Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Reporter :
Kategori :
Jejak
Sketsa Kota Jambi. Ada posisi komplek makam di dalamnya (Kerkhof)
Oleh: Wiwin Eko Santoso*
Pukul 10.50 WIB, Minggu 03 Juni 2018, saya berkunjung ke Makam Belanda atau Kuburan Kristen (Christelijk Kerkhof van Jambi) yang berlokasi di RT 13 Kelurahan Beringin, Kecamatan Pasar, Kota Jambi.
Makam Belanda, yang terletak di pertemuan Jalan M. Husni Thamrin dan ujung barat Jalan Jembatan Makalam ini, diisi pula oleh nisan warga Jepang dan Batak, bahkan seorang warga Amerika. Tidak semua makam terawat dan terbaca identitasnya.
Mulanya, saya fokus mencari genah makam Letnan J. Schouw Santvoort, yang meninggal 22 November 1877 di Kota Jambi. Kemudian, saya malah menemukan beberapa makam yang prasasti nisannya cukup jelas.
Saya pun mencatat dan memfoto beberapa makam, seperti Anna Catharina Blok Caspari (wafat di Sarolangun 1931), Petrus Gerbert Bylaard (wafat 1917), Elisabeth Victoria Clementine (wafat 1918), Johanna Suzanna da Graca Toorop (wafat di Bajubang 1940), Louise Gerdine Kortlanot Echtgenote van CP Schaafsma (wafat di Bajubang 1953), Johanna Mathilde van Nistelrooy (wafat 1951), dan Charles Edward Verlinden (wafat 1953).
Oleh karena belum menemukan nisan Schouw Santvoort, esoknya, pukul 14.00 WIB, Senin 04 Juni 2018, saya berkunjung lagi ke makam tersebut, lantas saya mendapatkan nama baru, yakni P.H. Wukhuizen (wafat 1924), Henricus Josef Goudberg (Sersan Infanteri yang wafat di Muaro Bulian 1926), dan memfoto lebih jelas lagi perempuan misionaris Amerika si Helen Pomeroy Mitchell (wafat 1940).
Ternyata, ada satu makam yang lempengan marmer putihnya miring, nyaris tertimbun tanah, yang berprasasti, yakni: R.C. van den Bor. Saya mencari sebilah ranting tak jauh dari makam, hanya untuk mengais-ngais tanah, agar tulisan R.C. van den Bor makin jelas.
Ket: Penulis saat membersihkan nisan makam R.C. van den Bor (5/6/18)
Esoknya, Rabu 05 Juni 2018, sekira pukul 13.00 WIB, ditemani oleh Jumardi Putra (peneliti Seloko Institute), saya berkunjung lagi ke makam, dengan membawa 2 botol air dan sebuah sikat kecil, untuk membersihkan nisan R.C. van den Bor.
Selain dapat membaca profil makam Bor, saya juga memperoleh nisan Jan Marie Pieter Kluit (seorang Kapten Luitnan, yang wafat di Sungai Batanghari tahun 1906), dan marmer nisan Ferdinand Claudius Meelhuysen (wafat1929).
Sependek penelusuran saya, tidak semua nama itu dapat kita lacak secara sekaligus riwayatnya.
Namun, kembali ke makam R.C. van den Bor, yang separuh lebih nisannya terpuruk dalam tanah, kondisi marmer bagian utara yang sebelah kanan sudah gompal, begitu selesai disirami satu botol air dan disikati dari tanahnya, informasi R.C. van den Bor mulai jelas.
Mungkin, nisan R.C. van den Bor inilah yang terinventarisasi sebagai makam nomor 44, dalam Laporan Inventarisasi Makam Kuno (Kerkhof) Masa Kolonial Belanda dan Jepang oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi (BP3) oleh Retno Raswaty & Marjani, 2004:34.
Demikian pula dalam Laporan Pemetaan dan Penggambaran Kerkhoft oleh BP3 Jambi (Kini BPCB), deskripsi ringkas untuk nisan R.C. van den Bor belum diberikan (Agus Widiatmoko dkk, 2005: 3-4 & Peta 4). Apabila ditanyakan kepada Mbah Google pun, nama R.C. van den Bor juga belum dijawab. Cobalah kalau tidak percaya.
