Senin, 22 Februari 2021 16:29
WIB
Reporter :
Kategori :
Akademia
Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*
Adakah, atau masih mungkinkah, sebuah perubahan besar untuk membentuk sesuatu yang baru bisa terjadi di masa depan? Goenawan Mohamad dalam buku kumpulan esainya yang diberi judul Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004)seperti menjawab pertanyaan itu dalam sebuah esai yang ditulisnya pada 1992 yang merupakan komentar terhadap apa yang terjadi di Eropa selama hampir seabad, sejak revolusi Bolshevik 1917 dan kemudian runtuhnya Tembok Berlin 1989. Bagi Goenawan sejak itu tak akan ada lagi perubahan besar yang menggetarkan hati.
Pada saat yang hampir sama pandangan yang mirip dikemukakan Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man (1992). Tapi apa relevansinya dengan Indonesia, ketika setelah perubahan besar yang terjadi pada tahun 1998 banyak hal yang dijanjikan masih tidak terjadi? Lebih dari dua puluh tahun telah berlalu setelah peristiwa besar 1998 itu, masihkah ada harapan sebuah perubahan besar ada, atau mungkin, terjadi?
Dua hari yang lalu seorang teman mengambil buku di Klinik Baruna di Cikini milik Hariman Siregar yang berbaik hati memberi buku semi-otobiografinya Menjadi Benih Perlawanan Rakyat: Hariman Siregar, Malari 74, dan Demokrasi Indonesia. Buku yang terbit tahun 2018 ini tujuh tahun sebelumnya terbit dengan judul Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiaswa Menentang Modal Asing. Versi yang baru, diedit oleh Arif Zulkifli, disertai prolog Max lane dan epilog Cees van Dijk. Menurut Arif Zulkifli, selain ada tambahan tulisan Cees van Dijk dalam buku yang baru ini dihilangkan kesaksian orang-orang yang mengenal Hariman Siregar, mungkin agar sosok Hariman tampil lebih utuh tanpa tafsir dari orang-orang lain. Jadilah buku setebal hampir 400 halaman ini sebuah kisah tentang seorang tokoh gerakan mahasiswa pasca 1966 yang ditulis dengan gaya bahasa lentur, menyentuh dengan data-data yang cukup lengkap.
Pada bab 1 dari sepuluh bab dari buku ini, diawali dengan cerita seorang tahanan politik yang dalam waktu singkat harus menanggung beban mental yang sangat berat: Anak kembar yang meninggal tidak lama setelah dilahirkan, istri yang koma dan kehilangan daya ingat, ayah yang sakit dan meninggal serta mertua yang juga sama-sama di penjara. Beranjak dari kisah sedih di bab 1 itu, buku ini bergerak menarasikan kisah seorang anak yang sejak kecil dikenal sebagai anak cerdas dan nakal, yang tumbuh dalam lingkungan kelas menengah-atas Jakarta, kuliah di FKUI, bergaul dengan sisa-sisa pentolan PSI, termasuk bapak dan ayah mertuanya.
Buku Semi-otobiografi Hariman Siregar (2018)
Hariman masuk FKUI 1968 ketika situasi politik sudah mulai tenang. Para tokoh mahasiswa yang ikut menggulingkan Bung Karno dalam aksi-aksi tahun 1966 diangkat menjadi anggota DPR-GR, jika ada satu dua yang masih melakukan aksi protes praktis tidak memiliki arti lagi, sebagian lain menerima keadaan, sebagian frustrasi, termasuk Soe Hok Gie yang kemudian meninggalkan Jakarta dengan beberapa kawan dekatnya, dan meninggal akhir 1969 di Puncak Semeru. Dalam suasana politik yang mulai tenang itu Hariman tumbuh, dan terbukti baginya ketenangan politik itu semu, ada yang buat dia perlu disuarakan, ada ketidakadilan yang membuatnya berang untuk melakukan aksi. Awal 1970an bulan madu tentara dan mahasiswa memang mulai memudar. Suara-suara kritis mulai terdengar di sana-sini, terutama di Jakarta dan Bandung tempat bermukim tidak sedikit para tokoh kritis itu, korupsi di tubuh pemerintah merupakan salah satu sasaran kritik mereka. Awal aksi Hariman ditandai dengan kemenangannya untuk menduduki jabatan Ketua DMUI Agustus 1973 yang selama itu dikuasai oleh HMI. Hariman yang didukung oleh berbagai kelompok di luar HMI, termasuk pimpinan mahasiswa yang dibina OPSUS (Operasi Khusus Ali Mortopo) dan eksponen GDUI (Grup Diskusi Universitas Indonesia) itu mendapatkan 26 suara sementara HMI 24 suara. Bagaimana ketatnya pertarungan memperebutkan kedudukan Ketua DMUI digambarkan dalam buku ini dengan menarik karena menunjukkan eratnya dunia politik kemahasiswaan dengan kepentingan-kepentingan politik luar kampus, bahkan nasional, sebuah fenomena yang bisa kita saksikan smpai hari ini.
