Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Reporter :
Kategori :
Perspektif
ilustrasi
Oleh: Nor Qomariyah*
“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.” (Raden Adjeng Kartini)
Dua puluh dua (22) Desember, selalu diperingati sebagai hari ibu di seluruh dunia. Mother’s day, menjadi peringatan rutin yang diselenggarakan setiap tahunnya. Namun ada yang berbeda kali ini, di tahun 2021, dimana kita telah melewati COP 26 di Glasgow dengan berbagai perubahan situasi global yang dihadapi. Narasi global dengan ‘climate change’ bukan hal yang hanya terjadi di tahun ini, melainkan telah ada dalam beberapa dekade seusia umur bumi yang mulai menunjukkan berbagai gejala bencana alam yang kemudian berdampak pada seluruh lini kehidupan, terutama bagi perempuan di pedesaan.
Perempuan menjadi salah satu subyek rentan dalam dunia perubahan yang bersifat global. Yulianti (29 th) menjadi salah satu gambaran perempuan desa di Indramayu yang menuturkan dampak gamblang sulitnya mencari penghidupan pasca banjir rob yang melanda desanya. “Akukulture” sebagai salah satu cara bertahan hidup dengan tambak ikan dan profesi nelayan keluarganya hilang, hingga mengakibatkan kemiskinan baru yang sistematis, mengakibatkan naiknya angka perceraian, anak terlantar hingga kekerasan seksual berbasis relasi kuasa dan pada akhirnya Yulianti beralih profesi menjadi salah satu pekerja seks komersial yang dinilai mampu mempertahankan ekonomi keluarganya sekaligus membiayai kedua orang tuanya yang telah memasuki usia senja (www.vice.com., 2021).
Yulianti tak sendiri, masih banyak perempuan lain di dunia yang juga mengalami hal serupa. Nonya Sande, negara Malawi yang juga terpaksa menikah di usia sangat muda yakni 13 tahun (www.viva.co.id., 2020). Pernikahan yang menurutnya satu-satunya cara menyelamatkan keluarganya untuk bisa makan. Ribuan perempuan usia anak, mengalami yang sama di Malawi akibat dari dampak perubahan iklim, seperti cuaca ektrim yang melanda Malawi. IUCN menyebutkan dalam laporannya di tahun 2020, ribuan anak bahkan ditukar dengan hewan ternak.
Rembang, salah satu kota yang juga tempat lahir Ibu Kartini, sekaligus tempat yang membesarkan saya, juga menjadi kabupaten yang terkena dampak perubahan iklim global. Di masa kecil, sekitar 3 dasawarsa, kita masih bisa menjumpai hutan jati dengan berbagai jenis pohon dan juga aneka bunga. Jambu mete, adalah salah satu pohon favorit yang selalu dipetik buah dan bijinya untuk dimanfatkan sebagai masakan lokal yang bergizi tinggi dan sangat lezat.
Hanya saja, area Rembang yang menjadi ikon ibu kartini kini merasakan hanya musim kering yang Panjang, gagal panen setiap tahun, hingga sulitnya melaut yang harus ber kilo-kilometer jauhnya untuk mendapatkan ikan. Hal ini diperparah dengan keberadaan karst yang menjadi sumber utama semen yang menghilangkan sumber air di area desa Kendeng, dimana sangat dekat dengan jantung kota Rembang.
Jemi (30 th) juga mengalami hal yang sama. Pada musim tanam jagung September 2021, jagung yang ia tanam di areal lahan 0,25 ha, mengalami kegagalan. Tanaman ini menjadi lebih kerdil, kurang air, tumbuh hama dan gulma lebih cepat, menjadi bergantung pada pestisida kimia yang mahal dan buah jagungnya mengecil, kerdil dari ukuran yang biasanya ia panen. Ini pun menurutnya hanya sekitar 3-5 karung, dimana biasanya mampu mencapai 9-12 karung.
Di Sumatra, tepatnya di Jambi, juga tercatat banjir bandang terjadi di desa Rantau Kermas, Kec. Jangkat Kab. Merangin pada Januari 2019. Batu-batu besar, bersama dengan air bah melongsorkan hutan adat dan membelah jalan desa. Padahal area ini, sangat asri dengan 130 ha hutan adat yang memiliki potensi nilai keanekaragaman hayati tinggi. Lagi-lagi, perempuan dalam hal ini yang memiliki implikasi berupa sulitnya akses memenuhi pangan keluarga.