Jadi, siapa itu R.C. van den Bor?
Setelah dibersihkan sebagian lempeng nisannya, maka saya memperoleh prasastinya begini: “Ridder der Oranje-Nassau Orde”. Artinya, R.C. van den Bor bergelar bangsawan Orange-Nassau. Sebuah gelar bangsawan yang terkenal berpengaruh dalam politik dan pemerintahan Belanda. Kemudian, R.C. van den Bor, yang lahir tahun 1862 dan wafat 1910, ditulis dalam nisannya: “Laatstelijk Assistent Resident der Djambische Bovenlanden”. Artinya, pangkat terakhir dalam hidup Bor adalah Asisten Residen Jambi Hulu.
Sebelumnya, R.C. van den Bor seorang kontrolir di onderafdeeling Sarolangun.
Pada April 1890, di Sarolangun, kontrolir Van Laer dibunuh oleh seorang Jambi. Ini salah satu dari kekerasan yang banyak terjadi di daerah Rawas dan Sarolangun. Pada Mei 1901, kediaman kontrolir di Sarolangun/Rawas diserang oleh sekelompok massa dari Tembesi Hulu dan Batang Asai, hingga batalyon infantri bersenjata meriam dikirim dari Batavia.
Menurut J. Tideman dan L. Sigar (1938: 40-42), tahun 1904 Kontrolir R. H. Kroesen terbunuh dalam perjalanan dinasnya, sedangkan tahun 1906 kontrolir R. C. van den Bor terluka berat di Sarolangun.
Pada 01 November 1904, di Merangin, pengikut Haji Umar dan Pangeran Seman telah berkobar untuk menyerang Kontrolir R.H. Kroesen yang baru saja melakukan kunjungan kerja ke Nalo. Di situlah R.H. Kroesen menemui ajalnya (Jang Aisjah Muttalib, 1995:64).
Kemudian, Mei 1906, pasukan Alam Perun dan Pangeran Haji Umar mencoba membunuh R.C. van den Bor, kontrolir Sarolangun. Ternyata percobaan itu hanya membuat R.C. van den Bor terluka parah, namun nyawanya masih selamat (Jang Aisjah Muttalib, 1995:67; J. Tideman & PH. F. L. Sigar,1938:42).
Memang, sejak Pangeran Haji Umar dan Pangeran Seman kembali ke Merangin, maka suasana atau pemberontakan kembali mencuat (Jang Aisjah Muttalib, 1995:67). Jadi, Haji Umar dan Pangeran Seman berhasil membunuh Kontrolir R.H. Kroesen, tetapi tidak kepada kontrolir Sarolangun, yakni: R.C. van den Bor.
Pada April 1907, Pangeran Haji Umar, sebagai seorang anggota terakhir suku Kedipan, meninggal, yang disaksikan oleh Raden Hamzah, cucu Sultan Taha Saifuddin (Elsbeth Locher-Scholten,2008:278).
Boleh dibilang di sini, seorang bangsawan Oranje-Nassau seperti kontrolir Sarolangun R.C. van den Bor, bertempur dengan bangsawan Melayu Jambi seperti Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman, dan sebagainya.
Lantas, 07 September 1907, dalam operasi militer Belanda non-stop, akhirnya, pimpinan perlawanan Jambi paling penting, yakni Raden Mat Taher, wafat. Itu pun setelah abangnya, Raden Achmad, meninggal sehabis sholat magrib. Kelak, mereka dikuburkan di Kota Jambi pada Pemakaman Bangsawan (Makam Raja-Raja) Jambi di Tepi Danau Sipin (Usman Meng, 2006: 26).
Perlu dicatat, tahun 1907 ini, “priyayi Belanda” R.C. van den Bor masih siap bertempur, sedangkan Pangeran Singo, Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman, dan Raden Mat Taher—semuanya telah gugur.
