Kamis, 01 Juni 2023


Minggu, 31 Mei 2020 05:59 WIB

Sri Sumarah dan Bawuk

Reporter :
Kategori : Oase Esai

Ilustrasi. karya Dadang Chistanto. Sumber: gonosidapolitik65.blogspot.com

Oleh: Wiwin Eko Santoso*

22 Februari 1973, Umar Kayam bertolak dari Tokyo menuju Hawaii atas undangan East West Center dalam program Senior Fellow Award, sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Selama 6 bulan di Hawaii, Umar Kayam merampungkan tulisan berupa esai dan novel yang terbengkalai selama kesibukannya di DKJ. Salah satu novelet yang ditulisnya adalah Sri Sumarah, yang kelak diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1975 bersamaan dengan cerita Bawuk dalam satu buku.



Apa istimewanya cerita Sri Sumarah dan Bawuk? Menurut Ahmad Natsih Luthfi, cerita tersebut menjadi semacam saksi atas peristiwa tahun 1965-1966 dan mengambil sudut pandang korban. Di perpustakaan FIB UGM, saya pernah meminjam dan membaca tuntas buku ini yang tidak lebih tebal daripada novel berjudul Para Priyayi.

Umar Kayam menggambarkan hidup-hidup sosok Bawuk yang cenderung ‘bohemian’ dan yang riang gembira. Bawuk seorang putri dari onder Karangrandu, bintang cocieteit Concordia, yang di ujung cerita, menjadi pelarian karena suaminya seorang komunis. Kalau dilihat bahwa pengurus PKI yang terkenal puritan, maka sosok Bawuk dalam gambaran Umar Kayam mungkin paradox atau aneh. Tetapi, suaminya yang orang biasa, masih masuk akal. Saya tak bisa mengecek ulang, karena  kumpulan cerita itu tidak punya.

Salah satu adegan yang berkesan, sungguh hidup, yakni ketahanan Bawuk ketika ia harus “disidang” oleh keluarganya, terdiri kakak-kakaknya, ada yang militer Angkatan Darat, birokrat, pejabat, dan dosen. Bawuk memiliki suami seorang pengikut PKI dan meyakini suaminya bukanlah penjahat atau orang yang bersalah.

Intinya, cerita karangan Umar Kayam ini mengambil sudut atau pihak “korban.” Ketika buku sejarah sulit menuliskan tragedi 65 dari pihak korban yang dituduh PKI, Umar Kayam melalui karya sastra mengisi celah kosong tersebut. Tampaknya, tokoh dalam kisah sastra Sri Sumarah dan Bawuk itu memang nyata dan dikenal oleh Kayam.

Karya Umar Kayam yang ilmiah dan fiksi memang banyak. Kalau novel “Para Priyayi” terkesan berisi kisah kanan yang moderat dan kritis, maka cerita pendek “Sri Sumarah dan Bawuk” mungkin satu-satunya yang nampak atau berbau kirinya.

Oleh karena Sri Sumarah dan Bawuk ditulis sebagai karya sastra, maka rezim Orde Baru tampaknya tidak “memperdulikannya” atau boleh dibilang—membiarkannya. Apalagi, yang menulis adalah Umar Kayam.

***

Pada 19 Mei 1989, Jumat siang, Prof. Dr. Umar Kayam mengucapkan pidato pengukuhannya sebagai mahaguru Fakultas Sastra UGM Yogyakarta. Dua tahun setelah itu (1991), Umar Kayam sempat dirawat sakit karena diabetes mellitius.

Pada 20 Mei 1994 M atau Jumat 9 Dzul Hijjah tahun 1414 Hijriah, Umar Kayam sedang wukuf di Arafah. Kelak, Umar Kayam bercerita, saat wukuf itu, ia sempat agak “terganggu” ketika mendengar orang Iran Syiah yang menangis-nangis dalam berdoa.

Pada 14 Juni 1994, Prof Umar Kayam menulis cerpen “Kembali Dari Haji.” Catatan ini tentang setelah dua minggu pulang dari haji dan istirahat di rumahnya di Jakarta.

Entah setelah sempat sakit tahun 1991, atau setelah haji 1994, atau mungkin pasca tahun 2000, Umar Kayam pernah mengalami sakit dan proses penyembuhan yang mistik.

Menurut penuturan Sita Aripurnami, putri sulung Umar Kayam, takala ayahnya sakit, mereka pernah kedatangan kawan Umar Kayam yang sudah menjadi paranormal. Ketika ditanya pusaka kerisnya ada, maka sang paranormal meminta dibersihkan dengan cara dibakar dan oleh keturunannya langsung.

