Kamis, 01 Juni 2023


Kamis, 25 April 2019 05:39 WIB

Para Datuk Penjaga Belantara

Reporter :
Kategori : Sudut

ilustrasi

Oleh: Jon Afrizal*

Di penghujung 2000-an, delapan orang dimangsa harimau di sebuah kawasan di Kabupaten Muarojambi. Sesuatu yang luar biasa, hingga harus ku-report secara terus menerus dalam hitungan dua pekan. Laiaknya musim kabut asap yang jika datang bakal membuat jenuh dan bosan, serta harus mengeluarkan biaya ekstra untuk ke dokter, karena menderita sesak nafas dan penyakit sejenis.



Kunjunganku ke penduduk asli di daerah itu, Suku Melayu, telah memberikan penegasan terhadap sesuatu yang dinyatakan salah oleh alam. Para korban, adalah para pendatang dari luar provinsi ini.

Mereka datang untuk bebalok. Menghancurkan tegakan demi tegakan pohon yang seharusnya menjadi "mesin pendingin" bagi kawasan itu. Massif-nya pebalakan, begitu istilah para aktifis, tentu saja telah menciptakan peluang "usaha" baru.

Warung-warung yang tidak remang, atau jika dimodernkan beristilah "cafe", adalah sebuah keharusan untuk eksis di banyak kawasan pebalakan.

Tentunya tidak sangat remang, sebab alunan musik demikian kencang volumenya, ditambah beberapa teguk air yang telah ber-fregmentasi menjadi zat pembuat kepala puyeng.

Para pebalak adalah laki-laki yang kuat. Sehingga butuh "sesuatu" untuk "menyalurkan" kekuatan itu. Entah apa yang terjadi, di suatu malam di tepi hutan, jika dua pasang manusia berjenis kelamin berbeda bersama-sama dan dalam kondisi "tidak sadar".

Itu belumlah cukup, maka dicurilah seekor anak harimau buat menambah penghasilan. Ketiga alasan ini telah lebih dari cukup bagi para "datuk" penguasa rimbo di Jambi untuk menggunakan sebuah kata: Amok.

Amok adalah kosa kata Melayu yang diadopsi ke bahasa inggris. Kosa kata itu menjelaskan sebuah kondisi psikologis seseorang yang sudah teramat marah. Amok hanya ditemukan di kasanah Melayu, dan tetap belum terjelaskan secara lugas hingga kini.

Dalam kondisi mengamuk (: menurut Bahasa Indonesia), seseorang bisa melakukan apa saja di luar kesadarannya. Tidak ada yang bisa membendung amarah yang keluar. Untuk istilah yang lain, mungkin dekat dengan prasa "gilo babi" menurut bahasa Melayu Jambi.

Jadilah, korban demi korban berjatuhan dan mati. Bahkan mereka yang tinggal di atas rumah panggung sekalipun turut meregang nyawa.

Menurut penduduk lokal, mereka yang jadi mangsa buruan adalah para pendatang itu. '"Lah salah jalan," kata seorang warga menuturkan.

Bagi masyarakat Melayu Jambi, harimau adalah raja di luar kerajaan yang disahkan. Meskipun ia berada di luar teritori kerajaan manusia, tetapi ia bisa masuk ke wilayah itu, jika ada hal-hal yang tidak disukainya, atau jika ada penduduk yang melanggar adat yang diberlakukan.

Ini hubungan yang tidak bisa disangkal. Bertanyalah dengan penduduk lokal yang berada di sekitar hutan. Maka, kisah yang sama juga yang akan anda dengarkan.

Sehingga adalah wajar jika harimau menjadi di-maskot-kan sebagai lambang Provinsi Jambi. Dan, bukan satwa yang lainnya.

Selain itu, bertutur para penduduk, tempat favorit para "datuk" adalah ladang ilalang. Ini dikuatkan dengan celotehan rakyat, "kalu rimau, di sebatang lalang be biso ilang."

Tetapi kini, harimau bukanlah para "datuk" lagi, jika ia berada di luar rimbo. Ia adalah komoditas. Untuk diperdagangkan di pasar gelap internasional, yang tidak perlu berjual beli hanya pada kegelapan malam saja.

Perburuan harimau begitu menggila di kitaran 2000-an, bersamaan dengan kegiatan bebalok yang pemerintah menyebutnya "illegal logging".

