Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Reporter :
Kategori :
Akademia
Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*
Rasanya memang selama ini ada yang nggak beres dalam sirkulasi antara riset sebagai alat untuk memperoleh "knowledge", teknologi sebagai "knowhow" dan manajemen yang menjadi pilihan strategi yang dianggap efisien dan efektif untuk mengatasi masalah. Ketika lembaga riset dan perguruan tinggi terus disibukkan dengan dirinya sendiri, terlilit birokrasi yang diam-diam memiliki agendanya sendiri; mungkin di sana memang muara dari mampetnya sirkulasi dari apa yang dikenal dalam literatur sebagai STS (science, technology and society) itu.
Persoalannya, sirkulasi yang mampet itu tidak pernah disadari sebagai fakta yang bisa berakibat fatal tidak saja pada ekosistemnya sendiri tapi pada masyarakat yang menjadi konstituennya. Tapi itulah yang tampaknya selama ini diam-diam terus terjadi - inersia dalam lembaga-lembaga negara yang semestinya memproduksi pengetahuan, melahirkan teknologi dan mensejahterakan masyarakat.
Mampetnya sirkulasi STS inilah yang menurut hemat saya ingin ditunjukkan oleh sebuah Tim Kerja Penelitian yang berani melakukan riset eksperimen terhadap kasus meluapnya air laut ke daratan (rob) sepanjang jalur pantai Semarang - Demak dan selalu terjadinya banjir di kota Semarang. Secara sempit yang ingin ditunjukkan adalah mampetnya tatakelola air yang dilihat sebagai pantulan dari krisis sosial ekologis.
Riset eksperimen yang telah dibukukan ini memperlihatkan upaya untuk membongkar proses perubahan ekologis yang secara pelan-pelan bisa mematikan mereka yang tidak lagi mampu beradaptasi dengan lingkungan yang seolah-olah telah menjadi tidak bersahabat lagi dengan manusia karena tingkah laku alamiahnya.
Rob atau banjir adalah sebuah fenomena alam dan harus dipandang sebagai sesuatu yang semata-mata berurusan dengan tingkah laku lingkungan yang bersifat alamiah. Dalam sebuah tulisan sebelumnya, saya memperlihatkan tidak ada beda antara Presiden Jokowi dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan; dua orang petinggi negeri ini, yang mengatakan bahwa banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi (https://kajanglako.com/id-12264-post-jokowi-dan-anies-baswedan.html).
Riset eksperimen yang dilakukan oleh Tim Kerja Penelitian di Semarang ini menunjukkan bahwa rob dan banjir sebagai contoh dari terjadinya perubahan lingkungan ekologis pada hunian manusia yang bernama kota itu bukanlah persoalan alamiah melainkan persoalan yang erat kaitannya dengan ulah manusia, dengan kata lain dengan persoalan sosial-politik.
Hasil riset eksperimen yang telah didokumentasikan dalam dua buah buku ini adalah kritik terhadap praktek salah urus yang telah menjadi sejarah panjang hunian manusia yang bernama kota Semarang dan sekitarnya. Salah urus dari manajemen kota sebagai pusat hunian manusia yang sering di klaim puncak kemodernan itu persis memperlihatkan kemampetan yang terjadi dari sirkulasi antara ilmu pengetahuan (science), teknologi (technology) dan masyarakat (society). Secara sederhana fenomena rob dan banjir yang telah menjadi peristiwa rutin dan melanda berbagai tempat yang sebelumnya dianggap mustahil akan mengalaminya tidak bisa tidak merupakan bukti kegagalan dalam mengurus lingkungan ekologis kita. Rob dan banjir adalah isu sosial-politik bukan isu perubahan alamiah yang oleh Presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan dikatakan sebagai akibat curah hujan yang tinggi.
Tapi buku Maleh Dadi Segoro dan Banjir Sudah Naik Seleher ternyata adalah kritik bukan saja terhadap praktek salah urus dalam tatakelola air dan manajemen kota namun yang menurut pendapat saya justru lebih penting adalah kritik terhadap cara pandang yang telah dianggap sebagai sesuatu yang dengan sendirinya benar karena menjadi rutinitas, kenyataan sehari-hari, sesuatu yang hegemonik.
