Rabu, 22 Maret 2023


Senin, 20 April 2020 06:46 WIB

Raden Saleh

Reporter :
Kategori : Akademia

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807-1880), pelukis legendaris itu, sepuluh tahun lebih tua dari Karl Marx (1818-1883), mereka boleh dikatakan hidup se-zaman. Raden Saleh, mungkin orang pertama dari Nusantara yang menerima beasiswa untuk belajar di Belanda. Kejeniusannya sebagai pelukis membuatnya memperoleh gelar pelukis istana dan menikmati hidup mewah sebagai bagian dari kelas atas para bangsawan Eropa. Selain tinggal di Belanda, Raden Saleh juga sempat bermukim di Jerman dan Perancis, selain Italia, total selama 20 tahun. Kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1852, di puncak tanam paksa yang menyengsarakan bangsanya. Apakah selama di Eropa Raden Saleh sempat bertemu, atau paling tidak mendengar tentang Karl Marx? Mungkin sekali Raden Saleh telah membaca Karl Marx, sebagai seniman papan atas di Eropa saat itu semangat aufklaring menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan filsafat, ilmu dan seni; yang pasti disesapnya. Melihat tema-tema lukisan dan kehidupannya yang selalu berada di lingkungan bangsawan Eropa, barangkali memang Raden Saleh tidak pernah bersinggungan hidupnya dengan Karl Marx, dunia orang miskin dan tertindas hanya melintas samar-samar di matanya.



Kisah anak jajahan yang menjadi besar dan terkenal karena belajar di negeri si penjajah selalu menarik ketika benih-benih perlawanan terhadap penindasan mulai tumbuh. Dibandingkan dengan Jose Rizal (1861-1896) bapak bangsa Filipina, seorang dokter dan pengarang novel Noli me tangere yang lama berkelana di Eropa (Madrid, Paris, Belgia dan Berlin), Raden Saleh terhitung setengah abad lebih dahulu. Nasionalisme anak jajahan saat itu belum tumbuh, belum terbayangkan bahwa kolonialisme akan berakhir. Karl Marx pun memberi perhatian kecil pada kemungkinan berkembangnya perjuangan kelas di Asia. Revolusi komunis pertama oleh kaum Bolshevik pimpinan Lenin justru pecah di St Petersburg, ibukota Rusia, tahun 1917. Komunisme memang tidak pernah tumbuh besar di Eropa.

Raden Saleh hidup di Eropa dalam zaman keemasan feodalisme dan kolonialisme. Masa itu, Lisbon, Madrid, Paris, London, Edinburg, Amsterdam, Berlin, St. Petersburg, Vienna, Budapest dan Praha adalah kota-kota yang dipenuhi istana-istana dan kastil-kastil temat para ratu dan pangeran hidup dalam kelimpahan harta dan seni tumbuh dengan sempurna. Eropa pasca perang salib melewati zaman aufklaring ketika filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Masa keemasan yang menjadi puncak dari semangat menjelajahi daratan dan lautan di luar Eropa terjadi sebelumnya. Masa ketika benua-benua baru ditemukan, penduduk setempat diburu dan dibunuh, dijadikan budak, dirampas kekayaannya, dan dari sana lahirlah kolonialisme dan imperialisme. Pengerukan kekayaan alam, eksploitasi dan "slavery" inilah yang menjadikan kota-kota di Eropa tumbuh cemerlang.

Raden Saleh dilahirkan di Semarang, di tengah feodalisme Jawa dan pemerintahan kolonial di bawah kekuasaan Gubernur Jendral mengambil alih VOC yang bangkrut, mulai menguasai wilayah-wilayah di Nusantara. Karena talenta menggambarnya, secara cepat mengubah jalan hidupnya, tidak seperti nasib para inlanders yang melata, yang dalam pandangannya waktu itu memang begitulah sudah nasibnya. Tidak ada yang bisa disalahkan dari dirinya ketika dia harus meninggalkan "bangsa" - nya yang harus berperang melawan sang penjajah, dipimpin seorang pangeran Jawa, Diponegoro, yang dilahirkan 20 tahun lebih dahulu dari dirinya (1785-1855). Raden Saleh karena itu punya persentuhan cukup kuat dengan Diponegoro, di lubuk hatinya dia memiliki rasa hormat terhadap pangeran Jawa yang berani memberontak kepada Belanda.

Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) memakan banyak korban dari kedua belah pihak dan membangkrutkan pundi-pundi Belanda. Untuk memulihkan pundi-pundinya orang Jawa harus diperas tenaganya dan dikuras kekayaan alamnya, sistem tanam paksa (1830-1870) menjadi strategi akumulasi kapital yang paling menguntungkan. Hasil dari sistem tanam paksa mengalir deras ke pusat kekuasaan Belanda menjadi modal mempercantik istana dan kastil-kastil para bangsawan yang minta dilukis potret dirinya. Kedekatannya dengan raja Belanda membuatnya diminta untuk memberikan kesaksian atas keaslian keris Diponegoro, Kyai Nogo Siluman, yang konon diberikan sebelum penangkapannya. Pemberontakan Diponegoro yang disebut sebagai Java Oorlog (Perang Jawa) berlangsung sebelum benih-benih nasionalisme tumbuh. Seperti halnya Kartini yang lahir setengah abad kemudian dan dari surat-suratnya terbaca rasa keprihatinannya mendalam terhadap kaumnya, belum memperlihatkan kesadaran tentang nasib orang-orang yang bukan Jawa. Ide tentang Indonesia masih diawang-awang.

