Sabtu, 03 Juni 2023


Rabu, 08 Juli 2020 19:41 WIB

Guru Siroj, Ulama Sederhana yang Rendah Hati

Reporter :
Kategori : Sosok

K.H. Sirojuddin HM

Oleh: Widodo*

Jambi berduka lagi. Setelah K.H. Muhammad Daud al-Hafidzh meninggal dunia pada Maret lalu, kini giliran K.H. Sirojuddin H.M. yang dipanggil pulang. Di penghujung hayatnya, kiai kharismatik yang biasa disapa Guru Siroj ini, memimpin Madrasah al-Jauharain, pesantren tua yang umurnya hampir seabad. Al-Jauharain terletak di Kampung Tanjung Johor, kawasan Seberang Kota Jambi. Guru Siroj juga lama berbagi ilmu di Madrasah As'ad.



Murid Guru Siroj mungkin jumlahnya ribuan, bahkan boleh jadi belasan ribu atau lebih. Dan di kampung santri Seberang, ia  termasuk ulama yang disepuhkan. Meski demikian, tak tampak bahwa Guru Siroj merasa lebih dari orang lain. Ia ulama yang rendah hati, sederhana, dan pintar membangkitkan semangat orang lain untuk mencari ilmu.

Kesan itu saya rasakan ketika saya berbincang-bincang dengan Guru Siroj di Madrasah al-Jauharain pada tahun 2018 silam. Ceritanya, saat itu saya dan teman-teman sedang meneliti dua masjid tua di Seberang, yaitu Masjid Batu al-Ihsaniyyah dan Masjid Jamik al-Kahfi.

Masjid Batu al-Ihsaniyyah adalah peninggalan Sayyid Idrus al-Jufri (Pangeran Wiro Kusumo), pejabat Kesultanan Jambi yang posisinya paling strategis sejak Sultan Thaha Syaifuddin naik tahta. Walaupun semasa hidup bergumul dalam kancah politik dan dunia bisnis, setelah meninggal Sayyid Idrus dimuliakan sebagai waliyullah.

Masjid Jamik al-Kafi adalah peninggalan Syaikh Datuk Abdul Kafi, ulama yang dipercaya sebagai rijal al-ghaib, dalam pengertian "sufi berselubung misteri". Dituturkan bahwa saat Datuk Abdul Kafi meninggal, pelayat berjumlah ribuan. Kebanyakan orang luar Seberang yang datang tanpa dikabari.

Arsitek Masjid Jamik al-Kahfi adalah seorang keturunan Tionghoa. Konon kabarnya, dia juga mengarsiteki pembangunan sebuah masjid tua di Terusan, Kabupaten Batanghari. Masjid Jamik al-Kahfi, dalam wujudnya yang belum dipugar, sudah ada sebelum Perukunan Tsamarotul Insan berdiri.

Ketika hendak menggali lebih dalam riwayat Masjid Jamik al-Kahfi, kami dihadang kesulitan. Kami tak tahu pasti siapa narasumber otoritatif yang cocok diwawancarai. Warga sekitar tak banyak mengerti sejarah masjid yang tegak persis di tepi Sungai Batanghari tersebut.

Setelah berdiskusi singkat dengan teman-teman dalam tim peneliti, kami memutuskan berkunjung ke Madrasah Al-Jauharain yang lokasinya agak jauh di belakang masjid. Masjid Jamik al-Kahfi dan Madrasah al-Jauharain sama-sama berada di Kampung Tanjung Johor. Siapa tahu di al-Jauharain kami berjumpa dengan narasumber yang relevan dan otoritatif.

Ini benar-benar gawai lolo, spekulatif, campur nekat. Sebab, tak satu pun orang al-Jauharain yang kami kenal secara personal. Dan jauh-jauh hari sebelumnya, kami tidak mengajukan permintaan wawancara kepada al-Jauharain. Daripada dilabeli tim peneliti, kami mungkin lebih tepat dinamai gerombolan petualang kurang kerjaan. Kulu kilir tidak jelas. Asal merayau.

Keloloan kami ternyata tidak sia-sia. Al-Jauharain menyambut kami dengan begitu baik dan ramah. Kepada penjaga kompleks madrasah, kami menerangkan tujuan kedatangan kami secara apa adanya.

Penjaga kemudian mengantar kami ke kantor asatiz, di lantai dua gedung induk madrasah yang terbuat dari kayu. Sejak al-Jauharain dibangun pada 1920-an, kondisi gedung induk ini "sepertinya" tidak banyak berubah. Renovasi tentu pernah dilakukan. Tapi, tidak mengubah subtansi arsitekturnya.

