Rabu, 04 Oktober 2023


Minggu, 01 Maret 2020 10:35 WIB

Setrika Arang di Belakang Bioskop Mega; Sebuah Upaya Penggambaran Jambi dalam Narasi Travel Writing

Reporter :
Kategori : Pustaka

Karya Jaka HB. Sumber foto: Wenny

Oleh: Dwi Rahariyoso*

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah kajian yang komprehensif atau mendalam atas buku yang didiskusikan, melainkan sekadar sebagai dokumentasi pembacaan yang sifatnya masih permukaan. Apa yang tersaji dari tulisan ini hanya berusaha menautkan kemungkinan hubungan antara fakta tekstual dari buku Setrika Arang di Belakang Bioskop Mega dengan satu genre dalam sastra, yaitu Travel Writing atau catatan/sastra perjalanan. Memang bisa dikatakan bahwa format tulisan dalam buku karya Bung Jaka tidak mengarah pada prosa fiksi secara mendalam, hanya saja ada gejala-gejala tekstual yang bisa sedikit diafirmasi sebagai bagian dari genre sastra perjalanan tersebut. Jika boleh diberi pengecualian, pembacaan ini hanya sebagai kemungkinan dan peluang menyelami dunia teks dalam buku  Setrika Arang di Belakang Bioskop Mega karya Jaka tersebut.



Sekilas tentang Travel Writing

Genre sastra perjalanan di Indonesia sudah banyak muncul, terutama dalam rumpun genre prosa fiksi (novel perjalanan). Sebagai misal, tetralogi Laskar Pelangi karya Andre Hirata, seri The Naked Traveler (2007) karya Trinity, Negeri van Oranje (2009) karya Wahyuningrat dkk, trilogi karya Agustinus Wibowo, yaitu Selimut Debu (2010), Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (2011), dan Titik Nol; Makna Sebuah Perjalanan (2012), 9 Summer 10 Autums: dari Kota Apel ke The Big Apple (2011) karya Iwan Setiawan, 99 Cahaya di Langit Eropa (2011), Bulan Terbelah di Langit Amerika (2014), dan Faith and The City (2015) karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra, The Naked Traveler, 1 Year Round The World Trip: Part 1 dan Part 2 (2014) karya Trinity. Selain itu ada juga karya perjalanan dalam bentuk prosa, yaitu Menyusuri Lorong-Lorong Dunia, Kumpulan Catatan Perjalanan, Jilid 1 (2005), Jilid 2 (2008), dan Jilid 3 (2012) karya Sigit Susanto, serta Merobek Sumatra (2015), Kabar dari Timur (2018), dan Lara Tawa Nusantara (2019) karya Fatris MF. Buku-buku tersebut bisa sedikit merepresentasikan dan mewakili tentang keberadaan genre sastra perjalanan atau catatan perjalanan dalam perkembangan dunia perbukuan di Indonesia.

Sebagai sebuah genre, catatan perjalanan atau sastra perjalanan memiliki fungsi mendokumentasikan dan menjadi referensi untuk melanjutkan perjalanan. Terutama kaitannya dengan sesuatu yang ‘baru’; asing, tidak dikenal, jauh, bahkan mengancam, maka manusia akan mengandalkan pengalaman serta hasil bacaannya. Catatan perjalanan pada dasarnya menawarkan suatu dokumentasi narasi dan ingatan atas peristiwa yang terjadi dalam suatu perjalanan pengarang (penulis). Rekaman inilah yang kemudian diubah ke dalam teks (menjadi narasi) yang disebut dengan travel writing.

Travel writing memuat suatu tujuan—disadari atau tidak oleh pengarangnya, dan dituangkan dalam karya tersebut. Pembaca akan merespon tulisan, melakukan penerimaan atas nilai dan ideologi yang dimaksudkan pengarang dalam tulisannya. Salah satu penggagas kajian Travel Writing, Thompson (1), menawarkan suatu identifikasi untuk mengenali sastra perjalanan. Menurutnya, sastra perjalanan modern adalah genre yang fleksibel sehingga dapat melintasi materi (ragam dan format tulisan). Dalam kenyataan tersebut, Thompson memosisikan bahwa bukan format tulisan yang utama, melainkan narasi yang dikandung dalam tulisan tersebut dengan mengacu pada konsep-konsep perjalanan yang dialami dan direpresentasikan oleh pengarang.