Baru pada 1910, ketika menjabat sebagai Assisten Residen Jambi Bovenlanden, R.C. van den Bor meninggal. Akan tetapi, saya tidak tahu apakah ia meninggal dibunuh atau sakit. Apakah Bor ini wafat takala ia menjadi anak buahnya Residen kedua Jambi A.J.N. Engelenberg (02 Desember 1908 - 13 Juli 1910)? Atau malah gugur di era Residen Jambi ketiga, Th. A. L. Heyting (13 Juli 1910 - 03 Desember 1915)?
Di nisan Kerkhof van Jambi hanya tertulis tahun saja, yakni 1910.
Demikian pula, apakah Assisten Residen Bor ini wafat 1910 saat perjalanan dinas atau ketika terjadi pertempuran, saya tidak atau belum tahu sejauh ini. Akan tetapi, situasi sosial sekitar dan setelah R.C. van den Bor ini wafat, secara umum saya agak mengetahui.
Sejak tahun 1910 sampai 1916, keresidan Jambi mulai memperoleh gerakan-gerakan sosial (Peasant Response) yang berciri antara lain: lokal, tak terorganisir, dan berumur singkat. Peristiwa tahun 1910-1916 akan membuyarkan “kemerdekaan” tahun 1907 (pasca gugurnya Raden Mat Tahir). Misalnya, pada tahun 1910, perlawanan-perlawanan terhadap kolonial Belanda mulai terjadi di Sarolangun dan Muaro Tembesi (Jang Aisjah Muttalib, 1995:183; Junaidi T Noor dkk, 2013:203). Mari kita lihat sedikit kronologisnya.
Pada 21 Januari 1910, kepala distrik Datuk nan Betigo, Datuk Temenggung, melapor kepada Kontrolir Sarolangun bahwa ada seorang pemuda bernama Alam Bidar, yang terkenal di Sarolangun sebagai Imam Mahdi, dari desa Sungai Dingin, dengan 5 pengikutnya, mulai bergerak. Alam Bidar membawa sebuah senapan dan yang lain membawa klewang, tombak, dan pisau. Berdasarkan berita peringatan itu, kontrolir Sarolangun memerintahkan demang untuk investigasi.
Pada 22 Januari 1910, demang, diiringi pasukan militer yang kecil, bergerak menuju ke Sungai Dingin. Pihak Alam Bidar telah meninggalkan tempat. Esoknya, demang sudah mengetahui 6 pria itu berada di Lubuk Resam, di rumah gurunya Alam Bidar, yakni Haji Latih (Haji Abdul Latif). Pasukan Belanda mengepung dan meminta 6 pria tersebut menyerah. Akan tetapi, Alam Bidar melepas tembakan dan menyerang sambil teriak “Laa illaha illallah.” Alam Bidar dan dua kawannya tewas di tempat (Lihat Jang Aisjah Muttalib, 1995:183-184).
Selain Alam Bidar, terdapat pula pembangkangan Haji Abdul Salam di Rangkiling-Muaro Tembesi, yang datang dari Sarolangun, pada pertengahan 1910 (Jang Aisjah Muttalib, 1995:189).
Di mana R.C. van den Bor? Saya belum tahu.
Pada 26 Agustus 1910, asrama polisi bersenjata di Muaro Tembesi diserbu, saat Kontrolir dan Demangnya tidak ada di tempat. Namun 10 orang anggota kepolisian dan seorang dokter pribumi terbunuh (J. Tideman & PH. F. L. Sigar,1938:42).
Tanggal 27 Agustus 1910, mendengar berita tersebut, kontrolir bersama demang segera pulang dari perjalanan memakai kapal pemerintah. Walau kapal itu gagal disergap, mereka terus ditembaki dari tepi sungai, tidak saja dari Muaro Tembesi, tetapi sampai di Rantau Kapas, Terusan, Malapari, hingga demang mati terbunuh (J. Tideman,1938:43).