Melakukan kritik terhadap sesuatu yang dianggap sebagai praktek yang telah sejak lama dianggap sebagai sudah semestinya benar ini ibarat berteriak di padang pasir. Kita tidak tahu siapa yang akan mendengarkan. Tapi bukankah itu yang selalu berulang dalam sejarah? Suara kebenaran selalu tersisih dalam hiruk pikuk jalanan dan keriuhan pasar? Kelompok kerja penelitian yang berbasis di Semarang yang melakukan riset eksperimen dan berusaha menjelaskan fenomena meluapnya air laut ke daratan yang terlihat seperti banjir di sepanjang pantai antara Semarang dan Demak dan banjir yang selalu melanda Kota Semarang itu bukankah sesungguhnya menggaungkan suara zaman yang telah terdengar di mana-mana, tetapi masih terasa sayup-sayup karena sebagian besar orang masih tidak menyadarinya? Pemanasan global dan perubahan iklim? Mungkinkah masih terlalu jauh menghubungkan antara temuan riset Tim Kerja di Semarang ini tentang rob dan banjir dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim?
Mungkin bukan soal masih jauh, tapi memang lembaga-lembaga riset yang paling besar sekalipun di negeri ini seperti belum tergerak untuk melihat isu pemanasan global dan perubahan iklim ini. Karena masih disibukkan oleh urusan domestik bagaimana mengelola diri sendiri. Karena itu tidak mengherankan jika jangkauan wawasan yang dimiliki masih belum beranjak dari hal-hal yang bersifat "here and now" urusan-urusan yang ada di sekitar halaman rumah sendiri.
Bagi Tim Kerja Penelitian ini tampaknya bukan isu pemanasan global dan perubahan iklim yang menjadi kepedulian mereka yang utama namun lebih karena keprihatinan terhadap apa yang semakin sering disebut sebagai krisis sosial ekologis, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang mereka saksikan sehari-hari didepan mata dan mereka ingin menjelaskan apa sesungguhnya yang terjadi dibalik semua itu..
Tatkala daratan berubah menjadi lautan (segoro) dan banjir telah sampai ke leher kita mungkin tinggal tunggu waktu saja kapan kita semua akan tenggelam, sekujur tubuh kita akan terendam dalam air. Dua buku yang dihasilkan oleh sekelompok anak muda yang merupakan gabungan dari individu-individu maupun organisasi kemasyarakatan yang menamakan diri sebagai Koalisi Pesisir Semarang Demak yang kemudian menjadi Koalisi Maleh Dadi Segoro itu jika saya katakan sebagai riset eksperimen samasekali tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti atau melihatnya sebagai kerja amatiran, namun sebaliknya.
Dalam riset ini eksperimen diperlihatkan sebagai eksplorasi yang cukup habis-habisan dalam memahami literatur yang relevan (terlihat dengan jelas di buku kedua di Bab II yang sulit disembunyikan peran besar Bosman Batubara sebagai penulisnya yang sering menggunakan kata “saya” dalam mengupas literatur); memanfaatkan informasi dari medsos (kritisisme netizen), membangun metodologi (terintegrasi tapi terpisah) dan penggalangan dana yang setiap rupiahnya dilaporkan secara terbuka (Bab X); dan tidak kalah pentingnya komitmen untuk menerbitkannya sebagai buku, di samping beberapa tulisan yang sudah maupun akan terbit di jurnal (antara lain di jurnal bergengsi seperti Human Geography dan Journal of Peasant Studies).
Perspektif kritis yang dipakai dalam riset ini bukan karena karena alasan kegenitan yang kekiri-kirian namun memang ketimpangan ekonomi dan keadilan sosial yang ada mengarahkan untuk melihatnya dari perspektif struktural yang Marxistis. Riset yang dibukukan ini menunjukkan bahwa sebuah riset sosial dengan perspektif kelas dimungkinkan dalam konteks Indonesia melalui upaya metodologis yang ketat dengan setiap kali menguji relevansi apa yang dalam buku ini disebut sebagai signposting sejak mengumpukan data sampai menganalisisnya.
