Selasa, 19 Januari 2021 10:08
WIB
Aksi lockdown lokal warga di Yogyakarta. Sumber foto: mediaindonesia.com
Oleh: A. Windarto*
Pandemi Covid-19 melanda hampir ke seluruh daerah di tanah air. Angka pasien positif dan meninggal dunia akibat wabah mematikan ini terus merangkak naik. Seolah melangkahi negara, beberapa daerah, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta, secara mandiri melakukan aksi lockdown (karantina wilayah). Di sejumlah daerah itu, warga setempat menutup akses jalan, baik masuk maupun keluar, ke pemukiman masing-masing. Dengan hanya memasang palang bambu/kayu/seng disertai dengan beragam poster peringatan, akses jalan itu tidak dapat dilalui lagi oleh siapapun, termasuk para pemukimnya. Bahkan di salah satu daerah yang berada di pinggiran kota Surakarta, akses jalan ke pemakaman setempat pun tampak di-lockdown.
Aksi lockdown macam apakah yang sedang dipertontonkan oleh sebagian masyarakat yang dikenal sebagai penghuni dari pusat-pusat kebudayaan Jawa itu? Bukankah di sana merupakan (nara)sumber dari kebudayaan klasik dan adiluhung yang dianggap lebih mengarus-utamakan keharmonisan daripada konflik terbuka? Bagaimana pula aksi semacam ini dapat ditafsir dan dimaknai dalam konteks kebudayaan Jawa yang plural, toleran, dan revolusioner?
Dalam kajian kebudayaan tentang masyarakat Jawa, khususnya di Surakarta, James T. Siegel (Solo in the New Order, 1986) memperlihatkan bahwa sejumlah aksi lockdown lokal seperti itu mirip dengan fenomena latah. Artinya, aksi-aksi itu hanyalah reaksi spontan dari masyarakat karena merasa kaget, bahkan kagol (kecewa), atas peristiwa yang terjadi begitu cepat dan tak terduga. Dalam hal ini, pandemi wabah Covid-19 yang sebelumnya tak terbayangkan akan merebak di Indonesia ternyata justru mampu menjangkiti masyarakat secara masif dan tak mudah untuk ditanggulangi. Itulah mengapa aksi lockdown lokal yang dikerjakan secara reaktif oleh masyarakat sesungguhnya ingin menyatakan kenyataan yang bukan sekadar sebuah pernyataan (!) bahwa ada yang perlu untuk segera diberi perhatian.
Perhatian yang tercermin dari latahnya masyarakat untuk beraksi lockdown merupakan representasi dari kegagalan bereaksi dari pihak-pihak yang sedang berkuasa. Hal ini adalah akibat dari masih adanya pandangan yang menuduh bahwa masyarakat “tidak tahu apa-apa”, terutama berkait dengan pandemi wabah Covid-19. Sebab hanya mereka yang punya akses terhadap pengetahuan, khususnya medis saja yang dianggap berkuasa dan mampu untuk berkata-kata. Padahal dalam kesehariannya masyarakat pun punya bahasa yang dapat memanggungkan kerawanan dan kerapuhan dari kata-kata mereka yang merasa diri paling berkuasa.
Bahasa kerakyatan yang kerap di-sandiwara-kan dalam pentas ketoprak adalah salah satu siasat untuk memperlihatkan celah retak dari bahasa para penguasa yang terlihat tampak halus, mulus dan bikin lancar. Dengan “bahasa lisan” yang cenderung “apa adanya” (baca: “kasar”), sebagaimana kerap dipraktikkan oleh Mas Marco Kartodikromo (Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land, 2006), di panggung ketoprak segala yang tampak biasa-biasa saja dalam hidup sehari-hari menjadi seolah-olah luar biasa. Maka, tak heran jika ada mudah terpukau, bahkan tersinggung, dengan bahasa ketoprakan yang lugas, tegas, dan beraroma latah.
Sejumlah aksi lockdown yang telah dipentaskan selama pandemi wabah Covid-19 tampaknya perlu dibaca dan dimaknai dengan bahasa ketroprakan seperti itu. Bahasa yang di masa kini semakin tergusur oleh bahasa media sosial (medsos) yang cenderung memangkirkan kenyataan daripada menghadirkan kenyataan. Karena itulah, aksi-aksi dengan bahasa semacam itu adalah enak dan perlu untuk dikaji ulang dan disebarluaskan sebagai sebuah pengetahuan lokal yang boleh disebut kreatif dan/atau revolusioner dalam hidup ber(se)sama.
