Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Reporter :
Kategori :
Perspektif
Ilustrasi Peristiwa 65 (Sumber: ypkp1965.org)
Oleh: Wahyu Prasetyawan*
Riwanto Tirtosudarmo (selanjutnya Riwanto) dalam tulisannya membahas adanya 5 bias dan 5 mitos dalam proses rekayasa sosial selama 50 tahun terakhir (selengkapnya di sini: https://kajanglako.com/id-10979-post-50-tahun-rekayasa-sosial-5-bias-dan-5-mitos.html). Adapun 5 bias yang dimaksudkannya adalah urban bias, Java bias, migrant bias, remittance bias, racial bias. Sementara 5 mitos yang dimaksudnya mencakup kesatuan yang mematikan persatuan, pertumbuhan yang menafikan pemerataan, keharmonisan yang mengaburkan peminggiran, demokrasi yang mengesampingkan kedaulatan rakyat, negara hukum yang mengabaikan martabat kemanusiaan. Lima bias dan lima mitos yang diajukan oleh Riwanto Tirtosudarmo tentunya sangat menarik dan menantang untuk dibahas lebih dalam lagi karena dalam teks seperti yang dimuat dalam bukunya masih sedikut dieksplorasi, mungkin karena keterbatasan tempat.
Tulisan kecil ini tidak akan membahas satu persatu bias dan mitos tersebut, melainkan akan menempatkan dan berusaha memahami kenapa mereka muncul dan perlu diperdebatkan. Untuk dapat memahami hal tersebut, memang ada masalah pokok yang belum dibahas dalam tulisan Riwanto tersebut. Kontek regional dan internasional negara Indonesia beroperasi dan proses demokrasi setelah kejatuhan Soeharto pada 1998. Yang kedua cukup banyak dibahas dalam bab-bab lain dalam buku dan menunjuk pada semakin menguatnya oligarki. Tetapi tulisan kecil ini akan melihatnya dari perspektif yang berbeda.
Kelima bias yang dimaksudkan Riwanto dapat dilihat sebagai suatu akibat ketimbang suatu sebab. Saya sepenuhnya setuju dengan lima bias yang dirumuskan Riwanto. Menariknya Riwanto merumuskan setelah peristiaw berdarah 1965 Indonesia “tidak lagi mendayung di antara dua karang…tetapi kandas di salah satu karang.” Sebetulnya ini butir yang amat menarik untuk dicermati. Setelah Orde Baru berkuasa dan menjalankan agenda pembangunannya, Indonesia jelas tidak dapat dipisahkan dari gejolak ekonomi-politik di tingkat regional dan internasional ketika itu.
Seperti yang dirumuskan dengan baik oleh Karl Polanyi, ahli ekonomi politik dari Hungaria, dalam bukunya The Great Transformation: the Political Economic of Our Time, yang ditulisnya di Amerika Serikat pada masa Perang Dunia Kedua. Polanyi merumuskan bahwa perabadan pada abad ke sembilan belas bertumpu pada empat institusi. Dari keempat insitutusi tersebut tiga yang sekarang masih ada: tidak ada lagi perang di antara kekuatan-kekuatan besar, kekuatan pasar, ideologi liberal. Semua institusi tersebut mengatur ekonomi dan politik, dalam konteks sekarang yang masih bertahan adalah mekanisme pasar dan ideologi liberal.
Maka seperti yang diulas Riwanto, sejak 1965 Indonesia sudah berada dalam satu kubu, yaitu berada di bawah pengaruh Pax Americana, minus ideologi liberal karena sistem politiknya tidak demokratis semasa Orde Baru. Ketika Orde Baru runtuh pada 1998 sebetulnya Indonesia masuk secara keseluruhan seperti yang digambarkan oleh Polanyi: sistem ekonomi pasar dan ideologi politik liberal. Berada dalam payung Pax Americana Indonesia menikmati pembangunan melalui upaya yang disebut oleh Takashi Shiraishi (2018) sebagai politics of productivity. Shiraishi merumuskan politik produktivitas ini sebagai upaya untuk fokus pada pembangunan ekonomi dengan menyingkirkan perbedaan kelas, ideologi dan pembelahan-pembelahan sosial lainnya agar mencapai kesejahteraan.