Papua, juga provinsi yang sama menghadapi situasi ini dimana minimnya akses jalan, informasi, knowledge transfer dari adanya perubahan ini, sehingga membuat perempuan harus mencari cara bagaimana mempertahankan pangan bagi keluarganya.
Perempuan, Perubahan Iklim dan Pertanian Konservasi?
Perubahan iklim merupakan perubahan cuaca dan polanya berlangsung lama. Hal ini terjadi dan bisa sangat dirasakan seperti suhu bumi, perubahan cuaca panas dan hujan yang sulit diprediksi, pola angin hingga naiknya permukaan air laut. Perubahan iklim bisa dikenali misalnya perubahan cuaca ekstrim, sering gagalnya panen, semakin sulitnya menemukan ikan, semakin sering terjadi bencana, maka menandakan kita rentan terhadap perubahan iklim ini. Kerusakan lingkungan yang disebabkan penebangan liar, perambahan, kenaikan air laut hingga gunung es yang mencair, sulitnya sumber air hingga panasnya udara adalah sebagian besar mudah kita temukan dan tentunya ini akibat ulah manusia.
Apa perubahan iklim terkait dengan perempuan? Jawabannya adalah iya. Tak hanya perempuan, namun ada anak dan kelompok marginal sering mendapatkan dampak yang merugikan akibat perubahan iklim. Data PBB menyebutkan bahwa 80% perempuan menjadi kelompok terdampak adanya perubahan iklim, karena perempuan berperan sebagai perawat dan penyedia makanan. Sehingga akan memberi dampak pada pangan, lingkungan, kesehatan, energi, sosial budaya hingga perekonomian.
Pandemi Covid-19 adalah contoh nyata bagaimana dampak perubahan iklim kita rasakan. Perempuan dalam durasi masa Pandemik banyak mengalami dampak yang mengakibatkan kehilangan sumber penghasilan, bahkan keluarga karena beban ekonomi hingga harus menerima kekerasan karena relasi kuasa. Mengapa demikian? Korelasinya adalah kehilangan sumber pendapatan keluarga dari pasangan, maka perempuanlah yang akan mencari alternatif pemenuhannya.
Yulianti, menyebutkan dirinya menjadi terdampak sejak laut tak lagi bersahabat dengan sang ayah yang berprofesi sebagai nelayan, dimana tak lagi ada ikan yang ia temukan. Hingga akhirnya terakumulasi dengan lilitan kebutuhan ekonomi, membuat penderitaan psikologis pada sang ayah hingga hari ini.
Akan tetapi, Pandemi Covid-19 yang menjadi akibat dari perubahan iklim juga mengajarkan banyak perempuan di wilayah Magelang Jawa Tengah yang kini menjadi sentra pembibitan kentang sejak 2019 karena dikenal produknya di China dalam Enterpreneur Award. Perempuan di Magelang, yang mayoritas bertani kentang ini, menggunakan strategi yang mereka sebut sebagai ‘seni bertani’. Sama halnya dengan perempuan-perempuan di berbagai desa Provinsi Jambi yang melakukan budidaya ‘kopi’ hingga perempuan-perempuan di area Rembang yang menanam komoditi ‘padi’.
Mayoritas perempuan-perempuan ini memiliki pola adaptasi yang cerdas dalam menghadapi perubahan iklim, karena belajar dari pengalaman sebagai ‘perempuan’ yang harus mencukupi pangan dan gizi keluarga, serta memastikan circular pangan yang lebih sustainable dalam model ‘pertanian konservasi’:
Pertama, mengenali struktur tanah dan bibit local. Bagi perempuan, struktur tanah menjadi urusan pertama yang harus dipastikan untuk mengukur unsur hara hingga kecocokan komoditi yang akan ditanam.
Kedua, pola tanam. Menyesuaikan pola tanam dengan berjenjang. Beberapa perempuan mengaku, ada berbagai jenis komoditi yang mereka tanam dalam lahan mereka, meski tidak dalam satu hamparan, mereka tidak hanya menanam padi, namun juga ada jagung dalam musim tertentu, memadukan jagung dengan kacang tanah, manga sebagai hasil musiman hingga kayu jati seperti masyarakat yang ada di Rembang sebagai investasi jangka panjang.
Ketiga, menyediakan embung ditengah lahan sebagai sumber air tadah hujan. Gunanya adalah untuk membantu pengairan dan bahkan membangun irigasi di tengah area tanam secara berkelompok.