Menurut Thompson (2), terdapat enam aspek penting yang selalu ada dalam sastra perjalanan, yaitu representasi diri (self), representasi Yang Lain (others), pergerakan-perpindahan (movement), pertemuan (encounter), tempat dan waktu (space), dan perekaman dalam bentuk tulisan (writing). Sastra perjalanan memiliki keterkaitan erat, kompleks, dan membingungkan dengan sejumlah genre, namun secara sederhana, definisi yang bisa ditekankan dalam kerangka perjalanan adalah negosiasi antara “diri” dan “yang lain”, akibat perpindahan dalam ruang. Dari definisi tersebut, sastra perjalanan dipahami sebagai laporan/cerita/catatan perjalanan tentang dunia yang lebih luas yang dilakukan oleh orang asing di tempat yang asing/baru atau belum diketahui.

Sastra perjalanan memiliki bentuk dan sifat beragam karena terdiri atas berbagai gabungan tipe tulisan, bisa jurnal, buku harian, esai, cerita pendek, dan juga secara tematis bisa berupa kisah petualangan, risalah filsafat, uraian politis, pencarian spiritual, memoar, dan investigasi jurnalisme (3).

Dalam Travel Writing juga dikenal konsep penggambaran terhadap dunia. Penggambaran terhadap dunia tersebut bertujuan memberitakan pengalaman pengarang yang meliputi tempat, orang-orang yang ditemui, serta mediasi antara realitas dunia sebenarnya dengan representasi yang digambarkan dalam teks (5). Hal yang menarik, bahwa dari tulisan perjalanan tersebut memungkinkan adanya bias, yang pertama dari kesadaran pengamatan penulis dan kedua melalui tindakan penulisan, berupa transformasi dan transkripsi dari pengalaman perjalanan ke dalam teks perjalanan.

Membaca buku Setrika Arang di Belakang Bioskop Mega,kita bisa menemukan semacam benang merah dengan menggunakan kerangka travel writing. Jaka melaporkan pengalamannya, perjalanannya, pertemuan-pertemuannya, posisi dan interaksinya, dengan pola tulisan investigasi jurnalisme. Sebagai seorang jurnalis, data dan fakta tentang Jambi (yang menurutnya dari sisi pinggiran), dikemas dan disusunnya sedemikian rupa. Ia mencoba menawarkan semacam negosiasi atas cara pandang ‘lain’. Interaksinya dengan orang lain (others), yaitu orang-orang pinggiran dan biasa, diupayakannya menjadi sudut pandang yang lebih manusiawi. Terkesan ada keberpihakan terhadap orang-orang ‘lain’ tersebut. Antara empati dan simpati, juga antara subjektivitas dan objektivitas yang dialektis.

Keberpihakan inilah yang menarik untuk diulas baik secara etis maupun politis (ideologis). Ada dugaan bahwa apa yang dirasakan penulisnya tentang Jambi adalah sebuah kehendak subjektif (hasrat) yang dirayakan di tengah absurditas dunia yang menurutnya sebagai dualisme hubungan; benci dan rindu, menyatu sebagai bentuk yang tidak jelas (hlm. 22). Ia mengalami semacam ambivalensi. Sebuah kemenduaan emosional yang secara psikis dialaminya.

Nampak keberpihakan tersebut sebagai sebuah posisi dan disampaikannya di pembuka tulisan, yaitu “Jambi menandai akar identitas saya”  (hlm. 1). Bagian ini, menurut saya menjadi alasan utama mengapa Jaka harus menuliskan buku ini. Secara ideologis, Jambi adalah sebuah ruang yang memorial sekaligus banal dengan fakta-fakta sosial humanisnya. Kenyataan ini (dugaan saya) yang turut melahirkan kesadaran bagi diri penulis untuk mencatatkan semesta pengalaman dan perjalanan hidupnya. Ia telah banyak bertemu orang, telah banyak bepergian, telah banyak menulis berita, telah banyak menyaksikan peristiwa demi peristiwa, melihat yang datang dan pergi sebagai keniscayaan, hal yang biasa sekaligus membekas. Buku ini seperti sebuah upaya menyatakan diri bahwa ada yang masih berusaha memahami serta melihat Jambi, secara memorial dan banal dari sebuah asal dan amsal. 

