Sabtu, 03 Juni 2023


Senin, 08 Oktober 2018 09:20 WIB

Membaca Pandangan Strategis Prabowo Subianto

Reporter :
Kategori : Pustaka

buku pradoks Indonesia

Oleh: Wiwin Eko Santoso*

Akhirnya, saya mengkhatamkan buku Prabowo Subianto, yang berjudul “Paradoks Indonesia. Pandangan Strategis Prabowo Subianto.” Cet. Ke-1. Jakarta: Koperasi Garudayaksa Nusantara, 2017.



Meskipun demikian, saya tidak bisa menulis komentar untuk seluruh isi bukunya. Hanya beberapa bagian yang menarik perhatian saya.

Mengenai bukunya sendiri, Prabowo Subianto menulis: “Karena itu, saya percaya mereka takut dengan isi dari buku ini. Saya percaya, mereka tidak ingin gagasan-gagasan yang disampaikan di buku ini dibaca luas oleh rakyat Indonesia. Mereka juga tidak ingin ada hadir di tengah rakyat Indonesia.” (2017: 63)

Agaknya, pendapat Prabowo berlebihan.

Sebab, saya tidak merasa ada yang perlu ditakuti dari buku ini. Gagasan-gagasan Prabowo biasa-biasa saja. Tidak ada hal revolusioner yang perlu ditakutkan bila buku ini dibaca luas.

Boleh dibilang, apa yang disampaikan Prabowo itu hanyalah pengetahuan yang umum saja.

“Semua proyek dikorupsi, semua orang disogok. Semua pemimpin kita mau dibeli dan mau disogok,” begitu, tulis Prabowo Subianto (2017: 62).

Umum saja kan pernyataan begini?

Sebenarnya, kalau mau khusus dan bikin takut, ya Prabowo harus tunjuk contoh saja. 

Sebab, dari membaca buku itu, Prabowo tidak mau membicarakan siapa? Apakah kami, kita, mereka, atau siapa? Yakinkah dengan “semua pemimpin kita” yang “mau dibeli dan disogok” itu? Yakin “semua” bukan sebagian? Sungguh, “semua” atau beberapa? Kalau semua, maka Prabowo sendiri kan termasuk pemimpin?

Kalau benar “semua pemimpin kita mau dibeli dan mau disogok,” tulis Prabowo tadi, maka contohnya bagaimana? Gak ada urusan pakai 'kardus' kan?

Sayangnya, kalimat-kalimat umum dan tanggung masih sering muncul di buku, misalnya, Prabowo (2017: 64) menulis: “Sekarang banyak pemimpin kita, banyak penjabat kita bukan taat kepada Undang-undang Dasar, bukan taat kepada kepentingan bangsa, tetapi taat kepada yang memberi uang.”

Tidak ada contoh. Siapa pejabat atau pemimpin yang taat kepada yang memberi uang itu? Setidaknya, berikanlah referensi entah berupa riset atau pengalaman.

Lagi-lagi, Prabowo (2017: 66) menulis: “Demokrasi kita sekarang mau dirusak dengan politik uang. Saat ini, uang yang mahakuasa. Ya, dengan uang, bangsa kita hendak dijajah kembali. Pemimpin-pimimpin kita dibeli, ..., DPR, ketua-ketua partai kita banyak yang lemah dan bisa dibeli.... Termasuk pemimpin-pemimpin agama kita, ada yang sudah mulai dirusak uang. Demokrasi sekarang adalah demokrasi yang punya uang.”

Sekali lagi, ini pernyataan politik yang mengambang dari Prabowo. Apa buktinya, misalnya ada ketua partai yang lemah bisa dibeli dengan uang? Bisa beri contoh? Cuplik dong dari kliping koran misalnya.... minimal, “yang diduga” bisa dibeli dengan uang, ada gak contohnya?

Di situ, tertulis, katanya bahwa “Prabowo tidak bisa jadi kacung kamu. Indonesia tidak mau jadi kacung kamu....” (Prabowo, 2017: 67) Wah, kocang-kacung, apa itu ya maksudnya? (Saya temukan kata “kacung” juga di halaman 42)

Kemudian, Prabowo menulis: “Ada sebuah adagium, ajaran klasik, di semua tentara di seluruh dunia, ajarannya adalah ‘there are not bad soldiers, only bad commanders.” Tidak ada prajurit yang jelek. Yang ada hanya pemimpin-pemimpin yang jelek..” (Prabowo Subianto, 2017:99)

Lho, itu kan adagium tentara, bukan politikus?

Baik, anggaplah adagium tentara itu bisa dipakai untuk kalangan politikus. Terus, saya malah ingin bertanya: “Jika ada anggota tim sukses ada yang jelek, misalnya karena main hoax, maka yang jelek itu anak buah atau pemimpinnya?”

