beranda pilihan editor
Perspektif Oase Pustaka Jejak Sosok Wawancara Akademia Ensklopedia Sudut

Beranda WAWANCARA berita


Kamis, 27 Desember 2018, 07:06 WIB

Surya Di Nata, Seni Rupa dan Salvador Dali dari Jambi

WAWANCARA

Surya Di Nata. Perupa

Oleh: Krisnaldo Triguswinri*

Seperti Paris, Yogyakarta adalah kota sejuta seniman. Mulai dari ragam hajatan pameran seni rupa, galeri hingga kolektor besar berkumpul. Selain lokalitas-nya yang beragam, Yogyakarta menjadi tempat singgah dan menetap para seniman dari daerah-daerah.

Melalui proses kontemplasi yang panjang, dan rasa penasaran yang beririsan dengan kebingungan, kiranya saya tergugah  memberangkatkan diri untuk mencari jejak historis seni rupa di kota tempat saya lahir: Jambi. Atas bantuan banyak kawan, akhirnya saya menemukan Surya Di Nata. Perupa. Kami pun terlibat pembicaraan sebagaimana saya sarikan berikut ini.

Bagaimana awal perjalanan Anda di seni rupa?

Awalnya saya memilih menjadi pelukis jalanan. Mendapatkan pesanan lukis potret tubuh  atau lukis-lukis komersil lainnya. Pada 2004, bersama teman-teman yang berada di jalan kami membuat kelompok/komunitas yang bernama Tajam (Temporary Fine Art jambi). Selama di Tajam beragam kegiatan terlaksana, yakni pameran di hotel-hotel, mengikuti Jambore Seni Rupa, studi banding kelompok-kelompok seni lain di Jawa dan beberapa daerah di Sumatera, seperti Lampung, Bengkulu dan kota lainnya.

Sayang, aku pria kelahiran Jambi, 20 Juni 1983, ini komunitas Tajam bubar, utamanya karena kepentingan dan kesibukan masing-masing individu-individu di dalamnya.

Saya sendiri memilih tetap berkarya dan terus berproses. Hampir semua provinsi saya datangi: dari Aceh sampai ke Lampung. Lalu berlanjut ke Jawa Barat (Bandung), Semarang, kemudian di Yogyakarta. Lalu melanjutkan perjalanan ke Bali. “Di Bali aku sempat bekerja di Art Shop. Setelah itu, saya balik ke Jambi, menikah dan sekarang di Grindsick,” ungkapnya ringkas.

Seberapa pentingKelompok/Komunitas dalam berkesenian?

Kelompok/Komunitas sangat penting. Kerena bagaimana pun proses sebuah karya tidak terlepas dari sebuah kelompok/komunitas. Mespun ada juga teman-teman yang memilih berkesenian secara individu. Hanya saja, aku Surya Di, pencapaianya agak sedikit lambat. Terlebih sebuah kelompok/komunitas selalu mempunyai tujuan yang sama. Begitu juga ide dan kerja-kerja strategis dapat dilaksanakan secara bersama dan berkelanjutan, sehingga capaiannya berjalan efektif.

Siapa Perupa yang mewarnai karya lukis Anda?

Mungkin bahasanya bisa seperti influens ya. Yang jelas kalau saya terinspirasi dari banyak pelukis. Hanya saja, saya tidak menyerap semuan proses yang mereka lakukan seperti apa. Tetapi, dalam segi teknik dan dalam segi kekaryaan. Saya lebih cenderung ke surealis. Dahulu saya sering berkarya hampir menyerupai karya-karya Salvador Dali.

Bagaimana pandangan Anda terhadap konsep seni untuk rakyat dan seni untuk seni?

