karena kemampuannya berkomunikasi dalam percaturan akademik antar bangsa. Keterbukaan dan artikulasi akademiknya diterima dalam perbincangan yang bersifat global dan dinilai terutama oleh para pengamat Islam dari barat sebagai partner yang setara dan dan dapat mewakili dunia Islam yang telah tercerahkan. Dalam konteks seperti ini, Azyumardi tak pelak lagi telah memberikan sumbangan lain yang sangat penting dalam ikut serta membangun jembatan pengertian yang pernah menganga akibat peristiwa 9/11 dan meningkatnya kecurigaan barat terhadap Islam. Berbagai penghargaan internasional yang diterimanya, antara lain pemberian gelar Sir dari Ratu Inggris adalah wujud apresiasi dan penghormatan atas peran Azyumardi dalam membangun jembatan itu.
Dalam konteks politik domestik khususnya dengan semakin membesarnya posisi Islam sebagai pengimbang dari kekuasaan pemerintah yang sering dinilai melampaui batas, kedudukan Azyumardi sebagai intektual Islam tidak mungkin diabaikan. Sebagai intelektual Azyumardi tidak sekedar menyuarakan akal sehat namun juga sebuah representasi kepentingan umat Islam. Opininya yang secara konsisten dituangkan dalam berbagai tulisannya, antara dalam kolomnya di harian Kompas menggambarkan dengan jelas komitmennya terhadap perlunya perbaikan dan perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan yang mengedepankan kepentingan orang banyak, terutama yang lemah. Kritiknya menjadi sangat relevan tanpa menyebutkan dirinya sebagai representasi dari masyarakat muslim yang menduduki posisi mayoritas secara demografis. Dugaan saya, Azyumardi menyadari bahwa ada masalah-masalah internal di dalam Islam sendiri sebagai agama mayoritas yang perlu dipecahkan, misalnya adanya kelompok Islam yang radikal dan intoleran. Untuk memecahkan masalah-masalah internal dalam tubuh Islam sendiri intelektual dan akademisi Islam sekaliber Azyumardi sangat diperlukan. Kepergiannya yang terasa cepat dan mengejutkan itu jelas adalah sebuah kehilangan besar tidak hanya bagi umat Islam tetapi bagi bangsa Indonesia.
Opininya selalu berangkat dari kondisi sosial politik yang dinilainya mengandung elemen kepincangan dan ketidakadilan. Tidak jarang diangkatnya kasus-kasus yang mencerminkan adanya proses pembuatan kebijakan yang bukan saja tidak demokratis tapi jelas merupakan produk dari kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Dalam konteks ini bisa disebutkan kritiknya terhadap pemindahan ibukota (IKN) dan pembentukan BRIN. Dalam pandangan saya kritik-kritik yang dilancarkan Azyumardi Azra tajam dan menyengat meskipun tidak cukup untuk mematikan, dengan kata lain belum sampai mampu mengubah kebijakan. Azyumardi seperti saya katakan di muka tidak memilih jalan kontroversial, dia dengan caranya sendiri memilih jalan tengah. Itu juga yang mungkin membuatnya dipilih untuk menjadi Ketua Dewan Pers, kritis namun tetap memiliki loyalitas terhadap banga dan negaranya. Penghargaan dan penghormatan terakhir dari pemerintahan Jokowi dengan memakamkan jasadnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata adalah sesuatu yang pada tempatnya. Meskipun saya tidak tahu apakah Azyumardi Azra sendiri ingin dimakamkan di Kalibata.
*Surakarta, 23 September 2022.
Editor. KJ-JP