Jika dilihat secara makro selama 50 tahun terakhir, maka hasil dari fokus pada pertumbuhan ekonomi cukup meyakinkan, walau masih ada persoalan serius dalam kesenjangan. Tiga indikator penting ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan penggangguran sangat terjaga dengan baik. Jika ditambah, inflasi, kecuali pada krisis keuangan 1997, sangat terjaga. Dan yang lebih penting, Indonesia mengambil kebijakan disiplin fiskal yang ketat sejak krisis keuangan 1997.
Tiga bias pertama yang disebut Riwanto sangat mungkin bersumber pada politik produktivitas yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia sejak Orde Baru hingga sekarang tetap sama, yang sedikit berbeda hanya sistem politiknya: pada masa Orde Baru tidak demokratis, setelahnya demokratis.
Dari kelima bias yang dirumuskan Riwanto, sebetulnya masih ada satu bias yang justru sangat penting tapi tidak disebutkan. Yaitu environmental bias, maksudnya pertumbuhan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan di Indonesia masih mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Dari beberapa studi yang dilakukan oleh beberapa sarjana, dan penelitian yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa kepentingan ekonomi selalu lebih penting dibandingkan dengan aspek kelestarian lingkungan. Riwanto menyebut gejala ini sebagai Java bias karena adanya perpindahan penduduk dari Jawa ke pulau lain untuk tenaga kerja dalam sektor industri ekstraktif. Kasus kebakaran hutan dan lahan di Riau yang selalu berulang terjadi merupakan environmental bias yang hingga sekarang tampaknya akan sulit diselesaikan karena adanya pertarungan antara kepentingan modal raksasa, kelestarian lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat.
Dalam masalah politik Riwanto merumuskan “1998 yang disebut sebagai periode reformasi, meskipun ditandai oleh reorganisasi kekuasaan, tapi terbukti tidak menghasilkan perubahan yang berarti karena secara politik Indonesia tetap dikuasai oleh oligarki dan pembangunan ekonomi tetap melanjutkan strategi yang sama yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pemerataan.” Saya tidak terlalu setuju dengan adanya kesimpulan secara “politik Indonesia tetap dikuasai oleh oligarki.” Ini proposisi rumit yang cukup sulit untuk dibuktikan karena pertama, apa yang dimaksudkan dengan politik Indonesia? Apakah politik pada tingkat nasional? Jika iya, apakah politisi yang memiliki kapital benar-benar terlibat merumuskan kebijakan? Ataukah para pemodal yang tidak memiliki keluatan politik dapat mempengaruhi kebijakan melalui politisi-politisi yang dekat dengannya?
Kalau melihat dinamika politik di tingkat lokal, gambarannya akan jauh lebih sulit lagi mengatakan adanya kekuasaan oligarki. Memang ada politisi lokal yang memiliki jejaring kuat dengan pemodal atau politisi di tingkat nasional. Namun, pada umumnya mereka membuat jejaring dengan para politisi lokal atau birokrat lokal lainnya. Ada juga politisi lokal yang sangat mengandalkan jejaring dan hubungan kekeluargaan. Jadi tidak selalu modal yang membuat dinamika politik lokal.
Tetapi rumusan bahwa “periode reformasi, meskipun ditandai oleh reorganisasi kekuasaan, tapi terbukti tidak menghasilkan perubahan.” Rumusan ini dapat saya diterima. Ada baiknya menengok rumusan demokrasi yang dibuat oleh Daron Acemoglu da James Robinson (2006). Mereka merumuskan demokrasi pada dasarnya adalah proses tawar-menawar, atau bahasa kerasnya pertarungan, antara elite dengan rakyat, yang bukan elite (sebagai terjemahan dari people). Kelompok elite akan memberikan konsesi lebih besar melalui demokrasi jika mereka berpikir kepentingannya terancam melalui proses lain yang tidak demokratis. Namun kelompok elite akan mengambil kembali kepentingannya melalui proses demokrasi, dan kemudian perlahan-lahan demokrasi akan digunakan sebagai alat mencapai tujuannya.