Nah, pada 31 Agustus 1910, pergolakan sudah menjalar ke Hulu, di Sarolangun, hingga Kontrolir T. Walter, pegawai-pegawai pribumi dan polisi—semuanya dibunuh (J. Tideman, ibid).
Pertanyaannya, apakah Januari atau Agustus 1910 tersebut R.C. van den Bor gugur?
Berdasarkan nisan di Kerkhof Kebun Jahe Kecamatan Pasar Kota Jambi, saya hanya tahu R.C. van den Bor wafat tahun 1910.
Atas nama Tuhan dan negaranya, R.C. van den Bor, seorang bangsawan Oranje-Nassau, telah gagah berani mengarungi lautan datang ke Jambi, salah satunya, untuk bertarung dengan bangsawan Melayu Jambi.
Sampai di sini, bagi saya, pertarungan para bangsawan, yang melibatkan rakyat kecil, sudah selesai. Senapan, peluru, bayonet, pangkat, keringat, darah, bahkan nyawa R.C. van den Bor sudah “dibeli” oleh orang-orang Jambi. Buktinya, nisannya ada di Kelurahan Beringin,di Christelijk Kerkhof van Jambi. Kalau sudah “dibeli” dengan mahal, mari kini Bor jangan “dibuang”.
Bagi saya, hasil tembakan peluru dan ayunan bayonet tidaklah penting, kecuali hasil goresan pena R.C. van den Bor. Tulisan pena Bor telah menjadi warisan bagi ilmu pengetahuan. Bak kata pepatah: “Scripta manent—tulisan membuat abadi.
Setidaknya, goresan pena R.C. van den Bor telah dipakai para peneliti sejarah, seperti Jang Aisjah Muttalib, Elsbeth Locher-Scholten, Barbara Watson Andaya, Lindayanti-Junaidi T. Noor, dan seterusnya.
Berikut lima karya tulis sang Assisten Residen R.C. van den Bor:“Aanteekeningen Betreffende Bestuurvorm en Rechtspraak in de Boven-Tembesi Tijdens het Sultanaat van Djambi [Catatan tentang Tatanegara dan Penyelesaian Hukum di Tembesi Hulu Sewaktu Menjadi Daerah Kesultanan Jambi]”, dalam TBB [Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur], No.XXX, 1906; “Aanteekeningen Betreffende het Grondbezit in Boven-Tembesi [Catatan tentang Kepemilikan Tanah di Tembesi Hulu]”, dalam TBB [Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur], No.XXX, 1906; “Een an Ander Betreffende het Ressort van den Controleur te Sarolangoen, Onderafdeeling Boven-Tembesi, der Afdeeling Djambi [Satu dan Lain Hal Mengenai Daerah Kekuasaan Kontrolir di Sarolangun, Onderafdeeling Tembesi Hulu, dan Afdeeling Jambi]”, dalam TBB [Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur], 30, 1906 ; “Vertaling: Over het Rijkssieraad van Djambi, genaamd Si Gendje [Terjemahan Perhiasan Istana Jambi, Bernama Si Gendje]”, dalam TBG/ KITLV [Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkendekunde], XLVIII, 1906; dan “Legende van de Kris Si Gindje”, dalam TBG [Tijdschrift voor het Bataviaasche Genootschap], XLVIII, 1906.
Untuk judul “Legende van de Kris Si Gindje”, Barbara Watson Andaya menulis atau memakai: C. den Hammer,“Legende van de Kris Si Gendje, Zooals die den Assisten-Resident van Djambi door eenige oude Anaq-Radja werd medegedeeld, met, Als aanhangesel, de legende omtrent Si Gendje Maboek, zooals die aan den controleur R.C. van den Bor in het Soeroelangoensche is verhaald”, dalam TBG, 48, Tahun 1906.
Coba perhatikan, C. den Hammer menyebut nama kontrolir R.C. van den Bor. Selanjutnya, mari kita lihat sedikit saja goresan pena R.C. van den Bor yang pernah dikutip oleh beberapa penulis.
