Oleh: Puteri Soraya Mansur*
Roda motor berdecit tepat di gerbang rumah saat seorang supir travel mengantarkan paket buku yang seharusnya sudah tiba dua hari lalu. Saya tak segera menghubungi sopir tersebut saat kabar pengiriman diterima. Suami menyemprotkan desinfektan untuk berjaga-jaga di tengah pandemi akibat COVID-19 dan segera membukanya. Mungil, begitu yang terlintas di kepala. Wujud buku kumpulan puisi karya Mbak Linda, saya menyebutnya, memang tidak seperti buku kumpulan puisi pada umumnya. Seperti buku saku pramuka yang memang sangat pas dimasukkan ke saku baju atau celana.
Meski mungil, namun isinya tak semungil wujudnya. Dengan 34 buah puisi, Mbak Linda mampu merangkum ingatan yang berserak dari tahun 1997 hingga 2020 ini. Sayangnya, rangkuman ingatan itu benar-benar berserak, tidak runut sesuai tahun pembuatan puisi pada umumnya. Mungkin ada kesengajaan, mungkin pula tidak. Bisa jadi karena buru-buru cetak dan jumlah puisi dirasa kurang, jadi karya-karya lama dimasukkan di akhir, bisa jadi tidak. Tersebab, dua puluh sembilan puisi di awal sudah tertata rapi sesuai tahun pembuatan.
Seperti halnya jenis puisi modern, Mbak Linda tidak menggunakan diksi, gaya bahasa, dan rima bak puisi lama. Sederhana dan mudah dimengerti, begitu yang saya pahami dari gaya puisi kekinian. Sepintas saya bisa menangkap tema yang dituangkan dalam ketiga puluh empat puisi tersebut, yaitu tentang kota, cinta, rindu, dan kenangan.
Lalu, saya benar-benar menghitungnya dan ditemukan dua puluh tujuh puisi dengan judul yang merujuk tempat. Ada 8 tempat yang berada di Jawa dan selebihnya di kota kelahiran Mbak Linda yaitu Jambi dan satu kota di Riau yakni Pekanbaru. Delapan tempat tersebut merupakan beberapa kota dan wisata yang disinggahi ketika perjalanannya ke Jawa pada akhir tahun 2019. Terlihat sekali kerinduan akan sebuah perjalanan yang penuh kenangan telah lama didambakannya. Seperti pada bait puisi berjudul "Tangerang": Selamat segera bertemu, Rindu/Aku nyaris sampai di kotamu, (hlm.28).
Dari kedelapan belas puisi yang merujuk kota kelahiran, ada enam belas puisi dengan judul yang merujuk tempat di Kota Jambi, dua lebihnya menunjukkan tempat di komplek Percandi Muarojambi yang terletak di kabupaten Muarojambi. Situs terluas di Asia Tenggara pastinya tak akan luput dari kenangan Mbak Linda yang juga mencintai sejarah yang tertinggal di tanah kelahirannya. Mungkin Mbak Linda perlu ke beberapa kabupaten lainnya untuk menuliskan kenangan perjalanan pada bait-bait puisi di antologi berikutnya. Sayang rasanya negeri elok ini belum terjamah sepenuhnya melalui sebuah karya.
Sekiranya tepat bahwa Mbak Linda memilih judul puisi kedua sebagai judul bukunya karena Gentala Arasy serta jembatannya merupakan salah satu ikon kota Jambi yang sangat bersejarah. Penanda hubung bahwa Seberang Kota Jambi tak akan terlepas dari sejarah Kota Jambi itu sendiri. Sama halnya nasehat yang tertulis melalui bait-bait puisi yang dijadikan judul buku ini bahwa cerita tentang cinta orang tua akan tertanam kuat seperti rentang jembatan Gentala Arasy, (hlm. 3-4).
Bentuk cinta Mbak Linda juga dituangkan dalam puisi. Mulai dari cintanya pada kedua orang tua, cintanya kepada kedua buah hati, hingga cintanya kepada Tuhan. Ia tak banyak menuangkan tentang romantisme cinta kepada pasangan hidup karena saya hampir tak bisa menemuinya. Mungkin hanya Mbak Linda sendiri yang mengetahui puisi mana yang mempersembahkan kepada seorang lelaki sebagai kekasih atau suaminya. Saya menemukannya tetapi ragu karena romantisme percintaan lawan jenis itu akan terasa kuat dan nyata dalam sebuah puisi dan saya tak menemukannya. Saya hanya merasakan tiga bentuk cinta yang begitu kuat dari ketiga puluh empat puisi itu.
Rindu dan kenangan juga sangat kental diperlihatkan oleh Mbak Linda melalui puisi-puisinya. Terutama rindu akan kenangan masa kecil, rindu pada kedua buah hatinya, serta rindu pada kota-kota yang telah lama ingin ia sambangi. Mengagumi ciptaan-Nya dari salah satu perjalanan menjadi puncak tertinggi dari rindu pada Tuhan. Rasa itu bermetafora pada bait puisi "Parang Tritus": Datang aku kepadamu dalam sembahyang yang lain/Kujumpai rukuk dalam ombak/kutemukan sujud dalam asinnya air laut/Pada hamparan sajadah maha besar/debur gelombang serupa takbir yang menggelegar/...(hlm. 34).
Sebenarnya ada banyak yang perlu dikulik dari antologi ini karena layak dijadikan satu khasanah perpuisian Jambi. Meski berisi kenangan-kenangan pribadi, namun sejauh ini baru Mbak Linda yang menjadikan nama tempat menjadi sebagian besar judul puisinya.
*Penulis adalah pengajar sejarah di SMA 10 Batanghari. Aktif menulis opini dan ulasan buku.
*Identitas buku: Judul: Di Bawah Gentala dan Cerita Ibu tentang Batanghari. Pengarang: Erlinda Herawati Harahap. Penerbit: KOMUNITAS GEMULUN INDONESIA. Terbit: Mei 2020. Tebal: + 46 halaman.
Editor. KJ-JP