Meskipun beberapa tulisan masih terkesan reportase (kaku) dan tidak luwes, akan tetapi upaya menggambarkan Jambi secara (cenderung) subjektif oleh Jaka ini patut diberikan apresiasi. Jaka  melaporkan pengalamannya secara sporadis dan variatif, mulai dari persoalan urban, ekologi, hingga persoalan Orang Rimba. Ia seperti berusaha merekam segala peristiwa dan menyusunnya sebagai mozaik. Catatan demi catatan ini kemudian diurutkan, baik secara kronologis waktu atau peristiwa, juga berdasarkan konteks isinya.  

Sebagai sebuah catatan perjalanan, atau catatan ingatan saya rasa buku ini bisa memberi percik-percik proyeksi gagasan, bahwa ada banyak ingatan yang tidak teruliskan dari sebuah ruang perjalanan yang terjadi. Jambi bagi Jaka, akan terus menjadi ingatan, imajinasi, dan harapan pada sebuah zaman yang terus berjalan. Setrika Arang di Belakang Bioskop Mega adalah secuil catatan yang kelak menandai Jambi bahwa narasi dari suatu perjalanan akan terus diwariskan.

*Penulis adalah pengajar sastra di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jambi. Tulisan ini merupakan ulasan penulis terhadap buku berjudul Setrika Arang di Belakang Bioskop Mega (Indie Book Corner, Yogyakarta, 2020) karya Jurnalis Jaka HB pada Sabtu, 29 Februari 2020 di café Djangkobe.

 

Referensi:

(1) Carl Thompson. Travel Writing. London and New York: Routlegde, 2011. hlm. 19.

(2) Ibid. hlm. 9-11

(3) Graham Huggan dan Pattrick Holland. Tourists with Typewriters: Critical Reflections on Contemporary Travel Writing. An Arbor: University of Michigan. 1998.

(4) Carl Thompson. Travel Writing. London and New York: Routlegde, 2011. hlm. 62


Tag : #Buku #Jaka HB #Indie Book Corner



Berita Terbaru

 

Perspektif
Minggu, 01 Oktober 2023 07:53 WIB

"Indonesia Out of Exile": Politik dan Puitik Migrasi


Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Judul lengkapnya "Indonesia Out of Exile: How Pramoedya's Buru Quartet Killed a Dictatorship", sebuah buku baru diterbitkan

 

Pameran Koleksi Etnografi
Senin, 25 September 2023 18:26 WIB

Jalan Pulang Ke Akar Kebudayaan: Catatan Atas Pameran Koleksi Etnografi Museum Siginjei


Oleh: Jumardi Putra* Siang itu langit kota Jambi berawan cerah. Saya bergegas mengendarai motor dari Jalan Jenderal Ahmad Yani menuju Museum Siginjei di

 

Sosok dan Pemikiran
Kamis, 21 September 2023 08:11 WIB

Ignas Kleden


Oleh: Riwanto Tirtosudarmo* Dalam sebuah percakapan dengan Salman Rushdie, mungkin menjadi wawancara terakhir sebelum wafat karena penyakit leukemia yang

 

Rabu, 20 September 2023 10:37 WIB

Gelar Kampus Rakyat Terpilih Guna Cegah Radikalisme, BNPT RI-FKPT Gandeng Anak Muda Jambi


Kajanglako.com, Jambi - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)RI bekerjasama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jambi menggelar

 

Catatan Perjalanan
Rabu, 20 September 2023 07:38 WIB

Dari Kota Tua Ke Pusara Sitti Nurbaya


Oleh: Jumardi Putra* Berkunjung ke kota Padang tidak lengkap rasanya jika tidak menginjakkan kaki di Kota Tua atau kerap disebut Padang Lama oleh warga