Pertama-tama, mengenai pengaruh asing dalam adat istiadat penduduk Jambi, ternyata pandangan R.C. van den Bor cukup baik. Misalnya, kalau di onderafdeeling Muaro Bungo, ada desa Candi di tepi Sungai Tebo, hulu dari Tanah Periuk dan di dusun Tanah Periok sendiri ditemukan sebuah arca Budha kecil; maka di onderafdeeling Sarolangun, tidak diketahui adanya pemukiman Hindu ataupun peninggalan Budha.
Akan tetapi, menurut kontrolir Sarolangun R.C. van den Bor, perkataan “biyaro” merupakan petunjuk adanya pengaruh Hindu, karena kata itu campuran dari bahasa Sansekerta “whihara”. Pendapat Bor tercatat dalam Tijdschrift voor het Binnenlansch Bestuur tahun 1905 (J. Tideman,1938:46-47).
Tidak hanya itu, dalam catatannya tahun 1905, kontrolir R.C. van den Bor telah memberikan uraian yang jelas mengenai adat dan hukum di onderafdeeling Sarolangun. Katanya, peradilan hukum adat itu dapat diselenggarakan oleh: 1. Tengganai, 2. Kepala dusun (batin), 3. para mentri dari penduduk penghulu di dusun III, 4. gabungan batin, 5. surat nan pucuk keempat, dan 6. Raja. Hukum adat Sarolangun ini dimasukkan dalam Adatrechtsbundel No.XXXV (J. Tideman,1938: 78).
Kemudian, karya R.C. van den Bor yang berjudul“Catatan tentang Tatanegara dan Penyelesaian Hukum di Tembesi Hulu Sewaktu Menjadi Daerah Kesultanan Jambi”, sejak dimuat TBB No.XXX (1906) hingga kini, tetap menjadi dokumen bagi peminat sejarah Jambi.
Dalam “Catatan tentang Tatanegara ...” karya R.C. van den Bor tersebut, kita dapat mengetahui bahwa hubungan Sultan Jambi dengan warga daerah kekuasaannya kadang begitu cair. Bahkan, di beberapa komunitas sepanjang anak Sungai Tembesi dan Tebo pernah tidak mengakui kedaulatan Sultan Jambi sama sekali. Pada abad ke-20, bekas-bekas yang ditimbulkan kekuasaan ganda masih bisa dijumpai dalam gelar para pemimpin lokal. Misalnya pada gelar penghulu, batin, rio, depati, yang berasal dari Minangkabau (Elsbeth Locher-Scholten,2008:54).
Contoh khususnya, terhadap urusan tanah orang batin, Sultan Jambi tidak bisa ikut campur. Kewajiban orang batin (migran Minangkabau) di Jambi yang menjadi warga Bangsa XII kepada Sultan hanyalah mengontrol perbatasan dan memungut pajak (jajah).
Pajak itu dipungut oleh jenang. Awalnya, sekitar tahun 1500, Jenang hanyalah seorang utusan Sultan yang menyebarkan kabar tentang berakhirnya supremasi Jawa atau Mataram Islam. Seiring waktu, jenang menjadi pemungut pajak, dan di beberapa daerah jenang memperoleh kekuasaan untuk menyelenggarakan pengadilan (Elsbeth Locher-Scholten,2008:55; Jang Aisjah Muttalib, 1995:17&30; Junaidi T Noor dkk, 2013:22).
Jadi, dalam perpektif pemerintahan, catatan R.C. van den Bor telah menggambarkan orang Batin yang tinggal di dataran tinggi luar Batanghari sebagai pembawa tradisi demokratis, karena pemimpin di tanah nan berjenang lebih merdeka daripada di tanah nan berajo di sepanjang sungai Batanghari (Jang Aisjah Muttalib, 1995:97&120; Junaidi T Noor cs, 2013:22)
Kemudian, karya R.C. van den Bor berjudul“Catatan tentang Kepemilikan Tanah di Tembesi Hulu”, dalam TBB No.XXX (1906) juga menarik.