Oh iya, agaknya ada juga sih dalam bukunya, Prabowo memberikan refleksi, benar-benar dari pengalamannya. Prabowo Subianto menulis begini:

“Saking pintarnya, mereka jadi pintar bohong semua. Saya masuk politik karena terpaksa. Minta ampun politik ini! Dari 15 orang yang saya temui di politik, 14 orang bohong semua.” (Prabowo, 2017: 128)

Menarik ini.

Saya garisbawahi, jika Prabowo bertemu dengan 15 politikus, maka 14 orangnya bohong semua. Misalnya, kalau saya hitung, total orang yang ditemui 15 termasuk Prabowo menjadi 16 orang. Nah, hanya Prabowo dan 1 orang saja yang jujur?

Saya simulasikan kira-kira begini: ada pertemuan politik, antara Prabowo dan 15 orang, yang terdiri dari: Sandiaga Uno, Ratna Sarumpaet, Amien Rais, Mardani Alisera, Fadli Zon, Zulkifli, dan seterusnya.

Nah, dari situ, sesuai pernyataan dan pengalamannya Prabowo itu, saya harus memilih 14 orang yang “harus” dianggap bohong semua, dan dari 15 itu hanya sisa satu. Anggaplah, yang jujur hanya satu, saya ambil, bahwa dia adalah Sandiaga Uno, maka yang jujur atau dianggap jujur ya hanya Prabowo sendiri dan Sandiaga seorang. Kemudian, Amien Rais, Ratna, Taufik, Fadli Zon, dan seterusnya—mau tak mau—ya dianggap pembohong semua. Gitu?

Aduh kok saya merasa ngeri-ngeri geli juga nih...

Sudahlah, segitu saja?

Oh iya. Prabowo (2017:13) menulis, bahwa 2 dari 3 ruang kelas rusak. Sebanyak 74% ruang kelas SD, 71% ruang kelas SMP, dan 54% kelas SMA dalam kondisi rusak.” Prabowo memakai data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016.

Masalahnya, ini menjadi paradoks juga, ketika ada anggota partai Gerindra pernah bakar sekolah di Kalimantan. Nah, itu bagaimana? Apakah itu bukan paradoks?

Selain itu, dalam bukunya, Prabowo juga terkesan tidak memberikan arah solusi yang jelas.

Contoh, Prabowo (2017: 54) menulis, “data dari tahun 2015, dari BPS, ada 37 juta orang Indonesia yang berprofesi sebagai petani. Namun lebih dari 75%, lebih dari 28 juta petani tidak punya lahan sendiri. Yang memiliki lahan sendiri hanya 9 juta petani, itupun luasnya sungguh tidak seberapa.”

Terus gimana nasib petani itu? Masih hanya dibela dan dibahas “Pasal 33 UUD 1945 yang asli” saja? Atau pakai UU Desa atau pakai apa solusinya, bagaimana?

Padahal, saya pernah dengar dari siswa, bahwa guru di sekolahnya pernah bilang: Jokowi bagi-bagi tanah, sertifikat ke petani, adalah tanda dia perlu dituduh komunis. Gimana ini?

Solusi?

Sudah ah. Minuman rempah dan snack-ku sudah habis.

 

Jambi, 8 Oktober 2018

 

*Penulis adalah pemerhati sejarah. Kini tinggal dan bekerja di Kota Jambi. 


Tag : #Paradoks Indonesia #Prabowo Subianto #Pandangan Strategis



Berita Terbaru

 

Resensi Novel
Selasa, 30 Mei 2023 16:06 WIB

Lantak La: Dramaturgi Anonim-Anonim (Sebuah Timbangan)


Oleh: Jumardi Putra* Lantak La! Boleh dibilang kata itu yang membuat saya ingin segera membaca novel hasil sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun

 

Senin, 29 Mei 2023 16:31 WIB

Kemensos RI Kucurkan Dana Sebesar Rp.23.894.912.692 untuk 21.754 Penerima Manfaat


 DHARMASRAYA - Peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat (Sumbar)

 

Senin, 29 Mei 2023 15:24 WIB

Hari Puncak HUT Lansia ke-27 Berlangsung Meriah dan Sukses, Risma Ajak Seluruh Masyarakat Kampanyekan Cinta Lansia


  DHARMASRAYA – Pelaksanaan peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi

 

Senin, 29 Mei 2023 00:51 WIB

Peringati HLUN 2023 Dharmasraya, Nenek Nuriyah Dapat Bantuan Usaha dari Kemensos


  DHARMASRAYA - Gegap gempita menjelang perayaan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) pada 29 Mei mendatang dipastikan tak hanya menjadi acara seremonial.

 

Senin, 29 Mei 2023 00:37 WIB

Prosesi Santiaji pada HUT ke-19 Tagana Indonesia di Dharmasraya Berlangsung Meriah


  DHARMASRAYA – Perhelatan acara Santi Aji dalam rangka peringatan Hari Tagana ke-19 di Kabupaten Dharmaaraya pada hari Minggu, (28/05/23) berlangsung