Saya pribadi tidak terlalu memusingkan hal-hal seperti itu ya. Hanya saja ketika kita membuat karya intinya harus diapresiasi masyarakat. Karena ada karya yang memang di konsumsi masyarakat dimana terjadi proses jual-beli di sana. Atau karya yang berdasarkan idealisme. Jadi, ketika berkarya lebih baik menentukan dahulu. Saya menciptakan produk ini arahnya mau kemana. Apakah ini komersil atau idealis. Ada juga yang terkadang melukis untuk kepuasan batinya sendiri.

Bagaimana Anda merespon isu sosial-politik dengan media kanvas sebagai sikap dan wacana seni?

Bukan sekadar persoalan sebagai alat perlawanan. Terlepas dari itu semua, ada sebuah tanggung jawab yang harus diemban. Ketika seseorang sudah mengambil atau memilih sebuah pilihan, dia harus bertanggung jawab atas pilihannya. Ketika saya memilih untuk berkesenian di seni rupa, maka saya harus pula bertanggung jawab atas karyaku. Akhirnya, karya tadi akan menjadi sejarah. Bahwasanya pada masa aku berkarya waktu itu. Atau kapan pun, situasi kehidupan masyarakat atau pun kehidupan saya sendiri seperti itu.

Bagaimana gerakan seni rupa di Jambi?

Di Jambi untuk saat ini aktivitas seni rupa terus tumbuh. Banyak kelompok/komunitas yang mampu bertahan lebih dari 30 tahun. Salah satu kelompok/komunitas seni rupa tersebut yakni Tanah Pilih. Ada juga teman-teman yang lain: Jambi Art Forum, atau Dudel Art Jambi. Yang jelas, untuk saat ini. Saya memilih fokus terhadap rumah kolektif di Grindsick.

Apakah dalam penyelenggaraan pameran, kolektor-kolektor besar dari Pulau Jawa datang melihat langsung dan sekaligus mengamati aktivitas seni rupa di Jambi?

Hal-hal seperti itu masih belum berbudaya. Ada kecenderungan pameran tadi bukan sebatas kita menjual karya. Karena di sini seni rupa lebih mengarah kepada apresiasi. Bahwasanya, seni rupa itu luas, ada lukis, ada patung, ada instalasi, dan banyak lainya. Di antara itu semua, banyak yang tidak menjadi bagian dari konsumsi masyarakat.

Selain melukis, apalagi kegiatan Anda sekarang?

Saya gemar bermusik. Kemudian buat survive, saya kerja di percetakan seperti membuat buku, undangan pernikahan dan kegiatan lainnya.

Apa harapan Anda terhadap aktivitas seni rupa di Jambi?

Saya mengharapkan lebih banyak lagi kelompok/komunitas seni rupa terus tumbuh. Tidak hanya berada di pusat Kota. Yang jelas, di antar kelompok/komunitas itu harus mampu menciptakan iklim berkesenian yang sehat. Dengan itu, Jambi akan menghasilkan percepatan-percepatan pertumbuhan seni rupa yang maksimal.

* Penulis adalah inisiator Perpustakaan Jalanan Magelang, Redaktur Ikan Teri Production dan penulis buku Jazz untuk Nada. Penulis sedang menempuh pendidikan di Pulau Jawa. Lahir dan besar di Kasang, Kota Jambi.

Editor. KJ-JP

TAGAR: #Seni Rupa Jambi#Kesenian di Jambi#Komunitas Seni Rupa Tanah Pilih#Komunitas Seni Rupa Grindsick

indeks berita Wawancara
WAWANCARA Kamis, 23 April 2020, 17:22WIB
Slamat Trisila

Oleh: Jumardi Putra* 23 April diperingati sebagai hari buku sedunia (world book day). Hari besar bagi para pejuang literasi dan sesiapa saja yang mencintai dunia buku. Tetiba saya teringat seorang laki-laki......

WAWANCARA Kamis, 26 September 2019, 11:05WIB
Jatuh Bangun Ombak

Oleh: Jumardi Putra* Usai mengikuti Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di Magelang, November tahun lalu, saya mengunjungi kediaman Mas Muhammad Nursam. Sebelumnya perjumpaan kami beberapa kali......