Menurut R.C. van den Bor, Sultan Jambi memiliki hak istimewa, yang salah satu sumber penghasilannya dari pajak pelabuhan. Sultan juga mempunyai hak monopoli penjualan candu dan garam, serta hak memperoleh semua produk hutan dari penduduk di daerahnya.
Rakyat tidak boleh memperdagangkan larangan sultan, yang antara lain berupa lilin, gading, sunguk (cula badak), culo tupai (alat kelamin tupai jantan), biji empedu tiga hewan, gajah, ular, termasuk benda magis seperti mastiko (batu berharga yang didapat secara tidak sengaja dari binatang atau tanaman tertentu), atau objek emas dalam tanah yang dianggap emas supranutral dari Pagaruyung. Semua barang ini diserahkan kepada sultan secara percuma agar tidak celaka (Elsbeth Locher-Scholten,2008:53; Jang Aisjah Muttalib, 1995:97&120;dan Junaidi T Noor cs, 2013:54).
Selanjutnya, melalui tulisan R.C. van den Bor, “Satu dan Lain Hal Mengenai Daerah Kekuasaan Kontrolir di Sarolangun, Onderafdeeling Tembesi Hulu, dan Afdeeling Jambi”, Barbara Watson Andaya menunjukan kisah yang menarik.
Begini. Pada tahun 1721, Sri Maharaja Raja Hitam (salah satu bupati dari hulu Batanghari) menyatakan bahwa Sultan Astra Ingalaga [1665-1690?] telah memberikan kepadanya hak atas pertambangan di Tebo sebagai balasannya mendukung Sultan. Sebagai buktinya, Sri Maharaja Raja Hitam ini menunjukan sebuah dokumen tertulis dari sang Sultan Jambi dan seorang Residen bernama Van der Stoppel.
Dokumen itu menetapkan bahwa setengah hasil pertambangan emas harus dijual kepada Sultan dan sebagian dapat disimpan untuk dirinya sendiri. Jika perintah ini tidak dipatuhinya, maka para kawula dari Sri Maharaja Raja Hitam tidak diizinkan untuk menangkap ikan di sungai milik penguasa, menggunakan airnya, memotong kayunya, atau hidup dan tinggal di tanah Sultan.
Akan tetapi, ketika imigran Minangkabau datang untuk menggali emas di Tebo, perlawanan terhadap kehadiran mereka terjadi. Warga dari Sri Mahara Raja Hitam tidak mau menyerahkan hak penambangan emas kepada orang Minangkabau. Walaupun sudah ditengahi Ngabei Karta Laksamana tahun 1722, bangsawan yang dianggap paling netral menurut orang Minangkabau, tetap saja penduduk desa di Tebo mengirim upeti kepada penguasa Jambi, bukan kepada Minangkabau (Barbara Watson Andaya, 2016:275).
Terakhir, catatan “Legende van de Kris Si Gindje”, baik oleh R.C. van den Bor ataupun tak langsung melalui C. den Hammer, bernilai antik dari segi legenda, regalia, dan historia.
Akhir abad ke-15 diingat oleh kawula sebagai tonggak penting sejarah Jambi. Melalui perkawinan dengan putri Sultan Mataram, pahlawan besar (Orang Kayo Hitam) tidak hanya mendapatkan keris lengedaris Si Genjai, melainkan juga kedaulatan atas Jambi yang dikuasainya bersama-sama putri Jawa. Walau secara ekonomis tetap berkoneksi, tetapi secara politis, menurut legenda adanya keris Si Genjai, Jambi telah berlepas dari kuasa Mataram (Barbara Watson Andaya, 2016:127).
Lantas, dari “Terjemahan dari Perhiasan Istana Jambi, Bernama Si Gendje”, R.C. van den Bor mempertegas, keris bersepuh emas bertahtakan berlian bernama si Genjei, pernah dikuasai oleh Taha di zamannya (Barbara W.A., 2016:214).
Demikian. Saya bersyukur telah memperoleh waktu “nganggur” atau libur hingga dapat mengenal sosok dan karya R.C. van den Bor. Semoga tangan-tangan kreatif di kemudian hari memperkaya tulisan ini.