Percaya tidak percaya, kata Sita Aripurnami, ia melaksanakan arahan tersebut dengan menyalakan lilin, lalu memanggang keris. Sita merasa wajahnya lebam dan kesemutan, walau suaminya bilang tidak ada yang berubah dengan wajahnya.

Untuk terapi usadanya, sang supranaturalis menyarankan untuk membacakan doa ditambah dengan lafal ayat Quran surah Asy-Syu’ara sambil memegang pusar Umar Kayam yang terbaring itu. Sita Aripurnami tidak tahu apa hubungan ayat itu dengan penyakit ayahnya. Hanya saja menurut Ahmad Nashih Luthfi kemudian, ayat itu dari surat Asy-Syu’ara atau surat “Penyair,” yang terdapat ayat berbunyi “wasysyu’araau yatabi’uhumul ghaawuun ..., ila alladzinna aammanu wa’amilushoolihaati wa dzakarullaaha.”

Artinya: “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat ..., kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan berbuat kebajikan serta banyak mengingat Allah.” (QS Asy-Syu’araa [26] ayat 224 & 227).

Kemudian, dari segenap lubang tubuh Umar Kayam keluar darah. Perlahan-lahan darah itu berubah menjadi merah muda, akhirnya putih seperti cairan biasa.

Selain itu, suatu ketika dalam keheningan malam, Sita Aripurnami melihat seperti iring-iringan prajurit berpakaian ala Majapahit dipimpin oleh seseorang yang secara lamat-lamat tampak berwajah ayahnya. Tidak hanya itu, seorang perempuan cantik menampakkan diri di hadapan Sita Aripurnami yang mengucapkan terimakasih entah untuk hal apa, dan Umar Kayam pun sembuh.

Entah sakit yang tahun 1991, 1994, ataukah tahun 2000?

Tepatnya 16 Maret 2003, di dalem Kayaman Bulaksumur B-12, setahun selepas wafatnya Umar Kayam, setelah diadakan pembacaan tahlil, yang dipenuhi para undangan, keluarga dan karib, Sita Aripurnami (putri sulung Umar Kayam) bercerita tentang kisah mistik, yang kurang lebih disebut “KISMIS Umar Kayam” tersebut.

Bagaimanapun, Umar Kayam seorang penyair atau mahaguru sastra di UGM.

 

Meloncat dari Umar Kayam.

Pada Rabu 27 Mei 2020, muncul cerita pendek berjudul “Semaun” karya Ratna Dewi yang dimuat oleh Kajanglako (baca di sini: http://kajanglako.com/id-10883-post-semaun.html).

Berbeda dengan cerita “Sri Sumarah dan Bawuk” karya Umar Kayam, cerita pendek “Semaun” ini hanya memakai nama tokoh orang PKI generasi awal saja, yang latar ceritanya malah dibuat di zaman Orde Orba. Di dalam cerpen “Semaun,” selain nama Semaun, juga muncul nama Gerwani. Kalau nama tempat, ada kafe, terus Perguruan Tinggi Swasta di Cikini.

Yah, yang namanya cerita pendek, ya termasuk karya sastra, sehingga boleh lahir atas dasar hayalan dan suka-suka penulisnya saja. Akan tetapi, kalau mau dikomentari, mungkin juga perlu di sini.

Pertama, mengapa muncul nama Semaun di era Orde Baru? Sebab, rasanya sulit ada orangtua di zaman itu memberi nama anak, yang jelas-jelas ada kaitannya dengan tokoh PKI di zaman kolonial itu. Padahal, seorang Ilham Aidit saja, yang jelas-jelas anak kandung Aidit, sepanjang Orde Baru mencoba menghilangkan nama “Aidit”-nya agar terbebas dari stereotip negatif yang begitu kuat kala itu, terhadap tokoh PKI.

Kemudian, Semaun di cerpen milik Ratna Dewi ini juga digambarkan seorang perokok. Tentu, ini tidak sama dengan Aidit yang digambarkan perokok dalam film “G-30 S PKI” karya Arifin C Noer, yang kenyataannya, Aidit bukanlah perokok.

Menariknya, sosok Gerwani digambarkan sebagai perempuan perokok, berambut pendek, berkaos pendek leher rendah, sehingga di belahan teteknya terlihat ada tato, yakni palu arit.