Setelah menjabat sebagai Ketua DMUI Hariman Siregar bergerak dengan GDUI sebagai think-thank-nya. Menjelang peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1973, DMUI menyelenggarakan sebuah seminar yang diisi para pembicara yang mewakili generasi 28, 45 dan 66. Puncak acara adalah pembacaan sebuah petisi, Petisi 24 Oktober 1973, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, yang teks lengkapnya adalah sebagai berikut (hal. 72-73):
Kami, pemuda-pemudi Indonesia, milik dan pemilik nusa dan bangsa tercinta, dari tempat terbaringnya kusuma-kusuma bangsa yang telah memberikan milik mereka yang paling berharga bagi kemerdekaan dan kekayaan bangsa Indonesia menyatakan kecemasan kami atas kecenderungan keadaan yang menjurus pada keadaan yang makin jauh dari apa yang menjadi harapan dan cita-cita seluruh bangsa.
Bahwa dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab di hari depan, yang keadaannya akan ditentukan oleh masa kini, di mana kami, sebahagian daripadanya, merasa berkewajiban mengingatkan pemerintah, militer, intelektuil, teknokrat, politisi untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun suatu strategi yang di dalamnya terdapat keseimbangan di bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan
2. Segera membebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran;
3. Lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat harus kuat dan berfungsi serta pendapat masyarakat luas mendapatkan kesempatan dan tempat yang seluas-luasnya;
4. Yang paling berkepentingan akan masa depan adalah kami, oleh karena itu penentuan masa depan – yang tidak terlepas dari keadaan kini – adalah juga hak dan kewajiban kami.
Kiranya Tuhan yang Maha Esa menyertai perjalanan Bangsa Indonesia.
Kalibata, Peringatan Sumpah Pemuda tahun 1973.
DEWAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA
Petisi 24 Oktober 1973, saya kira, telah disusun melalui hasil diskusi dan tukar pikiran antara konseptornya dengan sangat matang, dengan empati terhadap nasib orang banyak serta situasi yang sedang berkembang, dikemas melalui pilihan kata-kata yang terkontrol dengan pesan dan sikap politik yang jelas. Dari tanggal 24 Oktober 1973 hingga tanggal 15 Januari 1974, sebuah rentang waktu yang relatif pendek, tidak sampai 3 bulan; apa yang dicemaskan oleh anak-anak muda itu benar-benar menjelma menjadi sebuah kenyataan. Setelah uraian tentang Malari (bab 3 dan 4) bab-bab selanjutnya dari buku ini mengkisahkan perjalanan Hariman Siregar menjalani proses pengadilan, mendekam di penjara, dan kiprahnya yang seperti tidak kenal henti dalam arus kekuasaan yang terus diarunginya. Sebagai sebuah buku semi-biografi, buku yang ditulis kembali oleh Arif Zulkifli ini telah berhasil menghadirkan seorang tokoh politik yang secara konsisten bergerak di luar jalur perpolitikan resmi dan tetap menjadi pemberang yang anti terhadap kemapanan. Prolog dan epilog yang ditulis oleh dua pengamat, Max Lane dari Australia dan Cees van Dijk dari Belanda, memberikan bobot yang penting. Jika Max Lane memberikan analisis dan komentarnya sebagai pengamat yang terlibat, Cees van Dijk menyajikan sebuah dokumentasi yang penting berdasarkan apa yang terjadi dalam proses pengadilan Hariman Siregar. Bagi saya sendiri, teks Petisi 24 Oktober 1973 mungkin memiliki posisi paling sentral, tidak saja dalam konteks keseluruhan buku yang sedang dibicarakan, namun isi pesannya yang bisa dianggap sebagai telah melampaui zamannya.