Dua buku ini, Maleh Dadi Seggoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak (Lintas Nalar 2020)dan Banjir Sudah Naik Keleher: Eakologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang (Cipta Prima Nusantara 2021); dihasilkan oleh sebuah tim kerja yang anggota intinya sama. Kedua buku ini adalah sebuah hasil dari satu rangkaian penelitian yang berangkat dari tema krisis sosial ekologis.
Jika dalam buku pertama krisis sosial ekologis dibaca dari kasus rob yang terjadi di bibir pantai antara Semarang dan Demak dan kaitannya dengan Proyek Strategis Nasional (PSN); dalam buku kedua krisis sosial ekologis dibaca dari kasus banjir di Kota Semarang yang dikaitkan dengan perubahan dari 5 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melintasi Kota Semarang. Baik dari buku pertama maupun kedua terlihat Tim Kerja Penelitian ini telah bekerja secara sistematis, terorganisir dengan komitmen untuk menghasilkan pengetahuan yang berprespektif kritis atas krisis sosial ekologis yang mereka saksikan.
Kedua buku ini menjadi penting di tengah banyaknya keluhan tentang dunia akademis yang dianggap semakin tidak memberikan kesempatan untuk melakuan riset dengan baik, antara lain karena kecilnya dana yang diberikan untuk penelitian. Tim Kerja Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa sebuah kolaborasi penelitian dari berbagai pihak bisa dilakukan jika dipandu oleh komitmen dan engagement terhadap sebuah isu yang akan semakin mendesak di negeri ini yaitu krisis sosial ekologis sebagai pantulan dari ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial.
Dua buku ini, terutama yang terakhir, perlu mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan akademisi dan intelektual karena membawa perspektif yang segar, perspektif struktural Marxistis, yang selama ini hanya dipergunjingkan tanpa adanya teks yang dapat diperdebatkan. Kedua buku ini menantang diskusi teoritis sekaligus empiris.
*Peneliti independen. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo dapat dibaca di rubrik akademia portal kajanglako.com
Ulasan Novel Membaca Rasina, Menikmati SejarahOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Novel baru Iksaka Banu itu dimulai dengan sesuatu yang tidak lazim. Gambar Struktur organisasi VOC dan istilah-istilah dari |
Puisi NgliyepNgliyep Di Ngliyep langit dan laut berpagut Dalam dekap garis lurus cakrawala Ada yang selalu tak dapat diduga di sana Keluasan langit dan kedalaman |
Kamis, 09 Maret 2023 18:32
WIB Pariyanto Pimpin Rapat Laporan Nota Penjelasan LKPJ Kabupaten Dharmasraya Tahun 2022DHARMASRAYA – Ketua DPRD Dharmasraya, Pariyanto pimpin siding paripurna di Kantor DPRD Dharmasraya terharap nota penjelasan atas laporan Keterangan |
Rabu, 08 Maret 2023 18:52
WIB Kajari Dharmasraya Sambangi DPRD Kabupaten DharmasrayaDHARMASRAYA - Dalam rangka menjalin silaturahmi Kajari Dharmasraya, Dodik Hermawan jumpai Ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Pariyanto. Pertemuan |
Rabu, 08 Maret 2023 15:04
WIB ASN Dihimbau Taat Bayar Pajak PBB, Jadi Tauladan Percontohan Taat PajakDHARMASRAYA – Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan menghimbau kepada seluruh ASN yang ada di Kabupaten Dharmasraya untuk dapat taat membayar |
Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Minggu, 25 April 2021 22:06
WIB
Selasa, 20 April 2021 16:20
WIB
Kamis, 08 April 2021 13:58
WIB
Minggu, 28 Maret 2021 03:34
WIB
ASKI Jambi Sabtu, 08 Januari 2022 08:47 WIB Resmi Dilantik, DPD ASKI Jambi Siap Kopikan Jambi Hingga Dunia |
Jumat, 07 Januari 2022 01:03
WIB
Plh Sekda Tanjab Barat Hadiri Paripurna Istimewa HUT Provinsi Jambi |
Rabu, 23 September 2020 16:31
WIB
Strategi Menyusun Rencana Keuangan Hasil Pinjaman Online |
Kamis, 11 Juni 2020 11:33
WIB
70 Persen Kebutuhan Ikan di Merangin Dipasok dari Luar |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.