Lolosnya UU KPK dan Cipta Kerja adalah gambaran yang paling nyata dari kecenderungan tersebut. UU KPK melindungi elite dari perilaku korupsi, sementara UU Cipta Kerja dikhawatirkan akan memperburuk kerusakan lingkungan. UU Cipta Kerja adalah gambaran dari politik produktivitas, dan digunakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan menariknya kenapa di belahan dunia lain, sebut negara-negara Skandinavia, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, campuran antara ideologi pasar dan liberal menghasilkan kesejahteraan, sementara di Indonesia belum hingga saat ini?
Jadi, jawaban pertanyaan di atas ada pada proses demokrasi seperti yang dirumuskan Acemoglu dan Robinson. Demokrasi yang dijalankan sejak 1998 perlahan-lahan mengembalikan “kekuasaan” yang sebelumnya sudah dimiliki oleh kelompok elite. Gejala ini terjadi tidak hanya di tingkat pusat atau nasional, tetapi yang jauh lebih dalam adalah pengambilan kekuasaan melalui proses demokrasi oleh elite-elite yang berada di daerah. Dari diskusi ini mungkin dapat ditambahkan satu mitos lagi, yaitu mitos demokrasi akan memberikan peluang bagi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan.
*Dosen ekonomi-politik UIN Syarif Hidayatullah. Distinguished Visiting Associate Professor at Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Japan.
Batu Bara di Jambi Polemik Angkutan Batu Bara dan Hal-Hal Yang Tak SelesaiOleh: Jumardi Putra* Jambi darurat batu bara. Itu kenapa Gubernur Jambi Al-Haris banyak disorot awak media, lantaran kemacetan parah yang ditimbulkan oleh |
Ulasan Novel Membaca Rasina, Menikmati SejarahOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Novel baru Iksaka Banu itu dimulai dengan sesuatu yang tidak lazim. Gambar Struktur organisasi VOC dan istilah-istilah dari |
Puisi NgliyepNgliyep Di Ngliyep langit dan laut berpagut Dalam dekap garis lurus cakrawala Ada yang selalu tak dapat diduga di sana Keluasan langit dan kedalaman |
Kamis, 09 Maret 2023 18:32
WIB Pariyanto Pimpin Rapat Laporan Nota Penjelasan LKPJ Kabupaten Dharmasraya Tahun 2022DHARMASRAYA – Ketua DPRD Dharmasraya, Pariyanto pimpin siding paripurna di Kantor DPRD Dharmasraya terharap nota penjelasan atas laporan Keterangan |
Rabu, 08 Maret 2023 18:52
WIB Kajari Dharmasraya Sambangi DPRD Kabupaten DharmasrayaDHARMASRAYA - Dalam rangka menjalin silaturahmi Kajari Dharmasraya, Dodik Hermawan jumpai Ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Pariyanto. Pertemuan |
Jumat, 21 Mei 2021 11:54
WIB
Minggu, 25 April 2021 22:06
WIB
Selasa, 20 April 2021 16:20
WIB
Kamis, 08 April 2021 13:58
WIB
Minggu, 28 Maret 2021 03:34
WIB
ASKI Jambi Sabtu, 08 Januari 2022 08:47 WIB Resmi Dilantik, DPD ASKI Jambi Siap Kopikan Jambi Hingga Dunia |
Jumat, 07 Januari 2022 01:03
WIB
Plh Sekda Tanjab Barat Hadiri Paripurna Istimewa HUT Provinsi Jambi |
Rabu, 23 September 2020 16:31
WIB
Strategi Menyusun Rencana Keuangan Hasil Pinjaman Online |
Kamis, 11 Juni 2020 11:33
WIB
70 Persen Kebutuhan Ikan di Merangin Dipasok dari Luar |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.