Paling tidak ada tiga hal penting yang dikandung dalam teks Petisi 24 Oktober 1973 itu. Pertama, seperti telah dikemukakan di atas adalah ketepatan analisanya terhadap keadaan dan empati yang ditunjukkannya terhadap nasib orang banyak. Kedua, adalah kesadarannya yang tinggi akan tanggung jawabnya sebagai bagian dari generasi muda yang harus mengambil peran secara bertanggungjawab dalam perubahan untuk mencapai tujuan bersama, keadilan sosial bagi segenap warganegara. Ketiga adalah wawasannya yang menjangkau masa depan tapi tetap didasari oleh kesaksiannya tentang apa yang dilihatnya pada hari ini. Petisi itu menjadi sangat relevan karena aktualitas persoalan-persoalan yang masih terus bisa dirasakan hingga hari ini, hampir setengah abad setelah teks itu dituliskan. Tampaknya, di tengah ramalan para intelektual seperti Goenawan Mohamad, Francis Fukuyama, juga yang lain-lain tentang tidak akan adanya perubahan besar yang menggetarkan hati, Peristiwa Malari yang menampilkan sosok Hariman Siregar dan teks Petisi yang mendahuluinya itu; menjadi bagian penting dari sejarah panjang bangsa Indonesia; yang telah lewat, yang sedang kita jalani dan nanti yang akan datang.
*Peneliti independen. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo dapat dibaca di rubrik Akademia portal kajanglako.com
Tag : #Akademia #Hariman Siregar #Malari
Rabu, 03 Maret 2021 08:25
WIB Diduga Disunat, Dewan Pertanyakan Setoran Retribusi Terminal MuarabulianKajanglako.com, Batanghari - Uang setoran retribusi Terminal Muarabulian diduga disunat. Hal ini diungkapkan Anggota DPRD Kabupaten Batanghari. Menurut |
Selasa, 02 Maret 2021 21:31
WIB Bahas Honorer Nonkategori, DPRD Merangin Panggil Diknas dan BKDKajanglako.com, Merangin - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merangin hearing dengan Dinas Pendidikan Kebudayaan dan BKPSDM Merangin, |
Perspektif Jokowi dan Anies BaswedanOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Mungkin ada banyak perbedaan antara keduanya. Gaya bicaranya, blusukannya, taktik melobinya, politik identitasnya dan |
Perspektif Ada Yang Membusuk dalam Darah di Tubuh KitaOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Mungkin di tubuh saya dan sebagian dari kita sudah ada virus covid-19, tetapi tidak ada gejala yang tampak dari luar. Kita |
Sejarah Jambi Walter M GibsonOleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) Dalam rangka menyiapkan tulisan untuk rubrik ‘Telusur Jambi,’ saya teringat pada satu tas |
Senin, 22 Februari 2021 16:29
WIB
Rabu, 10 Februari 2021 13:23
WIB
Sabtu, 30 Januari 2021 04:42
WIB
Selasa, 19 Januari 2021 10:08
WIB
Minggu, 10 Januari 2021 11:04
WIB
Jumat, 29 Januari 2021 09:03
WIB
Makin Nyaman Antar Paket, IDexpress Kenalkan Gerai Ekspedisi Terbaik Untuk Warga Jambi |
Kamis, 21 Januari 2021 17:50
WIB
Di Paripurna DPRD, Gubernur Fachrori Umar Pamit dari Jabatan Gubernur |
Kamis, 11 Juni 2020 11:33
WIB
70 Persen Kebutuhan Ikan di Merangin Dipasok dari Luar |
Sabtu, 07 Maret 2020 04:39
WIB
Polemik Pagar Seng PT EBN vs Pedagang BJ Dikonfrontir di Meja Hijau DPRD |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.