* Penulis merupakan pemerhati sejarah, alumnus Sejarah UGM Yogyakarta. Kini tinggal dan bekerja di Kota Jambi.
Sumber rujukan: (1) Agus Widyatmoko, Marjani, & Ansyori, Laporan Pemetaan dan Penggambaran Kerhoft di Kelurahan Beringin, Kecamatan Pasar, Kota Jambi. Jambi: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, 2005; (2) Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara Sumatra Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII. Terj. Septian Dhaniar Rahman & Aditya Pratama. Jakarta: Penerbit Ombak, 2016; (3) Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial. Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Terj. Noor Chalis. Jakarta: Banana & KITLV-Jakarta, 2008; (4) Jang Aisjah Muttalib, “Jambi 1900-1916 From War To Rebbellion”, Dissertation, Columbia University, 1995; (5) Junaidi T Noor, Lindayanti, & Ujang Hariadi, Jambi dalam Sejarah 1500-1942. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2013; (5) J. Tideman & PH. F. L. Sigar, Djambi. Terjemahan. Amsterdam: Kolonial Institute, 1938: Retno Raswaty & Marjani, Laporan Kegiatan Inventarisasi Makam Kuno (Kerkhof) Masa Kolonial Belanda dan Jepang Di RT 13 Kelurahan Beringin Kecamatan Pasar Jambi, Kotamadia Jambi, Provinsi Jambi. Jambi: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, 2004; dan (7) Usman Meng, Napak Tilas Provinsi Jambi. Kerajaan Melayu Kuno s.d. Terbentuknya Provinsi Jambi. Edisi 4. Jambi: Pemerintah Provinsi Jambi, 2006.
Tag : #R.C. van den Bor #Kontrolir Sarolangun #Sejarah Jambi
Perspektif "Indonesia Out of Exile": Politik dan Puitik MigrasiOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Judul lengkapnya "Indonesia Out of Exile: How Pramoedya's Buru Quartet Killed a Dictatorship", sebuah buku baru diterbitkan |
Pameran Koleksi Etnografi Jalan Pulang Ke Akar Kebudayaan: Catatan Atas Pameran Koleksi Etnografi Museum SiginjeiOleh: Jumardi Putra* Siang itu langit kota Jambi berawan cerah. Saya bergegas mengendarai motor dari Jalan Jenderal Ahmad Yani menuju Museum Siginjei di |
Sosok dan Pemikiran Ignas KledenOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Dalam sebuah percakapan dengan Salman Rushdie, mungkin menjadi wawancara terakhir sebelum wafat karena penyakit leukemia yang |
Rabu, 20 September 2023 10:37
WIB Gelar Kampus Rakyat Terpilih Guna Cegah Radikalisme, BNPT RI-FKPT Gandeng Anak Muda JambiKajanglako.com, Jambi - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)RI bekerjasama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jambi menggelar |
Catatan Perjalanan Dari Kota Tua Ke Pusara Sitti NurbayaOleh: Jumardi Putra* Berkunjung ke kota Padang tidak lengkap rasanya jika tidak menginjakkan kaki di Kota Tua atau kerap disebut Padang Lama oleh warga |
Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Minggu, 25 April 2021 22:06
WIB
Selasa, 20 April 2021 16:20
WIB
Kamis, 08 April 2021 13:58
WIB
Minggu, 28 Maret 2021 03:34
WIB
Kamis, 19 Mei 2022 01:12
WIB
Pelepasan Bupati dan Wakil Bupati Sarolangun, Wabup Dianugerahi Gelar Adat |
Senin, 16 Mei 2022 17:14
WIB
Hadiri Kongres Dunia ICLEI 2021-2022 di Malmo, Walikota Jambi Satu-satunya Perwakilan Indonesia |
Senin, 23 Mei 2022 21:06
WIB
Grand Opening Buy Coffee Diresmikan Gubernur Jambi Al Haris |
Senin, 28 Maret 2022 16:27
WIB
7 Hal Penting yang Wajib Dilakukan Ketika Bisnis Sepi |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.