Rabu, 04 Oktober 2023


Minggu, 22 Desember 2019 07:55 WIB

Canting

Reporter :
Kategori : Pustaka

Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

Oleh: Manuel Kaisiepo*

"Syukur ada sastra dan sejarah!"



Konon, Aristoteles pernah mengatakan seorang penyair atau sastrawan lebih agung dari seorang ilmuwan, termasuk sejarawan. Sebab ilmuwan harus membatasi diri pada data-data faktual. Sebaliknya sastrawan mampu menciptakan dunia yang lebih lengkap, mampu mengungkapkan unsur-unsur eksistensi manusia yang hakiki dan universal.

Dan pakar sekaligus kritikus sastra Indonesia terkemuka dari Belanda, Prof. Dr. A. Teeuw mengulang pendapat itu ketika dirinya mengulas novel karya Arswendo Atmowiloto.

Teeuw mengutip David Daiches tentang seorang sastrawan: "...he create a self-sufficient world of his own, with its own compelling kind of probability, its own inevitability, and what happens in the poet's story is both "probable" in terms of that world and, because the world is itself a formal construction based on elements in the real world, an illumination of an aspect of the world as it really is.." (dalam Critical Approaches To Literature, 1956).

Pendapat Daiches ini dikutip Prof. Teeuw ketika dia membuat ulasan menarik yang "membandingkan" buku ilmiah karya begawan sejarah Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dkk dengan sebuah novel sastra karya Arswendo Atmowiloto.

Buku karya Prof. Sartono dkk, Perkembangan Peradaban Priyayi (1986) adalah suatu karya ilmiah yang juga memanfaatkan roman-roman Jawa sebagai sumber penting untuk menjelaskan persepsi orang Jawa sendiri sebagaimana terungkap dalam sastranya tentang peradaban priyayi Jawa.

Buku sejarah ini oleh Prof. Teeuw "dibandingkan" dengan CANTING (1986) novel Arswendo Atmowiloto, yang mengisahkan kehidupan keluarga priyayi Jawa pada masa yang lebih baru, yakni awal hingga pertengahan 1960-an. Sosok sang priyayi yang sentral dalam novel ini adalah Raden Ngabehi Sestrokusuma, biasa disapa Pak Bei dan istrinya Bu Bei.

Ket: Arswendo Atmowiloto.

Menurut Teeuw, kedua buku ini punya kekuatan dalam bidang masing-masing --sebagai karya ilmiah dan sebagai karya sastra- yang melukiskan potret kehidupan priyayi Jawa pada zaman yang telah berubah.

Prof. Teeuw menutup uraiannya dengan menyatakan barang siapa ingin mendapat informasi yang "tepat" mengenai institusi kepriyayian Jawa, sebaiknya membaca buku Prof. Sartono. Yang ingin membaca hasil rekaan mengenai manusia dalam latar yang dapat dihayatinya sebagai dunia Jawa, mungkin akan merasa puas dengan CANTING.

Maka itu, kata Teeuw: ".....syukurlah ada sastra serta ilmu sejarah sebagai dua ragam pengungkapan persepsi manusia tentang dirinya!".

Namun ketika membaca kembali dua buku itu, bagi saya novel sastra karya Arswendo terasa lebih mampu menangkap nuansa dan mengungkap suasana konflik batin, pergumulan, dan benturan nilai-nilai priyayi Jawa. Misalnya, dalam kajian ilmiah tentang priyayi dan dunia batin orang Jawa, mungkin akan sulit menemukan tafsir tentang makna "pasrah" atau "sumangga" semacam ini (dalam CANTING):

"...Bu Bei hanya bisa menunggu. Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasib, menerima takdir, menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir, bersiap menerima yang terburuk ketika mengharap yang terbaik."
"...pasrah bukanlah kalah atau mengalah, tetapi menerima dengan damai....:”

Demikian pula tentang "sumangga" atau "terserah". Sumangga adalah sikap pasrah membahagiakan lahir maupun batin. "Semua berjalan sendiri, mengalir begitu saja seperti kesetiaan air sungai, yang walau menjauhi sumbernya, kesetiaan ketika mengalir ke muara......".

"Tafsir" ala Arswendo dalam novelnya ini mampu mengungkap nuansa dan makna yang justru sulit ditemui dalam kajian ilmiah tentang dunia priyayi Jawa.
Tafsir macam ini tentu saja tidak hanya ada dalam karya sastra Arswendo saja. Tafsir ini juga ada dalam novel Linus Suryadi, Pengakuan Pariyem (1981), atau dalam novel Umar Kayam, SRI Sumarah (1980), dan yang lain.

Apakah dengan begitu karya sastra lebih baik dari karya ilmiah dalam mengungkap dunia batin priyayi Jawa?

Tentu tidak! Yang ingin dikatakan hanyalah bahwa sering suatu karya sastra di samping kemampuan estetika naratifnya, bisa pula menyodorkan nuansa yang memungkinkan pembacanya lebih mampu memahami dan menghayati konteks suatu realitas dan historis tertentu secara lebih bermakna.

Dan itu bisa kita rasakan ketika membaca karya-karya sastra Arswendo Atmowiloto yang begitu banyak, termasuk CANTING.

*Dalam masa kepresidenan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Manuel Kasiepo diangkat menjadi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Karya tulisnya terbit dalam bentuk jurnal, buku dan tulisan populer. Sastrawan Arswendo Atmowiloto meninggal dunia 22 Juli 2019.


Tag : #Pustaka #Arswendo Antmowiloto #Canting



Berita Terbaru

 

Perspektif
Minggu, 01 Oktober 2023 07:53 WIB

"Indonesia Out of Exile": Politik dan Puitik Migrasi


Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Judul lengkapnya "Indonesia Out of Exile: How Pramoedya's Buru Quartet Killed a Dictatorship", sebuah buku baru diterbitkan

 

Pameran Koleksi Etnografi
Senin, 25 September 2023 18:26 WIB

Jalan Pulang Ke Akar Kebudayaan: Catatan Atas Pameran Koleksi Etnografi Museum Siginjei


Oleh: Jumardi Putra* Siang itu langit kota Jambi berawan cerah. Saya bergegas mengendarai motor dari Jalan Jenderal Ahmad Yani menuju Museum Siginjei di

 

Sosok dan Pemikiran
Kamis, 21 September 2023 08:11 WIB

Ignas Kleden


Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Dalam sebuah percakapan dengan Salman Rushdie, mungkin menjadi wawancara terakhir sebelum wafat karena penyakit leukemia yang

 

Rabu, 20 September 2023 10:37 WIB

Gelar Kampus Rakyat Terpilih Guna Cegah Radikalisme, BNPT RI-FKPT Gandeng Anak Muda Jambi


Kajanglako.com, Jambi - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)RI bekerjasama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jambi menggelar

 

Catatan Perjalanan
Rabu, 20 September 2023 07:38 WIB

Dari Kota Tua Ke Pusara Sitti Nurbaya


Oleh: Jumardi Putra* Berkunjung ke kota Padang tidak lengkap rasanya jika tidak menginjakkan kaki di Kota Tua atau kerap disebut Padang Lama oleh warga