Rabu, 22 Maret 2023


Senin, 20 Desember 2021 09:31 WIB

Julia Suryakusuma

Reporter :
Kategori : Akademia

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Suatu hari dalam sebuah pesan WA setelah membaca esai yang saya kirimkan tentang seorang tokoh, Bu Mayling Oey mengatakan "Kapan anda akan menulis tentang Julia Suryakusuma?”. Sedikit terkejut,  namun setelah beberapa saat pertanyaan itu tetap saya jawab "kapan-kapan" dengan saya sertai 3 emoticon muka tersenyum.



Julia Suryakusuma, siapa yang tidak mengenalnya? Namanya sudah beredar di kalangan para cendekiawan Jakarta sejak masih di SMA tahun 1970an karena memenangkan sayembara penulisan esai. Julia menulis esai tentang novel surealis Iwan Simatupang "Merahnya Merah". Tidak kurang dari guru filsafat eksistensialisme saya di Fakultas Psikologi UI, Fuad Hassan, memujinya. Tidak lama kemudian Julia saya dengar masuk Fakultas Psikologi UI tapi saya tidak pernah melihatnya, mungkin karena saat itu saya sudah lulus dan mulai bekerja di Leknas-LIPI.

Julia mewakili sebuah generasi intelektual yang menarik. Dia tumbuh ketika Jakarta memiliki seorang gubernur yang progresif, Ali Sadikin. Ali Sadikin seorang jendral angkatan laut diangkat menjadi gubernur oleh Sukarno yang tidak lama setelah meletusnya peristiwa 1965 dilengserkan oleh Suharto seorang jendral angkatan darat. Ali Sadikin bisa dibilang seorang Sukarnois yang selamat melewati gejolak politik 1965 yang tidak sedikit memakan korban dari pihak yang pada waktu itu digolongkan sebagai Sukarnois.

Berbarengan dengan naiknya Suharto sebagai presiden dan dimulainya apa yang kemudian disebut sebagai zaman Orde Baru, Ali Sadikin pun menjadi sosok pemimpin populer karena ketegasan dan keberhasilannya naik membenahi pembangunan Jakarta yang sering disebutnya sebagai sebuah kampung yang besar (big village).

Dengan dibantu, antar lain oleh Ciputra seorang insinyur sekaligus pengusaha properti yang memiliki visi kebudayaan, Jakarta diolahnya menjadi sebuah kota modern yang memadukan antara dunia perdagangan, kesenian dan kewirausahaan. Melalui tangan dingin Ciputra kawasan Ancol diubah menjadi Disneyland versi Indonesia beserta Pasar Seni-nya. Bekas kebun binatang di halaman bekas rumah pelukis Raden Saleh di kawasan Cikini disulap menjadi pusat kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM).

Mungkin TIM pada masa Ali Sadikin adalah satu-satunya contoh keberhasilan eksperimen sebuah pemerintahan kota dalam menyediakan sebuah wadah bagi persemaian berbagai bentuk eksperimen seni dan penerbitan majalah kebudayaan Budaya Jaya. Ciputra dengan caranya sendiri juga berada di balik usaha penerbitan majalah mingguan Tempo.  Mungkin juga tidak kecil peran Ciputra dalam ikut membangun LP3ES yang menerbitkan majalah Prisma. Melalui tangan Ciputra juga setiap wilayah Jakarta diberi Gelanggang Remaja tempat anak muda berkiprah dan berkreasi mengembangkan dirinya.

Saya kira, dalam lingkungan kota Jakarta yang sedang menggeliat mencari identitas dan karakter kebudayaannya sendiri itulah Julia Suryakusuma tumbuh bebas dari seorang remaja yang penuh gairah akan kebebasan berpikir dan mencipta menjadi seorang perempuan dewasa yang matang dan siap menjadi bagian dari perubahan yang sedang berlangsung cepat di sekelilingnya. Tapi Julia berbeda dengan generasi intelektual yang saat itu sedang menguasai gelanggang, generasi intelektual yang pada dasarnya anti Sukarno dan berpretensi sebagai pewaris kebudayaan dan nilai-nilai universal seperti tertampilkan melalui sebuah kelompok yang mencetuskan apa yang mereka deklarasikan dengan agak pongah sebagai Manifesto Kebudayaan. Dalam dunia sastra, para sastrawan yang berkisar pada Manifesto Kebudayaan ini oleh HB Jassin sang paus sastra Indonesia dikelompokkan sebagai Angkatan 66.