Di kantor asatiz, kami disambut dua ustaz muda yang kebetulan sedang tidak mengajar. Minuman segera disuguhkan.

Setelah mendengar maksud kedatangan kami, salah seorang ustaz menyarankan supaya kami mewawancarai mudir al-Jauharain, yaitu Guru Siroj. Dia yakin, ulama sepuh itu tahu banyak tentang seluk-beluk sejarah Masjid Jamik al-Kahfi. "Hore," sorak saya dalam hati. Akhirnya, narasumber ditemukan.

Dia meminta staf pengajar lain untuk mengabari Guru Siroj bahwa ada tamu yang ingin mewawancarainya. Tak disangka, alih-alih menyuruh kami untuk ke ruang mudir, ternyata Guru Siroj berkenan melangkahkan kaki menemui kami di ruang asatiz.

Ini sungguh kehormatan bagi kami. Kami merasa betul-betul dimuliakan. Tamu dilayani bagai raja meskipun sang tuan "rumah" adalah ulama sepuh yang sangat alim.

Padahal, sebagai tamu, kami bukan siapa-siapa. Hanya kawanan anak muda yang sok-sokan meneliti sejarah Islam di Jambi, yang jangankan alim, bahkan bertampang saleh pun tidak.

Sembari menunggu Guru Siroj, ustaz mengajak kami bercakap-cakap. Tak lama kemudian, Guru Siroj muncul. Spontan kami berdiri dan mencium tangan beliau.

Mengenakan baju putih, sarung putih, kopiah putih, beliau diliputi semacam kharisma yang lembut. Suara beliau pun terasa sejuk dan lembut. Yang paling berkesan adalah wajah tabassum beliau. Wajah orang yang penuh syukur. Wajah yang sejuk dipandang. Menenteramkan dan mengademkan hati.

Setelah mendengar maksud kedatangan kami, Guru Siroj segera membawa kami masuk ke dalam obrolan yang hangat dan, entah kenapa, terasa dekat. Ia menjawab pertanyaan kami satu demi satu sambil menikmati rokoknya. Sebagian jawaban memuaskan rasa penasaran kami. Tapi, sebagian jawaban lain justru nenambah rasa penasaran.

"Guru," tanya saya, "pilar Masjid al-Kahfi kok ada empat? Apa maknanya?" Sebelum mengunjungi al-Jauharain, kami sudah mengamati arsitektur Masjid Abdul Kafi secara cukup detail.

Guru Siroj menjelaskan, jumlah pilar itu melambangkan jumlah mazhab fikih yang diikuti kalangan Sunni Jambi, yaitu Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hambali. Ulama Jambi bertaklid kepada empat mazhab tersebut, tidak merumuskan hukum fikih baru semata-mata berdasarkan ijtihad bebas secara otonom dan independen.

Saya membatin, taklid kepada empat mazhab fikih Sunni juga merupakan pandangan fikihiah para ulama tradisional lain di Nusantara, khususnya para kiai perintis Nahdhatul Ulama (NU). Apa hanya sampai di sini kaitan kesejarahan antara Islam Jambi dan NU?

Saya kemudian bertanya lagi, "Guru, jumlah pintu Masjid al-Kahfi semuanya ada sembilan. Apa ini juga ada maknanya?"

Guru Siroj awalnya kaget mendengar pertanyaan kami ini. Kaget bukan karena Guru Siroj tak tahu jawabannya. Tapi, kaget karena kami ternyata memperhatikan jumlah pintu Masjid al-Kahfi. Untuk memancing rasa penasaran kami lebih jauh, ia menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Menjawab teka-teki dengan teka-teki lain yang lebih musykil.

Menurutnya, jumlah pintu Masjid al-Kahfi memang perlu diperhatikan. Jumlah itu memang mengandung makna. Secara implisit, ia menerangkan bahwa jumlah pintu melambangkan jumlah waliyullah.

Tapi anehnya, jumlah waliyullah yang menjadi pilar Islam di Jambi ada tujuh ulama. Sementara itu, jumlah waliyullah yang menjadi pilar Islam di Jawa ada sembilan ulama. Maka logikanya, jumlah pintu Masjid al-Kahfi seharusnya tujuh. Tapi, kenapa pintunya berjumlah sembilan? Sampai di sini, Guru Siroj menghentikan penjelasannya.

Pikiran saya melayang pada logo NU. Sembilan bintang yang tergambar pada logo itu antara lain menyimbolkan Walisongo. Apa Walisongo inilah yang dimaksudkan Guru Siroj?