Saat ini, khalayak pembaca sangat beruntung karena dua buku tentang Raden Saleh terbit belum lama ini. Buku yang pertama, "Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya" tentang sejarah Raden Saleh, aslinya ditulis oleh Werner Krauss dan Irina Vogeslang, dua orang ahli dari Jerman, terbitan KPG, 2018; dan yang kedua, fresh from the oven, novel “Pangeran dari Timur" ditulis bersama oleh Iksana Banu dan Kurnia Effendi, diterbitkan oleh Panerbit Bentang, Februari 2020 ini. Jika buku yang pertama merupakan buku sejarah yang ditulis berdasarkan sebuah riset akademik melalui fakta-fakta yang berhasil dihimpun dengan sangat teliti, buku yang kedua adalah karya imajinatif, fakta yang digubah secara kreatif menjadi fiksi, 600 halaman. Iksana Banu dan Kurnia Effendi telah memanfaatkan dengan baik sejarah yang telah dituliskan dengan teliti oleh Werner Krauss dan Irina Vogeslang, di samping riset yang dilakukan oleh mereka sendiri, antara lain dengan mengunjungi lokasi-lokasi yang pernah ditempati Raden Saleh baik di Eropa maupun di Jawa.

Ket: Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh (1857)

Novel "Pangeran dari Timur", ditulis dengan sebuah strategi yang cerdik yang memungkinkan penulisnya mengembangkan imajinasi sepenuhnya tanpa mengingkari fakta sejarah riwayat hidup Raden Saleh. Plot novel itu dibuat berdasarkan dua alur sejarah, biografi Raden Saleh (1811-1880) dan sejarah sosial menjelang dan setelah kemerdekaan (1920-1953). Pada alur sejarah sosial inilah imajinasi kita tentang Raden Saleh yang hidup dalam alam feodalisme Jawa dan Eropa beserta kolonialisme Belanda, terhubung dengan dunia pergerakan kaum nasionalis melawan kolonialisme. Di antara dua alur itu sosok Diponegoro dimunculkan dalam novel ini sebagai perekat, menjadikan buku “Pangeran dari Timur” ini bisa disebut sebagai novel yang berlatar belakang sejarah tidak saja tentang seorang pelukis dari Jawa yang meraih ketenaran di Eropa, namun juga tentang kompleksitas hubungan rasial yang bercampur dengan ketidakadilan antar kelas di Hindia Belanda. Meskipun sebagai tokoh sentral, Raden Saleh telah meninggal pada tahun 1880 kisahnya terus berlanjut dengan tokoh-tokoh fiksi yang hidup dalam arus pergerakan nasional menuju kemerdekaan.

Sejak halaman pertama novel ini telah menggiring pembaca memasuki ruang sejarah melalui suasana kolonial dan karakter tokoh-tokohnya dengan latar kota Bandung, pusat kaum pergerakan, tahun 1924-25. Percintaan di tengah ketegangan politik, dari Syafei, pemuda pergerakan yang bengal dan urakan, anggota PKI cabang Bandung dengan Ratna Juwita yang cantik tapi sedikit naïf, anak tiri Thadeus van Geelman, wartawan senior Preanger Bode, menjadikan novel ini renyah. Imajinasi kita dibawa ke masa lalu Bandung yang sangat menghidupkan buku “Pangeran dari Timur” ini. Kedua penulis merajut dengan indah melalui tokoh Syafei, yang ditangkap setelah meletus pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926, dibuang ke Digul hingga tutup usia di sana. Dalam faset sejarah sosial, yang dikenal sebagai “jaman balik buwono” atau “zaman bergerak” inilah kita seperti dipertemukan dengan Karl Marx yang hidup sejaman dengan Raden Saleh di Eropa.


*Peneliti. Karya tulisnya terbit dalam bentuk jurnal, buku dan tulisan populer. Seri intelektual publik ini terbit saban Senin di portal kajanglako.com


Tag : #Akademia #Sosok #Feodalisme Jawa



Berita Terbaru

 

Batu Bara di Jambi
Rabu, 22 Maret 2023 15:50 WIB

Polemik Angkutan Batu Bara dan Hal-Hal Yang Tak Selesai


Oleh: Jumardi Putra* Jambi darurat batu bara. Itu kenapa Gubernur Jambi Al-Haris banyak disorot awak media, lantaran kemacetan parah yang ditimbulkan oleh

 

Ulasan Novel
Rabu, 15 Maret 2023 09:39 WIB

Membaca Rasina, Menikmati Sejarah


Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Novel baru Iksaka Banu itu dimulai dengan sesuatu yang tidak lazim. Gambar Struktur organisasi VOC dan istilah-istilah dari

 

Puisi
Sabtu, 11 Maret 2023 08:26 WIB

Ngliyep


Ngliyep   Di Ngliyep langit dan laut berpagut Dalam dekap garis lurus cakrawala Ada yang selalu tak dapat diduga di sana Keluasan langit dan kedalaman

 

Kamis, 09 Maret 2023 18:32 WIB

Pariyanto Pimpin Rapat Laporan Nota Penjelasan LKPJ Kabupaten Dharmasraya Tahun 2022


DHARMASRAYA –  Ketua DPRD Dharmasraya, Pariyanto pimpin siding paripurna di Kantor DPRD Dharmasraya terharap nota penjelasan atas laporan Keterangan

 

Rabu, 08 Maret 2023 18:52 WIB

Kajari Dharmasraya Sambangi DPRD Kabupaten Dharmasraya


  DHARMASRAYA - Dalam rangka menjalin silaturahmi Kajari Dharmasraya, Dodik Hermawan jumpai Ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Pariyanto. Pertemuan