Keempat, perempuan-perempuan ini juga rajin mengumpulkan dedaunan kopi misalnya, ataupun jerami yang yang dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Selain itu, kotoran ternak sapi dan kambing juga mereka manfaatkan sebagai pupuk alami. Sehingga oleh Jemi (30th), misalnya mampu memangkas pengeluaran untuk pupuk yang biasanya mencapai Rp. 100.000,- hingga Rp. 150.000,-/Kg.
Kelima, varietas tanaman berumur genjah, berdaya hasil tinggi yang toleran terhadap stress lingkungan, akibat kenaikan suhu udara, kekeringan, banjir hingga hama dan penyakit. Ini mengapa, para perempuan mengakui lebih mengedepankan bibit padi local, berupa padi ladang sebagai pilihan tepat dalam pola adaptasi tanaman. Hal ini juga dipraktekkan perempuan di Jambi, tepatnya di Lubuk Mentilin, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Keenam, adaptasi juga dilakukan para perempuan ini dengan menandai gejala alam dalam membaca musim. Meski tidak secanggih seperti aplikasi informasi cuaca, hal ini menjadi bagian penting bagi para perempuan.
Dua hal yang juga mungkin perlu menjadi refleksi sekaligus inovasi adaptasi yang akan menguatkan perempuan dalam adaptasinya, adalah mengembangkan teknologi tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman, misalnya diirigasi sehingga bisa menghemat air. Lainnya adalah bagaimana kita mulai memikirkan sistem perlindungan usaha tani bagi para perempuan tani dari kegagalan akibat perubahan iklim (crop water insurance) dan tentu saja pemanfaatan platform digital untuk kombinasi usaha structural dan non-structural, agar sistem ketahanan pangan adaptif terutama bagi perempuan dalam menghadapi perubahan iklim.
Semangat hari Ibu dan Kartini harus terus disematkan dalam diri perempuan desa yang memperjuangkan pertanian dan pangan keluarga, sekaligus penjaga bumi.
*Penulis adalah Gender-Stakeholder Engagement Safeguard Sepecialist. Yogyakarta, 18 Desember 202.
Batu Bara di Jambi Polemik Angkutan Batu Bara dan Hal-Hal Yang Tak SelesaiOleh: Jumardi Putra* Jambi darurat batu bara. Itu kenapa Gubernur Jambi Al-Haris banyak disorot awak media, lantaran kemacetan parah yang ditimbulkan oleh |
Ulasan Novel Membaca Rasina, Menikmati SejarahOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Novel baru Iksaka Banu itu dimulai dengan sesuatu yang tidak lazim. Gambar Struktur organisasi VOC dan istilah-istilah dari |
Puisi NgliyepNgliyep Di Ngliyep langit dan laut berpagut Dalam dekap garis lurus cakrawala Ada yang selalu tak dapat diduga di sana Keluasan langit dan kedalaman |
Kamis, 09 Maret 2023 18:32
WIB Pariyanto Pimpin Rapat Laporan Nota Penjelasan LKPJ Kabupaten Dharmasraya Tahun 2022DHARMASRAYA – Ketua DPRD Dharmasraya, Pariyanto pimpin siding paripurna di Kantor DPRD Dharmasraya terharap nota penjelasan atas laporan Keterangan |
Rabu, 08 Maret 2023 18:52
WIB Kajari Dharmasraya Sambangi DPRD Kabupaten DharmasrayaDHARMASRAYA - Dalam rangka menjalin silaturahmi Kajari Dharmasraya, Dodik Hermawan jumpai Ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Pariyanto. Pertemuan |
Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Minggu, 25 April 2021 22:06
WIB
Selasa, 20 April 2021 16:20
WIB
Kamis, 08 April 2021 13:58
WIB
Minggu, 28 Maret 2021 03:34
WIB
ASKI Jambi Sabtu, 08 Januari 2022 08:47 WIB Resmi Dilantik, DPD ASKI Jambi Siap Kopikan Jambi Hingga Dunia |
Jumat, 07 Januari 2022 01:03
WIB
Plh Sekda Tanjab Barat Hadiri Paripurna Istimewa HUT Provinsi Jambi |
Rabu, 23 September 2020 16:31
WIB
Strategi Menyusun Rencana Keuangan Hasil Pinjaman Online |
Kamis, 11 Juni 2020 11:33
WIB
70 Persen Kebutuhan Ikan di Merangin Dipasok dari Luar |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.