Entahlah. Ia agaknya memang tak hendak memberikan jawaban gamblang. Kami sendirilah yang harus memecahkan teka-teki tersebut.

Obrolan kemudian bergeser ke topik lain seputar Masjid al-Kahfi, al-Jauharain, dan Perukunan Tsamarotul Insan. Segera setalah resmi didirikan pada 1913, Tsamarotul Insan secara gradual membangun empat pesantren tua yang semuanya terletak di Seberang, yaitu Madrasah Nurul Iman, Madrasah Sa'adatuddarain, Madrasah Nurul Islam, dan Madrasah al-Jauharain. Pemimpin Tsamarotul Insan yang pertama adalah Guru Abdus Somad bin Ibrahim, hoofd-penghulu pertama Keresidenan Jambi yang baru terbentuk pada 1906, setelah Belanda sepenuhnya berhasil menaklukkan Kesultanan Jambi.

Sejak berbincang-bincang dengan Guru Siroj, saya menjadi begitu penasaran tentang kaitan Islam Jambi dengan Islam di Nusantara secara umum, bahkan dengan Islam di Asia Tenggara secara lebih luas. Perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, saya lantas menelusuri jaringan intelektual ulama Jambi. Dari penelusuran itu, saya menemukan bahwa ulama Tsamarotul Insan merupakan bagian aktif dari komunitas epistemik ulama Syafi'iyyah-Asy'ariyyah yang turut membentuk wajah Islam moderat di Asia Tenggara. Saya pun menemukan, banyak ulama Jambi yang pernah mengajar di Masjidil Haram.

 

Begitulah. Guru Siroj menjawab pertanyaan justru dengan melemparkan pertanyaan lain untuk membangkitkan gairah pencarian ilmiah. Tidak semua guru mahir menggunakan "seni mendidik" tingkat tinggi ini.

Kini, guru yang pintar membangun rasa penasaran orang lain itu, yang sederhana dan rendah hati itu, telah meninggalkan kita. Ia wafat pada hari yang baik, yaitu hari Senin, hari ketika Nabi Muhammad lahir dan wafat. Ia juga wafat pada bulan yang baik, yaitu bulan Zulkaidah, bulan perdamaian saat darah dilarang ditumpahkan.

Saya tak berani mengaku sebagai murid beliau. Saya tak pernah nyantri kepadanya. Saya pun hanya bertemu Guru Siroj sekali saja, untuk yang pertama kali dan rupanya juga terakhir kali. Tapi, jauh dari kedalaman palung kalbu, saya ingin mengucapkan, "Selamat jalan, Guru...."

*Pernah belajar di UIN Sunan Kalijaga dan ngaji di Tamansiswa Yogyakarta. Kadang-kadang ikut berdialektika dalam Seloko Institute. Kini juga aktif di Pusat Studi Islam Jambi (PSIJ). Akun Facebook: Lev Widodo


Tag : #Sosok #K.H. Sirojuddin #Madrasah al-Jauharain #Seberang Kota Jambi



Berita Terbaru

 

Resensi Novel
Selasa, 30 Mei 2023 16:06 WIB

Lantak La: Dramaturgi Anonim-Anonim (Sebuah Timbangan)


Oleh: Jumardi Putra* Lantak La! Boleh dibilang kata itu yang membuat saya ingin segera membaca novel hasil sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun

 

Senin, 29 Mei 2023 16:31 WIB

Kemensos RI Kucurkan Dana Sebesar Rp.23.894.912.692 untuk 21.754 Penerima Manfaat


 DHARMASRAYA - Peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat (Sumbar)

 

Senin, 29 Mei 2023 15:24 WIB

Hari Puncak HUT Lansia ke-27 Berlangsung Meriah dan Sukses, Risma Ajak Seluruh Masyarakat Kampanyekan Cinta Lansia


  DHARMASRAYA – Pelaksanaan peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi

 

Senin, 29 Mei 2023 00:51 WIB

Peringati HLUN 2023 Dharmasraya, Nenek Nuriyah Dapat Bantuan Usaha dari Kemensos


  DHARMASRAYA - Gegap gempita menjelang perayaan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) pada 29 Mei mendatang dipastikan tak hanya menjadi acara seremonial.

 

Senin, 29 Mei 2023 00:37 WIB

Prosesi Santiaji pada HUT ke-19 Tagana Indonesia di Dharmasraya Berlangsung Meriah


  DHARMASRAYA – Perhelatan acara Santi Aji dalam rangka peringatan Hari Tagana ke-19 di Kabupaten Dharmaaraya pada hari Minggu, (28/05/23) berlangsung