Julia bisa dibilang sebagai generasi pasca Manifesto Kebudayaan itu. Dia beruntung karena di masa remajanya sudah bisa bergaul dengan para cendekiawan yang tergolong Angkatan 66 yang biasa berkumpul di Taman Ismail Marzuki. Sebagai intelektual muda, aspirasi politiknya kemudian terbentuk sejalan dengan menguatnya pemerintahan otoriter Suharto dengan Orde Baru-nya. Tapi kecenderungannya untuk tampil sebagai intelektual yang memilih jalannya sendiri yang berbeda dengan kecenderungan umum tampaknya sudah terlihat sejak pilihannya pada novel Iwan Simatupang "Merahnya Merah" sebuah cerita kehidupan surealis dari seorang rahib yang memilih hidup menggelandang memerankan berbagai karakter dari mereka yang terpinggirkan dan seperti hidup dalam ke-siasia-an.

Mungkin pilihan itu juga menunjukkan kecenderungannya untuk tidak seperti mereka yang melihat Peristiwa 1965 sebagai tragedi sejarah secara hitam putih dengan membela satu pihak secara habis-habisan dan mecerca pihak yang lain juga secara habis-habisan. Apakah Julia mewakili sebuah generasi yang telah bisa melupakan tragedi 1965?  Terus terang saya tidak tahu. Ketika beberapa intelektual yang bisa dibilang satu generasi dengan dirinya bahkan menjadikan peristiwa 1965 sebagai tema utama riset atau novelnya, Julia tampaknya tidak memilih jalur itu. Saya sendiri ragu apakah kita bisa melupakan tragedi politik besar itu. Mungkin sebagian bisa tapi bagi sebagian yang lain sulit melupakan apalagi memaafkan. Artinya, tragedi itu akan selalu menjadi bagian dari sejarah kita meskipun masing-masing dari kita akan memaknainya secara berbeda.

Saya tidak tahu bagaimana Julia memaknai tragedi 1965 yang sedikit atau banyak akan terkait dengan pengalaman orang-orang yang dekat dirinya terhadap peristiwa yang terjadi pada tahun  1965 itu. Yang saya merasa pasti adalah sikap kritis Julia terhadap rezim politik Orde Baru yang otoriter represif. Lagi-lagi Julia tidak mengikuti kecenderungan umum melihat secara konvensional obstruksi terhadap hak-hak politik dan kebebasan berekspresi warganegara namun menembus jauh kedalam pada bekerjanya hegemoni kekuasaan pada hal-hal yang bersifat privat, personal dan subtil. Itulah tampaknya yang kemudian dijadikan topik tesis masternya di ISS  (Institute of Social Studies) Belanda, penetrasi ideologi ibuisme (state ibuism) ke masyarakat.

Faham ibuisme adalah sebuah konstruksi ideologi yang sepertinya menempatkan perempuan pada tempat yang tinggi namun sesungguhnya justru mendudukkannya sebagai pihak yang terjajah dan tereksploitasi. Julia, berbeda dengan para feminis lainnya, mampu memperlihatkan melalui penelitian empirisnya bagaimana ketidaksetaraan jender dan patriarki harus dilihat dalam konteks kebijakan negara dan tidak sekedar pada level keluarga.

Penjelajahan pemikiran Julia bisa dibaca pada tulisan-tulisannya yang terus mengalir, antara lain melalui kolomnya yang secara rutin muncul di The Jakarta Post. Selain dalam bahasa Inggris kolomnya juga tampil dalam bahasa Indonesia yang memungkinkan pemikirannya yang selalu kritis dibaca kalangan yang luas. Seperti umumnya para intelektual, critical thinking, saya kira menjadi ciri yang dimiliki oleh Julia dalam tulisan maupun berbagai kiprahnya dalam gerakan sosial yang melibatkannya.