Setelah membaca nama dan gambaran Gerwani seperti ini. Saya malah teringat Saskia Weiringa yang menulis karya ilmiahnya tentang Sejarah Gerwani. Menurutnya, banyak koran, terutama bulan November 1965, itu muncul cerita-cerita tentang Gerwani dengan gambaran sebagai perempuan nakal dengan konotasi seksual.

Bahkan, dari beberapa karya tulis koran kala itu, digambarkan orang-orang Gerwani yang sudah mati, kemudian bergentayangan sebagai kuntilanak. Akibatnya, citra Gerwani menjadi perempuan cantik yang nakal, yang hidup sebagai perempuan gila seks, yang kalau mati akan berubah menjadi kuntilanak.

Cerita-cerita semacam ini semakin membuat citra Gerwani yang diisi oleh aktifis perempuan itu berubah menjadi angker dan buruk. Apalagi, setelah Arsendo Atmowiloto menulis cerita tentang Gerwani yang buas dan ganas dengan ritual “Harum Bunga.”

Begitulah awal Orde Baru.

Tentu saja, dalam cerpennya, Ratna Dewi tidak menggambarkan Semaun sebagai pria hantu PKI atau Gerwani sang perempuan kuntilanak. Akan tetapi, ketika digambarkan tokoh perempuan bernama Gerwani bertato palu arit di sekitar belahan buah dadanya, maka saya teringat—kalau tak salah masih di bukunya Saskia Weiringa—tentang pemeriksaan aparat kepada Gerwani itu sendiri.

Tahun 1965-1966, pernah terjadi beberapa perempuan yang tergabung dalam Gerwani ataupun yang dituduh begitu, diperiksa oleh aparat, yang notabene adalah pria. Pemeriksaan mereka aneh, yakni mencari tato simbol PKI di tubuh para perempuan tersebut. Jelas, pemeriksaan ini hanya menjadi modus untuk melakukan pelecehan seksual saja.

Mungkin, terkait atau tidak, gambaran perempuan Gerwani bertato palu arit ini, dari cerpen Semaun karya Ratna Dewi, masih memakai pola Orde Baru dalam pencitraan “lawan politik”nya itu.

“Bukankah cerpen karya Ratna Dewi hanya produk hayalan saja?” Iya, betul. Itulah karya sastra dari seorang penulis sastra.

Apabila penulis sastra dianggap masuk semacam penyair atau pujangga, misal macam sosok Prof. Dr. Umar Kayam tadi, maka barangkali Ratna Dewi perlu pula dibacakan oleh anaknya, ayat “wasysyu’araau yatabi’uhumul ghaawuun ..., ila alladzinna aammanu wa’amilushoolihaati wa dzakarullaaha.”

 

*Penulis adalah pemerhati sejarah. Kini tinggal dan bekerja di Kota Jambi. Esai ini ditulis pada 29 Mei 2020.

 


Tag : #Esai #Tragedi1965 #Sri Sumarah dan Bawuk #Umar Kayam



Berita Terbaru

 

Resensi Novel
Selasa, 30 Mei 2023 16:06 WIB

Lantak La: Dramaturgi Anonim-Anonim (Sebuah Timbangan)


Oleh: Jumardi Putra* Lantak La! Boleh dibilang kata itu yang membuat saya ingin segera membaca novel hasil sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun

 

Senin, 29 Mei 2023 16:31 WIB

Kemensos RI Kucurkan Dana Sebesar Rp.23.894.912.692 untuk 21.754 Penerima Manfaat


 DHARMASRAYA - Peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat (Sumbar)

 

Senin, 29 Mei 2023 15:24 WIB

Hari Puncak HUT Lansia ke-27 Berlangsung Meriah dan Sukses, Risma Ajak Seluruh Masyarakat Kampanyekan Cinta Lansia


  DHARMASRAYA – Pelaksanaan peringatan Hari lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 Tahun 2023 yang dilaksanakan di Kabupaten Dharmasraya Provinsi

 

Senin, 29 Mei 2023 00:51 WIB

Peringati HLUN 2023 Dharmasraya, Nenek Nuriyah Dapat Bantuan Usaha dari Kemensos


  DHARMASRAYA - Gegap gempita menjelang perayaan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) pada 29 Mei mendatang dipastikan tak hanya menjadi acara seremonial.

 

Senin, 29 Mei 2023 00:37 WIB

Prosesi Santiaji pada HUT ke-19 Tagana Indonesia di Dharmasraya Berlangsung Meriah


  DHARMASRAYA – Perhelatan acara Santi Aji dalam rangka peringatan Hari Tagana ke-19 di Kabupaten Dharmaaraya pada hari Minggu, (28/05/23) berlangsung