Pengetahuan lockdown ala ketoprak tersebut bisa jadi merupakan bahasa lain dari jargon “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi” (salus populi suprema lex esto). Jargon yang tak lain hanya menjadi bahasa teknis dalam hidup sehari-hari justru mampu dibuat macet dengan pengetahuan lockdown seperti itu. Dengan demikian, bukan saja akses jalan ke kampung-kampung yang dibatasi, tetapi juga bahasa kekuasaan yang cenderung lamban dan birokratis itu dilucuti satu demi satu. Jadi, melalui pengetahuan lokal itu, jargon yang kerap dimanfaatkan untuk kepentingan sepihak mampu ditelanjangi secara diam-diam, termasuk dalam konteks pandemi wabah Covid-19 saat ini.
Ironis, memang. Namun sesungguhnya ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari pengetahuan tersebut. Pertama, masyarakat tidak pernah tinggal diam dalam menjalani berbagai krisis, termasuk dalam pandemi wabah Covid-19, yang membuat hidup ber(se)sama menjadi hancur berantakan dan semakin tak tertanggungkan lagi. Kedua, masyarakat punya bahasa yang unik atau khas untuk menanggapi segala kekacau-balauan yang dalam kebudayaan Jawa dinamai dengan “Zaman Edan”. Ketiga, masyarakat masih punya harapan untuk dapat keluar dari berbagai krisis yang dalam bahasa milinerian disimbolkan sebagai “Ratu Adil”, “Imam Mahdi”, atau “Satria Piningit”.
Akankah ketiga pelajaran itu dijadikan (nara)sumber untuk mendalami dan mengatasi pandemi wabah Covid-19? Semoga!
*Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.
Ekspedisi Sumatra Tengah 1877 Hilangnya Si Anak SulungOleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) Di antara Soepajang dan Siroekam ada dataran tinggi yang luas. Beberapa pohon koebang yang bagus tumbuh |
Perspektif Demokrasi Ternyata Bisa Mati, Juga di Amerika SerikatOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Sebagai seorang politisi sekaligus gubernur yang memiliki gelar doktor ilmu politik Anies Baswedan tidak aneh kalau memiliki |
Tipikor Cerita Kasus Korupsi Baju Linmas, Tiga Tersangka Kembalikan Kerugian NegaraKajanglako.com, Merangin - Kasus korupsi baju Linmas Satpol PP Merangin sudah masuk tahap persidangan, Rabu (13/01) lalu sidang perdana di pengadilan Tipikor |
Pandemi Covid-19 Hasil Evaluasi, Dinas Pendidikan Sarolangun Tetap Lakukan Sekolah Tatap MukaKajanglako.com, Sarolangun – Dinilai tidak menemui kendala, proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau sekolah Tatap Muka di masa Pendemi Covid-19 |
Senin, 18 Januari 2021 19:50
WIB Tahun 2020, 406 Perempuan Merangin MenjandaKajanglako.com, Merangin - Angka perceraian di Kabupaten Merangin tinggi. 2020 lalu tercatat ada 479 perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama |
Selasa, 19 Januari 2021 10:08
WIB
Minggu, 10 Januari 2021 11:04
WIB
Selasa, 05 Januari 2021 19:32
WIB
Jumat, 25 Desember 2020 05:25
WIB
Rabu, 16 Desember 2020 15:25
WIB
Rabu, 06 Januari 2021 12:40
WIB
Bupati Masnah Hadiri Penyerahan Sertifikat Tanah Secara Simbolis |
Rabu, 06 Januari 2021 12:36
WIB
Wabup BBS Resmikan Mobil Esemka MU-COE Karya Siswa SMK |
Rabu, 23 September 2020 16:31
WIB
Strategi Menyusun Rencana Keuangan Hasil Pinjaman Online |
Kamis, 11 Juni 2020 11:33
WIB
70 Persen Kebutuhan Ikan di Merangin Dipasok dari Luar |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.