Menjadi perempuan dengan mata dan pikiran kritis di negeri yang masih dikangkangi oleh ideologi patriaki jelas memiliki resiko-resiko yang tidak ringan. Tapi Julia, saya kira, sangat menyadari resiko-resiko itu. Ketika negara dan agama, dua sumber kekuasaan utama saling berkelindan mempertahankan patriaki, mitos-mitos kesalehan dan kesucian bersatu dengan kepentingan ekonomi oligarki dan birokrasi yang yang berusaha menutupi berbagai bentuk korupsi. Hipokrisi dalam situasi seperti ini seperti telah menjadi norma sehari-hari dan celakalah mereka yang berani membuka kedok-kedok kemunafikan ini.

Selain buku "state ibuism" yang diterbitkan ulang oleh Penerbit Buku Komunitas Bambu (2021) dua buku lainnya, Julia's Jihad dan "Agama, Sex dan Kekuasaan" menjadi bukti tidak kecilnya kontribusi pemikiran dan dengan itu posisi intelektual Julia yang penting dalam jagad intelektual di Indonesia dan juga dunia. Pengakuan dan penghargaan telah banyak diterima oleh Julia dari dalam maupun luar negeri yang mencerminkan arti penting sumbangan pemikiran Julia.

Setelah Soedjatmoko wafat, Indonesia, juga negara-negara selatan, kehilangan salah satu juru bicaranya yang memiliki erudisi tinggi dan menguasai bahasa pergaulan akademik internasional. Julia dengan pengalaman dan kefasihan bahasanya merupakan salah seorang intelektual yang juga telah mampu secara setara menyuarakan kepentingan orang-orang dari dunia selatan yang lebih banyak diam dan tersisih dalam gelanggang percaturan dunia.

Indonesia adalah bangsa besar yang sudah seharusnya memiliki representasi dalam kancah global. Kita akan terlihat sebagai bangsa medioker apabila menyerahkan pertukaran pikiran dalam pergaulan di dunia internasional hanya kepada para diplomat dan wakil-wakil negara yang sering hanya ingin terlihat heroik dalam membela sesuatu yang seolah-olah merupakan kepentingan nasional meskipun sesungguhnya hanya kepentingan politik domestik dari the ruling elite. Indonesia sudah terlalu lama dikuasai oleh kaum elitenya yang menggunakan kata-kata Buya Syafii Maarif penglihatannya tidak lebih dari pagar depan halaman rumahnya, dengan kata lain narrow minded dan inward looking. Julia Suryakusuma dan orang-orang sepertinya, perlu lebih agresif menyuarakan kepentingan dunia selatan, karena merekalah yang mampu melihat dunia melewati pagar depan halaman rumahnya.

*Peneliti independen. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo dapat dibaca di rubrik akademia portal kajanglako.com


Tag : #akademia



Berita Terbaru

 

Batu Bara di Jambi
Rabu, 22 Maret 2023 15:50 WIB

Polemik Angkutan Batu Bara dan Hal-Hal Yang Tak Selesai


Oleh: Jumardi Putra* Jambi darurat batu bara. Itu kenapa Gubernur Jambi Al-Haris banyak disorot awak media, lantaran kemacetan parah yang ditimbulkan oleh

 

Ulasan Novel
Rabu, 15 Maret 2023 09:39 WIB

Membaca Rasina, Menikmati Sejarah


Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Novel baru Iksaka Banu itu dimulai dengan sesuatu yang tidak lazim. Gambar Struktur organisasi VOC dan istilah-istilah dari

 

Puisi
Sabtu, 11 Maret 2023 08:26 WIB

Ngliyep


Ngliyep   Di Ngliyep langit dan laut berpagut Dalam dekap garis lurus cakrawala Ada yang selalu tak dapat diduga di sana Keluasan langit dan kedalaman

 

Kamis, 09 Maret 2023 18:32 WIB

Pariyanto Pimpin Rapat Laporan Nota Penjelasan LKPJ Kabupaten Dharmasraya Tahun 2022


DHARMASRAYA –  Ketua DPRD Dharmasraya, Pariyanto pimpin siding paripurna di Kantor DPRD Dharmasraya terharap nota penjelasan atas laporan Keterangan

 

Rabu, 08 Maret 2023 18:52 WIB

Kajari Dharmasraya Sambangi DPRD Kabupaten Dharmasraya


  DHARMASRAYA - Dalam rangka menjalin silaturahmi Kajari Dharmasraya, Dodik Hermawan jumpai Ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Pariyanto. Pertemuan