Para peburu berkeliaran dari satu desa ke desa lainnya, mulai dari hilir hingga ke huluan Jambi. Sebuah kunjunganku ke suatu daerah huluan sewaktu itu membuatku terhenyak pada kondisi yang sangat jauh dari pengetahuanku tentang adat istiadat Melayu yang mengagungkan "datuk" itu.

Para peburu, lagi lagi berasal dari luar provinsi ini, telah menggunakan penduduk lokal sebagai informan awal keberadaan "datuk" terkini. Lalu dibuatlah sayembara, jika ada penduduk yang menemukan jejak harimau yang masih "hangat" saat disentuh jemari, jika ia melaporkannya ke peburu, maka ia akan mendapatkan imbalan berupa sejumlah uang.

For God shake's. Satu persatu para datuk meninggalkan belantara. Berubah jadi dingin tanpa darah: mati. Ia dikuliti, dipisahkan tulang, gigi, cakar dan misainya. Terakhir, packing dan entah berada di belahan dunia mana raga para datuk itu.

Kondisi ini membuat Jambi ditekan banyak pihak, secara lokal, nasional hingga internasional. Maka jadilah peburu yang kemudian diburu. Satu per satu mereka masuk bui.

Cukup efektif untuk sedikit menghentikan peburuan harimau di Jambi. Sedikit? Tentu saja, masih terjadi peburuan hingga saat ini. Begitu banyak jerat harimau yang terbuat dari kawat sling yang ditemukan para petugas penjaga hutan di hilir Jambi saat ini, misalnya.

Aku tidak akan bicara soal jumlah, karena tidak pernah bisa ku-akurat-kan dengan realitas di lapangan. Tetapi, terpikirkah anda, berapa jumlah harimau yang hidup, yang kini berada di luar Jambi?

Mulai dari berbagai kebun binatang skala nasional hingga internasional? Jika harimau mati di Jambi, itu sudah "dibiasakan", bahkan untuk sebuah kebun binatang. Rangga mati dikuliti di kandangnya sendiri, masih ingat peristiwa di kitaran 2010 itu?

Terbetik pula kabar seekor harimau mati di dinginnya iklim benua Eropa, belum lama ini. Terbetik juga kabar telah lahir beberapa ekor anak harimau di benua Australia, juga belum lama ini.

Apa arti ini semua? Ada yang bisa menjelaskan lebih baik dari semua penuturanku sebelumnya?

* Jurnalis TheJakartaPost dan anggota Majelis Etik (ME) AJI Kota Jambi


Tag : #hutan #harimau #pembalakan #kearifan lokal



Berita Terbaru

 

Resensi Novel
Selasa, 30 Mei 2023 16:06 WIB

Lantak La: Dramaturgi Anonim-Anonim (Sebuah Timbangan)


Oleh: Jumardi Putra* Lantak La! Boleh dibilang kata itu yang membuat saya ingin segera membaca novel hasil sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun

 

Senin, 29 Mei 2023 16:31 WIB

Kemensos RI Kucurkan Dana Sebesar Rp.23.894.912.692 untuk 21.754 Penerima Manfaat


 DHARMASRAYA - Peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat (Sumbar)

 

Senin, 29 Mei 2023 15:24 WIB

Hari Puncak HUT Lansia ke-27 Berlangsung Meriah dan Sukses, Risma Ajak Seluruh Masyarakat Kampanyekan Cinta Lansia


  DHARMASRAYA – Pelaksanaan peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi

 

Senin, 29 Mei 2023 00:51 WIB

Peringati HLUN 2023 Dharmasraya, Nenek Nuriyah Dapat Bantuan Usaha dari Kemensos


  DHARMASRAYA - Gegap gempita menjelang perayaan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) pada 29 Mei mendatang dipastikan tak hanya menjadi acara seremonial.

 

Senin, 29 Mei 2023 00:37 WIB

Prosesi Santiaji pada HUT ke-19 Tagana Indonesia di Dharmasraya Berlangsung Meriah


  DHARMASRAYA – Perhelatan acara Santi Aji dalam rangka peringatan Hari Tagana ke-19 di Kabupaten Dharmaaraya pada hari Minggu, (28/05/23) berlangsung